Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #14

Bab Empat Belas

Meskipun ketakutan akan luka kehilangan tidak bisa hilang seutuhnya, Melia berusaha mengacuhkannya dan mulai kembali membiarkan hatinya jatuh cinta. Beberapa kali dia berkencan dengan laki-laki yang berbeda. Rasanya seperti kembali ke masa remaja. Namun, Melia ingat, masa remajanya tak pernah berkencan selain dengan Rendi.

Meskipun awalnya menyenangkan, lama-lama Melia merasa jenuh dan bosan. Kencan-kencan itu hanya menjadi kegiatan yang monoton. Dan, sejauh ini memang belum ada laki-laki yang cocok untuk Melia. Sebagian besar bahkan hanya pemberi harapan palsu. Hanya iseng-iseng menggodanya. Hanya memanfaatkan kesempatan untuk mencoba berbuat mesum dengannya seolah sebagai janda, Melia mudah diperdaya.

Untuk yang semacam ini, Melia tahu, kencan mereka hanya akan sampai di situ.

Beberapa bulan setelah masuk televisi itu, popularitas Melia pada akhirnya mereda seperti kembang api yang kehabisan bubuk pembakar. Sesekali memang ada yang menyapa Melia dan bertanya-tanya tentang acara televisi itu. Sesekali ada yang menanyakan rumahnya. Sesekali ada yang bertanya tentang kesendiriannya.

“Sudah laku?”

“Belum.”

“Rumahnya apa jandanya yang belum laku?”

Melia benci pertanyaan semacam itu. Namun, selalu saja ada laki-laki picik yang menafsirkan iklan itu secara mesum. Terkadang, Melia merasa bahwa plang bertuliskan dijual itu tertempel di jidatnya.

Sekarang, setelah dua kali popularitasnya dilambungkan tetapi belum juga rumahnya terjual, Melia teringat kembali rumah masa kecilnya. Rumah yang membutuhkan waktu lama sampai akhirnya terjual.

Berapa lama rumahnya yang dulu menunggu sampai akhirnya laku? Melia tidak tahu pasti, tetapi memang butuh bertahun-tahun, sampai plang tanda dijual itu pudar tulisannya, sampai cat tembok rumah menjadi kusam, sampai sampah berserakan dan menumpuk di halaman.

Ketika mengunjungi Nana di rumahnya, Melia bertanya apakah Nana ingat perempuan yang menemui mereka di food court.

“Yang memberimu nomor kontaknya itu?” tanya Nana.

“Iya.”

“Aku ingat.”

“Dia sudah mendapatkan pembeli sekaligus suami.”

“Lemparan dari penawar rumahmu?”

“Iya. Perempuan itu datang bersama calon suaminya memberiku undangan.”

“Kau datang?”

“Iya.”

Nana memandang Melia. Dia tahu bahwa perempuan itu sedang gundah. Melia berseloroh bahwa barangkali jodohnya memang sudah habis.

“Ya, sudah, jika memang habis, setidaknya kau punya kami, Mel,” kata Nana.

“Masalahnya bukan itu, Na ....”

Enthus?”

“Ember, yey, ah!” Melia menirukan gaya Indy. “Ini bukan soal enthus-enthusan; ini soal perasaan, soal ....”

Nana menggeleng-gelengkan kepala.

 

Sore ini Pak RT datang ke salon setelah tadi siang Pak Hansip meminjam kunci rumah Melia karena ada calon pembeli yang hendak melihat ruangan rumah. Pak Hansip ada pekerjaan menjaga tempat hajatan, kata Pak RT, sehingga Pak RT yang mengembalikan kunci itu.

Mereka berbincang di sofa.

“Menjual rumah memang butuh waktu, Mbak Melia,” kata Pak RT, “karena rumah itu sama seperti jodoh. Tidak melulu soal harga. Tidak melulu soal lokasi. Tetapi soal kecocokan.”

“Iya, Pak,” sahut Melia, mengangguk takzim.

“Mbak Melia yang sabar, ya. Bapak sedang mengusahakan.”

“Iya, Pak. Terima kasih. Maaf, jadi merepotkan ....”

“Oh, tidak. Bapak malah senang bisa melakukannya.”

“Bagaimana kabar Ibu, Pak?” tanya Melia sebagai basa-basi.

“Oh, jangan kuatir, seperti janji saya Ibu tinggal menunggu waktu.”

“Maksudnya?”

“Oh, itu,” Pak RT menyadari salah bicara, “saya sudah janji mengusahakan kesembuhannya,” katanya, berkilah.

“Iya, semoga dimudahkan, ya, Pak.”

“Iya, Mbak. Aamiin ....”

Pak RT kemudian pamit. Melia mengantar sampai depan salon. Pak RT berjalan ke tepi jalan dan berdiri di sana. Laki-laki itu memandang ke kanan, tampak sedang menunggu angkutan umum.

Melia menyusul, mendekat.

“Pak RT tidak membawa motor?” tanya Melia.

Lihat selengkapnya