Ketika Indy memberitahu apa yang terjadi, Nana sudah tahu bahwa trauma Melia butuh waktu yang panjang untuk hilang, bahkan mungkin tidak bisa hilang sepenuhnya. Nana bergegas, karena apa pun bisa terjadi jika Melia berada di luar kendali. Alban sedang di kantor. Melia menitipkan bayinya pada pengasuh, dan dia menuju rumah Melia.
Ketika Nana telah sampai, Melia sudah berhenti menangis. Perempuan itu mematung di tepi ranjang. Sepasang matanya memandang cermin rias di seberang. Pandangannya seolah menembus ruang dan waktu. Melia melihat lagi kejadian malam itu, seolah cermin itu menyimpan rekamannya dan memutarkan ulang kini.
Indy masih berdiri di dekat Melia. Dia menolehi Nana dengan roman cemas sekaligus bingung. Melia hanya diam setelah berhenti menangis, kata Indy. Indy tidak tahu apa yang terjadi, dan dia merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, bukan salahmu,” sahut Nana. “Biar aku yang urus.”
“Eike ngapain?” tanya Indy.
“Kau balik ke salon.”
“Eike tinta bawa dompet, Chyn.”
Nana mengambil uang dari dompetnya dan mengulurkannya ke Indy.
“Jangan cerita siapapun, In,” pinta Nana.
Indy membentuk simbol O.K. dengan jari dan jempolnya. Lalu dia keluar dan kembali ke salon dengan naik becak.
Selepas kepergian Indy, Nana duduk di samping Melia. Dia mengelus-elus punggung perempuan itu. Keheningan yang mengungkung meredakan pikiran Melia yang melesat-lesat tak menentu.
“Dia sudah mati,” kata Melia, tanpa berpaling.
Nana tidak bertanya. Dia masih mengelus-elus punggung Melia. Dia tahu siapa yang dimaksud. Apakah orang itu benar-benar sudah mati atau hanya dalam imajinasi Melia, itu tidak penting ditanyakan sekarang.
“Bangsat itu sudah mati. Tubuhnya hancur. Tercerai berai. Seperti bangkai tikus. Di jalan. Digilas ban. Meledak. Muncrat.”
Melia menangis lagi. Kali ini, tangisnya pelan. Nana memeluknya.
“Apa aku salah mengutuknya?” tanya Melia.
“Tidak,” sahut Nana.
“Dia memang seharusnya mati.”
“Ya.”
“Seperti bangkai tikus.”
“Ya.”
Melia mengurai pelukan Nana. Napasnya telah teratur. Nana membimbingnya bangkit dan menuntunnya ke kamar mandi. Dengan keran bawah, Melia membasuh wajahnya.
Mereka tidak kembali ke kamar. Nana mendudukkan Melia di sofa ruang tengah. Lalu dia masuk ke kamar untuk mengambil handuk.
“Aku butuh surat-surat untuk pendataan pemilih,” kata Melia setelah tekanan pikirannya hilang.
“Akan aku ambilkan.”
“Di laci lemari pakaian.”
Nana mencari surat-surat yang Melia maksudkan. Dia membawanya keluar.
“Aku antar kau ke salon atau kau mau ke tempatku saja?” tanya Nana.
“Ke salon. Aku terlalu banyak merepotkanmu, Na.”
“Jangan ngomong begitu. Jika ada perlu ke sini, telepon aku atau Bang Alban.”
Melia mengangguk. Mereka bangkit dan berjalan ke luar.
“Aku akan sembuh, kan, Na?”
“Pasti.”
“Bangsat itu tidak.”
“Dia tidak ada gunanya.”