Rencana bapak-bapak perumahan untuk menonton bareng acara Melia di gardu itu batal karena digeruduk ibu-ibu. Mereka berpencar mencari tumpangan menonton di tempat-tempat lain. Ada yang mengajak Pak RT ikut dengannya, tetapi Pak RT menolak.
“Aku tidak enak badan,” kata Pak RT.
Pak RT berjalan menuju pulang. Ketika melewati rumah Melia yang sepi, dia merogoh sakunya, tersenyum sambil mengeluarkan dua anak kunci dalam satu tautan.
Itu kunci duplikat rumah Melia.
Tanpa sepengetahuan Melia, Minggu pagi ketika perempuan itu menitipkan kunci rumah pada Pak RT, laki-laki itu membawanya ke lapak pembuatan kunci duplikat. Sudah berkali-kali, setiap Melia berada di salon, Pak RT memasuki rumah itu dan membayangkan diri menjadi suami Melia.
Malam ini Pak RT berbelok ke rumah itu. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, Pak RT memasuk rumah Melia. Dia berusaha meredakan ketegangannya dengan minum air mineral dalam kulkas. Laki-laki itu kemudian ke kamar mandi untuk kencing.
Pada kapstok kamar mandi, sepasang pakaian dalam Melia tergantung di sana. Pak RT meraihnya, lalu menciuminya. Dia merasakan gairah menyelubungi dirinya.
Dengan masih menciumi pakaian dalam itu, Pak RT keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar Melia. Kamar itu tidak dikunci, dan memang selalu tidak terkunci.
Di atas ranjang, pakaian dalam Melia digelarnya di atas guling. Dalam imajinasinya, guling itu menjelma menjadi Melia. Pak RT duduk di tepi ranjang.
“Istriku sebentar lagi mati, Mel,” kata laki-laki itu. “Kau tunggulah sampai aku bisa membeli rumahmu.”
“Bagaimana kalau tidak mati-mati?” tanya Melia, dalam imajinasi Pak RT.
“Aku akan membunuhnya. Di toko tempat kerjaku ada banyak racun.”
“Melia akan menunggu, Pak.”
“Nanti kau harus memanggilku Mas.”
“Iya, Mas.”
“Melia ....”
Gairah yang membara dalam tubuhnya membuat Pak RT gemetar. Dia melepas pakaiannya. Kemudian menubruk guling itu dan mencumbunya seolah sedang mencumbu Melia. Matanya terpejam dan mulutnya meracau menyebut-nyebut nama janda itu. Sampai kemudian tubuhnya mengejang dan dia melenguh keras. Lalu, Pak RT terkulai dengan masih menindih guling.
Beberapa saat Pak RT diam dalam posisinya. Senyumnya tersungging penuh kepuasan setelah puncak kenikmatan.
Laki-laki itu kemudian bangkit dan mengenakan pakaiannya kembali. Dengan ala kadarnya dia merapikan kembali seprei tempat tidur. Pakaian dalam Melia dipungutnya, kemudian dicantel lagi di kapstok kamar mandi. Sperma Pak RT masih menempel di sana.
Laki-laki itu keluar dengan mengendap-endap. Dia pulang.
Di rumahnya, Pak RT melongok ke kamar. Istrinya sudah tidur. Lalu dia duduk di ruang tengah setelah menyalakan televisi dan menyalakan rokoknya.
Di tembok ada foto-fotonya jaman dulu ketika dia menjadi atlet karate. Ada piagam. Ada piala di atas bufet. Setiap kali mengenang masa-masa kejayaannya sebagai atlet sejak remaja, Pak RT merasa semua itu kini tak punya makna.
Dulu, dia selalu disebut sebagai orang yang mengharumkan instansi pendidikannya maupun kota tempat tinggalnya ini. Sekarang, namanya tidak lagi dikenal dan hidupnya tidak terjamin.
Kejayaannya berakhir karena kecelakaan kerja di toko kimia. Ledakan membakar toko itu dan almari besi yang roboh menjebak Pak RT.
Pak RT bisa diselamatkan meskipun sebagian besar kulitnya terbakar. Bekas luka bakar itu sekarang tidak lagi kentara, tetapi tulang paha kaki kirinya patah karena robohan almari itu.
Sejak kecelakaan itu, Pak RT tidak lagi bertanding. Jalannya sekarang pincang. Toko itu tidak lagi beroperasi, tetapi dia masih bisa bekerja di toko kimia lain.
Semenjak istrinya sakit-sakitan, dia keluar dari pekerjaannya di toko. Kehidupannya ditunjang oleh anak-anaknya dan iuran warga.
Pak RT tidak lagi melihat masa depan. Dia menjalani hidup mengalir begitu saja. Sampai kemudian kabar Melia hendak menjual rumah sekaligus menikahi pembelinya.