Dijual: Rumah beserta Janda

Aveus Har
Chapter #18

Bab Delapan Belas

Pagi hari ketika hendak berangkat kerja, Alban menyalakan gawainya. Ada notifikasi sebelas kali panggilan tak terjawab dari Melia di aplikasi WhatsApp

Alban menghubungi balik. Mukanya yang tegang mengisyaratkan laki-laki itu mengendus masalah.

“Nelpon siapa?” tanya Nana.

“Melia. Dia berkali-kali menghubungi nomorku semalam.”

Butuh empat kali panggilan ketika akhirnya telepon tersambung.

“Halo ..., Mel?”

Dari seberang terdengar suara isak tangis tertahan. Lalu, tangisan itu semakin jelas. Semakin keras.

Alban memanggil-manggil Melia. Nana mengambil alih gawai, memanggil-manggil nama Melia. Namun, di seberang, Panggilan ditutup begitu saja.

“Aku akan ke sana,” kata Alban.

“Aku ikut,” ucap Nana.

“Tidak, Sayang. Kamu harus menjaga kehamilanmu.”

“Tapi ....”

“Aku bisa.”

Nana akhirnya menurut. Perutnya sudah terlalu besar untuk diajak bergegas-gegas.

“Gawaiku aku nyalakan,” kata Nana. “Kabari kalau ada apa-apa.”

“Ya.”

“Hati-hati.”

“Ya.”

Satpam gardu gerbang perumahan telah mengenal Alban. Alban hanya menyapa dengan klakson.

Pintu gerbang rumah Melia sedikit terbuka. Tidak digembok.

Di depan pintu, Alban mengetuk keras berkali-kali sembari memanggil-manggil Melia. Tidak ada sahutan. Secara insting Alban memutar kenop. Pintu juga tidak terkunci.

Alban masuk masih sembari memanggil-manggil Melia. Masih tidak ada sahutan.

Pintu kamar Melia tertutup. Alban mengetuk dan memanggil. Ada suara tangis di dalam. Laki-laki itu menguak pintu.

Melia duduk di atas ranjang, bergelung selimut, dengan rambut kusut, dan mata yang merah dan basah. Alban masuk. Melia mendongak, memandangnya.

“Mel,” Alban memanggil. “Nana menyuruhku menjemputmu.”

Melia diam. Matanya memandang kosong pada cermin. Lalu dia kembali menangis.

Alban mendekat, duduk di tepi ranjang.

“Ayo, tidak apa-apa,” kata Alban, menyentuh pundak Melia.

Melia berkata-kata, tetapi kata-katanya timbul tenggelam dan kacau. Dia menangis lagi, tapi tak ada air mata, tak ada suara.

Alban membantu Melia bangkit. Selimut yang menggulungnya dilerai. Melia masih mengenakan piyama, tetapi beberapa bagian kainnya robek.

“Ganti baju, ya, Mel,” kata Alban.

Melia diam.

Alban membuka lemari. Mengambil daster dari gantungan. Dia membantu Melia berganti pakaian. Lalu membimbing perempuan itu ke mobil. Mereka meninggalkan rumah tanpa menguncinya.

Melia tertidur sepanjang perjalanan. Sampai di tujuan, Alban membangunkan Melia. Kemudian dia memapah Melia masuk ke rumah, masuk ke kamar, dan membaringkannya di ranjang.

Melia tidur lagi dengan tangan menggenggam erat tangan Nana.

Alban menunggu di ruang tengah, menyetel televisi. Nana menyusul setelahnya.

“Apa yang terjadi?” tanya Alban.

“Sepertinya ada yang masuk rumah dan memperkosanya,” sahut Nana. “Ada sperma kering. Ada luka. Nanti aku telepon Rossa untuk diperiksa.”

“Aku akan lapor polisi,” kata Alban.

“Jangan dulu. Kita mesti utamakan psikologisnya.”

“Tapi pelakunya ada di luar, itu berbahaya.”

“Melapor pun tidak menjamin pelakunya ditahan. Macam tidak tahu saja rumitnya hukum. Apalagi kasus perkosaan.”

Alban diam.

“Nanti malah semakin banyak yang tahu dan banyak yang justru akan menyalahkan Melia,” lanjut Nana. “Kau tahu, kan, penanganan kasus perkosaan selalu tidak berpihak pada perempuan?”

Lihat selengkapnya