Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #12

Bab Dua Belas

Kecuali, Nana berubah pikiran.

Demi persahabatan, demi masa depan, demi apa saja yang mungkin terjadi kelak, Melia akan membujuk Nana.

Sebelum hari H keberangkatannya ke stasiun TV, Melia menemui Nana di rumahnya. Nana sedang merawat tanaman di pot ketika Melia datang. Setelah memastikan bahwa Alban sudah berangkat kerja, Melia menyatakan keresahannya.

“Ketika kamu mencurigai perilaku tak wajar Alban,” kata Melia, “secara jujur aku katakan sekarang, itu memang benar, Na. Aku nggak mengada-ada; Bang Alban mungkin memang jatuh hati padaku.”

Nana tersenyum dan mengajak Melia duduk di kursi teras.

“Saat itu aku tidak mengatakan padamu karena kamu masih down,” lanjut Melia.

“Iyakah?” sahut Nana.

“Ya. Bang Alban suka menatapku dengan pandangan ganjil.”

“Ganjil gimana?”

“Kayak fokus, gitu.”

“Lalu?”

“Dia banyak nanya tentang aku, kan?”

“Ya.”

“Dia mencari tahu tentang diriku, kamu tahu itu, dan laki-laki yang tertarik sama perempuan selalu begitu.”

“Iyakah?”

Melia mendelik dan berkacak pinggang. “Responsmu gitu, amat, sih?”

Nana tertawa. “Tenang saja, Mel. Itu hanya dugaan-dugaan kita.”

“Faktanya?”

“Faktanya ...,” Nana tersenyum, “waktu itu aku mengalami fluktuasi hormon karena hamil tanpa aku sadari, dan sekarang kamu yang mengalami fluktuasi hormon ....”

“Jangan bilang aku hamil,” Melia menuding, “Aku sudah lama tidak melakukan itu.”

“Mungkin kamu sekarang sedang tegang karena akan tampil di TV, Mel. Makanya fluktuasi hormon.”

Melia menatap Nana. “Aku serius, Na. Aku tidak mau persahabatan kita rusak karena perselingkuhan Bang Alban denganku.”

“Memangnya kau mau sama Bang Alban?” tanya Nana.

“Nana!”

“Jadi, tidak, kan?” Nana tertawa.

 Melia bersungut-sungut. “Nggak lucu!”

Tawa Nana mereda.

“Kau terlalu tegang, Mel. Sepertinya kau mesti ke psikolog sebelum tampil di televisi. Jangan-jangan kau terlalu panik dan rusak acaranya.”

Melia kesal.

“Aku bukan panik naik panggung, Na,” ujar Melia. “Aku panik karena akan pergi berdua saja dengan Bang Alban.”

Nana diam.

“Nah, itu masalahnya,” kata Melia memungkasi.

Nana mengangguk-angguk. “Gini saja,” katanya, “kalau kalian nanti jadi deket dan jadian, kita berbagi suami.”

“Hamil bikin kamu sinting, ya, Na,” sahut Melia, pasrah. “Jangan salahkan aku kalau itu terjadi.”

Nana hanya tersenyum menanggapi.

Tentu saja, Melia tidak akan membiarkan itu terjadi. Nana mungkin menganggap masalah ini sebagai ujian untuk Alban dan Melia. Sebagaimana konsekuensi popularitas atas viral iklan itu telah dihadapinya, konsekuensi atas popularitas masuk televisi juga akan Melia hadapi.

Sebelum berangkat ke Jakarta, Melia sudah menyerahkan kendali salon pada Indy. Melia juga sudah berpamitan pada Pak RT.

“Kalau ada yang mau lihat bagian dalam rumah, suruh kembali lain waktu saja,” kata Melia.

“Iya, Mbak,” kata Pak RT. “Nanti saya suruh nonton acara Mbak Melia juga.”

“Iya, Pak, boleh.”

“Tolong bilangin sama Mas TV kemarin, bagian yang ada saya jangan diilangin, ya, Mbak.”

“Iya, Pak. Nanti saya bilangin.”

“Nanti malam bapak-bapak mau ngadain nobar, nonton bareng pakai layar tancap.”

“Bapak-bapak?”

“Yang suka ngumpul di gardu.”

Melia tersenyum, salah tingkah. Dia merasa belakangan ini bapak-bapak kompleks seperti memujanya. Barangkali karena semenjak iklan jual rumah itu viral, perumahan ini ikut terkenal.

Konon, gardu perumahan juga menjadi lebih ramai. Beberapa laki-laki suka berkumpul di sana untuk menunggu orang yang penasaran mencari cerita tentang rumah dan janda pemiliknya. Bapak-bapak suka menceritakan tentang si janda dan sering kali cerita itu dibumbui macam-macam. Cerita-cerita berbumbu itu diulang-ulang sehingga tidak lagi jelas mana fakta mana karangan belaka.

Pernah ada calon pembeli yang bertanya pada Melia. “Mbak Melia sedang menyiapkan album rekaman, ya?”

“Kata siapa?”

“Bapak-bapak di gardu yang cerita.”

Pernah pula ada yang membawa buket jajanan aneka coklat karena—kata bapak-bapak itu—Melia menyukai coklat. Padahal, Melia tahu, coklat yang dimaksud itu hanya olok-olok cabul.

Meskipun demikian, Melia tidak merisaukannya. Justru para istri-istri bapak-bapak itu yang kebakaran alis. Pak Budi pernah dijewer istrinya dan diseret pulang karena kepergok sedang memuji-muji Melia di gardu.

Demikian kabar akan masuknya Melia ke TV disambut hangat bapak-bapak, tetapi ibu-ibu tidak. Mereka bersepakat tidak akan memperbolehkan siapa pun menyetel siaran itu di rumah. Itulah mengapa bapak-bapak nobar di gardu.

Lihat selengkapnya