Pagi ini Melia tidak ingin lekas bangun. Tubuhnya terasa lemah dan hanya ingin tiduran saja. Dia hanya bangun untuk kencing dan minum, kemudian merebahkan diri lagi di ranjang.
Jam di tembok kamar menunjuk pukul sembilan lebih. Perut Melia sudah menagih.
Melia kembali bangkit, berjalan ke kulkas. Dia mengambil setangkup roti, mengolesinya dengan margarin secara serampangan, dan memakannya sambil tangan satunya mengambil botol kardus susu cair. Berjalan ke meja, dia menuang susu itu di gelas. Lalu mengembalikannya ke kulkas.
Melia sedang meminum susunya ketika gawainya bernyanyi. Indy yang menelepon.
“Ada apa, In?” tanya Melia.
“Chyn, paku rata disindang cacamarica yey” kata Indy. Pak RT di sini mencarimu.
“Pak RT situ atau sini?”
“Paku rata promina, yey, Chyn ... Tubang ntu yang pencongan samarinda yey.” Pak RT perumahanmu. Tua bangka yang pacaran sama kamu.
“Kamu sudah bilang aku masih di rumah?”
“Sutra, Chyn. Tapioka ntu tubang nunggingin disindang.” Sudah. Tapi dia menunggu di sini.
“Mau apa katanya?”
“Meneketehe, Chyn ....” Aku tidak tahu.
Melia bimbang. Semenjak jalan-jalan yang dianggap kencan dan dibilang perusak rumah tangga, Melia tidak lagi ingin berurusan dengan Pak RT. Lewat Pak Hansip dia sudah bilang bahwa urusan meninjau rumah bila ada calon pembeli yang hendak meninjau, biar diurus Melia sendiri.
Melia menarik napas panjang. Akhirnya dia berkata akan ke sana. Melia kemudian mandi, tanpa hendak bergegas-gegas, berharap Pak RT tidak sabar menunggunya dan memutuskan pulang.
Nyatanya, Pak RT masih menunggu di salon meskipun sudah satu jam sejak Indy menelepon. Laki-laki itu mengenakan kaos hitam bergambar tengkorak dengan ujung bawah dimasukkan ke celana denim. Tangan kanannya mengetuk-ngetuk paha mengikuti irama musik dari perangkat audio salon, sedangkan tangan kirinya terentang di atas sandaran sofa. Tampak berbeda dengan hari-hari lalu, baik sikap maupun penampilannya.
Melihat Melia masuk, Pak RT menegakkan tubuh. Senyumnya terkembang begitu ceria.
“Lama menunggu, Pak?” tanya Melia, berbasa-basi. Dia duduk di ujung sofa terjauh.
“Tidak, tidak, Melia. Baru satu jam lebih,” sahut Pak RT. “Setahun juga saya siap menunggu, kok.”
Melia sudah banyak mengenal makna di balik kata-kata gombal laki-laki semacam ini. Sebelumnya Pak RT selalu memanggilnya “Mbak”, bukan menyebut nama.
Kewaspadaan Melia bersiaga. Dia tersenyum tipis sambil lalu. Senyum yang terpaksa. Di kepalanya sudah tergambar apa dan mengapa Pak RT berubah demikian. Dugaan yang bukan sekadar dugaan, melainkan karena telah makan asam garam.
Indy keluar dari ruang spa, menyapa Melia. Melia memanggil Indy dan menyuruhnya duduk di sampingnya.
Setelah Indy duduk, Melia meminta izin pada Pak RT, sebagai basa-basi, “Sebentar, ya, Pak, saya ada perlu dulu sama Indy.”
“Silakan, Mel,” kata Pak RT, masih dengan senyum manis.
Melia mengeluarkan gawai. Dia memberi isyarat Indy untuk melihat ke layar. Di layar itu, Melia menulis, telepon siapa saja untuk ke sini sekarang dan bilang untuk spa gratis.
Indy mengangguk-angguk, lalu kembali masuk ke dalam.
“Maaf, ya, Pak. Biasa, pekerjaan pencatatan administrasi,” kata Melia pada Pak RT.
“Ya, Mel, tidak apa-apa. Kebetulan saya juga belum mulai bekerja,” sahut Pak RT.
“Sudah mendapatkan pekerjaan, Pak?”
“Belum; tetapi sudah ada beberapa yang menawari kerja. Ya, saya sedang menimbang dulu mau pilih yang mana.”
“Wah, selamat, ya, Pak.”