Bertemu dalam ruang yang gelap. Denganmu yang sudah enggan mengawalinya lagi, sedangkan aku baru sadar pernah dicintai dengan sepenuh hati.
**
Karma, teman hidup yang paling dihindari tiap manusia. Kita berharap bahwa karma tidak akan mampir dan mengetuk pintu rumah kita. Kita berharap bahwa semua yang kita lakukan pada orang lain, tidak akan berbalik kepada kita. Bahkan ketika kita berbuat jahat, ada harapan bahwa Tuhan mau memaafkan kita yang tidak suci ini tanpa perlu menggunakan karma sebagai bentuk penebus dosa.
Ini hidup.
Karma adalah bagian dari tiap kehidupan manusia.
Tidak terkecuali aku.
Karma mengentuk pintu rumahku, tanpa basa-basi. Kedatangannya tidak terduga, dan hatiku langsung menciut ketika menyadari bahwa karma telah menabrakan dirinya denganku. Semuanya tidak akan berjalan mudah dan aku sangat tahu fakta itu. Karma memang menanti waktu yang tepat untuk membuat diriku hancur, balasan dari apa yang kuperbuat di masa lalu. Berapa kali pun aku memikirkannya, aku memang sepantasnya mendapatkan ini. Akan tetapi, aku ini hanya manusia biasa, aku masih berharap karma mau membuka hatinya sedikit dan memberkatiku supaya aku tidak terlalu hancur.
Apakah itu mungkin? Apakah karma mau sedikit membuka hatinya?
Aku percaya, karma itu berhati baik. Dia membalas perbuatan orang-orang jahat yang suka menyakiti manusia lainnya. Aku, ternyata juga masuk hitungan. Meskipun butuh waktu tiga tahun dengan bantuan angin New York, aku menyadari itu, bahwa aku adalah bagian dari orang-orang jahat.
Terlambat menyadari bahwa cinta seseorang begitu berharga. Terlambat menahan tangan itu, sampai dia benar-benar melangkah menjauh. Terlambat membalas perasaannya, sampai kedua mata itu tidak lagi memandang ke arahku. Terlambat mencintainya, sampai aku hanya bisa berdiri lesu di sini dengan mata berair.
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Wajahku yang semula dipenuhi riasan, kini malah menunjukan ekspresi sendu. Aku baru saja mencuci wajah di wastafel. Ada banyak ‘kemungkinan’ yang kupikirkan. Lebih baik bila aku melarikan diri, lalu membuat banyak orang mengacungkan jari tengah mereka padaku, kan?
Namun, kakiku tidak bisa lari.
Aku terjebak di sini dengan perasaan yang tak bisa kugenggam secara utuh.
“Hei.” Perempuan dengan rambut panjang sepinggang menyiku lenganku lumayan kuat, sedikit menimbulkan keterkejutan. Lalu, dia tersenyum manis dan mencuci telapak tangannya di wastafel sebelahku. Kami melakukan kontak mata melalui pantulan cermin. “Lo lama banget, Cer. Anak-anak nungguin lo, tuh! Mau potong kue.”
“Kenapa harus nungguin gue?” tanyaku, lalu mengeringkan wajah basahku dengan tisu. Aku melirik perempuan itu, Adinda, sahabat akrabku sejak masih berseragam putih abu-abu sampai masuk kuliah di jurusan dan universitas yang sama. Kami cukup beruntung, tak perlu melalui drama perpisahan sampai tersedu-sedu. Kami tak terpisahkan. “Ada atau nggak adanya gue, nggak akan memengaruhi apa pun, Din. Julia yang akan dapat suapan pertama, kan? Julia yang jadi pusat dunia malam ini.”
Adinda menatapku sekilas, lalu dia tersenyum kecut. “Lo nggak boleh lupa, ya. Siapa yang jadi pacar si pemeran utama malam ini? Wajar Julia jadi pusat dunia, karena dia adalah kekasih pemeran utama... And, you're only considered his friend.”
“Friend,” ulangku, bersamaan dengan rasa nyeri merasuki kalbu.
Adinda menambahkan setelah meloloskan helaan napas panjang, “Even, I doubt that Dikara still wants to see you that way after what happened in our college era.”
“You’re right.”
Adinda mengeringkan tangannya dengan hand dryer, sebelum tersenyum miring. “I’m always right,” jawabnya, sedikit angkuh—seperti biasa.
Aku tertawa kecil, karena balasan Adinda sedikit menghiburku. Lalu, “For Dikara, I definetely look like an enemy. He doesn’t want to see me here.”
“Dia nggak jahat, Cer.”
Memang tidak, karena aku hanya mau menghibur diri sendiri. Lagi pula, yang jahat di sini adalah aku, bukan dia.
“You know him lebih banyak dari kita semua,” tambahnya.
Aku termenung sebentar, sebelum kembali bersuara—sekali lagi, aku hanya berusaha untuk menghibur diri sendiri, “He wants to kick me out, but he still has manners.”
“Please, jangan jadi manusia kayak gini, Cer.” Perempuan bernama lengkap Brenda Adinda Tiara itu menggelengkan kepala, jelas tidak setuju dengan ucapanku. Yah, Dikara memang tidak jahat, dia masih memberiku kesempatan untuk menjadi bagian dari perayaan ulang tahunnya. Adinda menatapku dengan pandangan seakan dia menyerah untuk berdebat denganku. Namun, pada akhirnya, dia hanya berkata, “Stop it, Stupid.”
Aku sudah terlanjur pesimis dengan semua yang terjadi malam ini, dan sialnya belum berakhir.
Ini belum berakhir.
“I’m stupid. A little.”
Aku menganggukan kepala dan memaksakan seulas senyum. Ada sebuah quote yang pernah tanpa sengaja kubaca di internet, bahwa kita tersenyum untuk bahagia bukan bahagia untuk tersenyum. Ada perbedaan di antara kedua kalimat itu, kan? Katanya, bahagia itu sederhana. Untuk bahagia, kita hanya perlu tersenyum. Awalnya mungkin perih dan terpaksa, tapi setelah melihat pantulan wajahku di cermin, semuanya jauh lebih baik. Bahuku terasa lebih ringan, ketika mengetahui bahwa aku masih bisa tersenyum.
Tidak mudah melawan gravitasi dan membuat lengkungan itu di wajahku.
Aku sudah bisa memahami karma ini sejak beberapa bulan lalu. Kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan beasiswa selama 2 tahun di New York, dan 1 tahun bekerja di salah satu perusahaan di sana. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku merindukan rumahku, keluargaku, sahabatku, dan segala hal yang sempat kutinggalkan—termasuk sekeping hati. Aku memberi makan harapanku dengan penuh keangkuhan, bahwa aku tidak terlambat untuk bisa menggenggam tangannya. Aah, rupanya karma datang lebih cepat dari kecepatan lariku. Keangkuhanku mendadak menciut, rasanya ingin sembunyi di balik selimut. Namun, malam ini, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun tak ada lagi cinta, dari dia untukku.
Dia tidak membutuhkanku lagi.
Dia tidak menginginkanku lagi.
Tiga langkah di depan sana, dua manusia berdiri berdampingan dengan senyum cerah yang begitu jelas menghiasi wajah mereka. Mereka memotong kue ulang tahun bersama dan berbagi suapan. Mata itu, manik mata yang dulu menatapku. Tangan itu, tangan yang dulu memegangku saat aku terjatuh. Dan senyuman itu, senyuman yang dia berikan padaku.
Dulu, dulu, dulu.
Kata itu berputar tepat di atas kepalaku.
Kamandaka Julian Dikara, atau biasa disapa Dikara. Nama yang masih kuhafal di luar kepala, tanpa keraguan sedikit pun. Setiap detailnya, aku selalu berusaha untuk mengingat semua hal tentangnya. Hari ulang tahunnya, tanggal 1 Februari. Dia suka makan mie ayam bersamaku dulu, dan minum segelas jeruk hangat. Dia juga suka memakan buah salak, yang kalau tidak beruntung bisa mendapat buah yang rasanya asam. Saat kami masih cukup dekat, aku pernah memberinya hadiah 1 kilogram buah salak pondoh, jadi Dikara tidak akan tertipu dengan rasanya karena jelas rasanya manis, seperti kita—waktu dulu.
Omong-omong, Dikara berdarah Jawa yang didapat dari kedua orang tuanya yang merupakan asli Solo. Dia pernah bercerita dulu, dia pindah ke Bandung karena mamanya dipindah-tugaskan saat umurnya baru 6 tahun. Lalu, semuanya dimulai. Bandung, lebih mirip tanah kelahiran karena lebih familiar baginya. Namun, setahuku, Mama Dikara sudah tidak bekerja lagi setelah operasi usus buntu. Dikara yang memberitahuku, karena dia sangat suka berbagi cerita denganku. Dia tahu bahwa aku lebih suka mendengarkan.
Dulu dia sangat manis.
Salah satu alasan mengapa memori tentangnya begitu sulit dipendam dalam-dalam.
Selesai dengan lovey-dovey yang terasa pahit di mataku, manik mata Dikara tertuju padaku. Dia mungkin tidak sengaja melihat ke arahku, dan kujamin dia sangat menyesali hal itu. Kami berjarak tiga langkah, namun aku tahu kalau dia tidak akan berlari dan memelukku lagi. Dengan tiga langkah ini, dia tidak akan melakukan apa pun lagi. Berbeda jika hal ini terjadi saat kami masih mahasiswa baru—saat kami masih sama-sama muda untuk tahu pahit dunia, Dikara bahkan bersedia berlari ratusan langkah demi merawatku yang terkena demam kala itu.
Memories, kita semua memanggilnya seperti itu, kan?
Sebuah kenangan yang hidup di masa lalu dan mati di masa sekarang. Oh, mungkin bukan mati. Mungkin kenangan itu bukan mati. Kenangan itu hanya berubah menjadi sebatas bayang-bayang, di mana kita tidak bisa menyentuhnya lagi. Bayang-bayang itu terkadang berwarna putih, di mana kita bisa tersenyum saat mengingatnya. Namun, bayang-bayang itu juga punya warna abu-abu yang selalu membuat kita ingin berbaring di tempat tidur karena malas menghadapi realita.
“Cereliaaa!” sapa Julia, teman dekatku sejak kuliah.
Saat masa mahasiswa baru, kami hanya saling tatap dan tersenyum canggung. Lalu, setelah masa kuliah dimulai lebih intens, kami mulai suka berbagi semangat. Kami akan saling mendukung tiap kali kami kelelahan dengan tugas kuliah. Julia suka meneleponku pukul sebelas malam, lalu berbicara banyak hal sampai mood-nya membaik. Di masa kini, Julia mendapat label sebagai kekasih Dikara. Dalam sudut pandang lain, dia bisa disebut sebagai sainganku.
Sayangnya, bagiku, Julia tetap yang terbaik.
“Kangen banget, ih! Baru bisa ketemu sekarang,” lanjutnya, terdengar tulus.
Sebelumnya memang ada sebuah acara sambutan untuk kepulanganku, namun Julia tidak bisa hadir dikarenakan kesibukannya mengurus bisnis. Omong-omong, Julia memiliki workshop sendiri sebagai seorang lulusan Arsitektur, karena itu dia terlihat jauh lebih hebat dariku. Dia benar-benar terlihat keren di mataku. Perempuan mandiri, sederhana, dan tidak neko-neko. Membaca semua pencapaiannya, bukankah Dikara tidak salah memilih pasangan? Dan, aku mensyukuri itu.
Aku bersyukur karena dia akhirnya melabuhkan hatinya di tempat yang tepat.
Julia memelukku erat. Aku bisa merasakan kerinduan yang memenuhi dirinya. Kami teman dekat, jadi tidak ada yang salah dengan semua perlakuan manis ini. Jika kalian mau menunjuk orang yang bersalah di sini, maka tunjuk saja aku. Perasaanku yang baru meledak sekarang dan membuang banyak waktu di masa lalu.
Aku yang bersalah di sini, jadi salahkan aku!
“I miss you so bad,” kata dia.
“Me too,” balasku pelan, serta membalas pelukannya. Mataku terpejam. Aku hanya sedang merenungi kesalahanku padanya. Aku jatuh cinta pada Dikara di saat yang salah, dan Julia jauh lebih pantas mendapatkan Dikara dibanding aku. Setelah puas meminta maaf sebanyak-banyaknya di dalam hati, aku menambahkan, “Gimana kabar lo, hm?”
Julia melepaskan pelukan dan senyuman manis itu tidak pergi dari wajah cantiknya. Dia punya mata yang bulat, kulit cerah, dan rambutnya dipotong pendek dibawah telinga. Dia memiliki tampilan boyish, tapi alasan utama Julia memotong rambutnya menjadi pendek adalah karena bosan dengan model rambut panjangnya. Terkadang rambut panjang memang merepotkan. Aku bisa memahami itu.
“Baik.” Julia mengangguk. Lalu, dia memukul lengan atasku dengan mengerucutkan bibir. “Lo gimana? Kabar lo langka banget, sih! Jangan sampai lo bilang kalau di New York nggak ada sinyal. Lo sibuk banget, ya, sampai nggak bisa tanya kabar gue gitu? Padahal, gue kan yang seharusnya sibuk? Gue kan punya workshop sendiri.”
“Sombongnya masih nempel, ya?” Aku terkekeh geli, lalu, “Nggak gitu, Jul.”
Julia berpura-pura menatapku tajam. Dia tampak menggemaskan. “Ehm, gue tahu! Lo sibuk pacaran di sana, kan? Lo punya pacar, kan?”
Aku cukup terkejut dengan tuduhannya.
“Kenapa lo bisa berasumsi kayak gitu?” tanyaku, kurang mengerti.
Tidak ada waktu berkencan di sana, karena semua laki-laki yang kutemui di New York hanya kuanggap sebagai teman. Bukan karena mereka tidak menarik, tapi kamu tahu bagaimana rasanya ketika hatimu sudah tertinggal di Indonesia dan kamu tidak bisa memaksa dirimu untuk mencintai orang lain? Aku memang terlambat, tapi perasaan yang aku rasakan saat ini tidak perlu diragukan lagi. Aku bisa menjamin, kalau dadaku bergemuruh hanya pada sosok Dikara. Dan, aku tahu kalau aku salah karena mencintai dia di saat seperti ini.
“Lo dulu juga kayak gitu, kan?” Sebelah alisnya terangkat, lalu dia melanjutkan, “Pas kita kuliah, tiap lo pacaran pasti jadi lupa waktu sama teman-teman. Tuh! Tanya sama Dikara dan Adinda! Mereka saksi bisu waktu lo fokus pacaran terus, sampai jarang banget datang ke tongkrongan.”
Julia menunjuk kedua orang yang dia sebutkan.
Aku hanya berani melirik Adinda, dan menghindari kontak mata dengan Dikara. Lalu, aku menyeringai sedikit, dan, “Lo kira gue punya waktu buat pacaran, hm? Gue perempuan sibuk, asal lo tahu. I’m independent. Bukan cuma lo yang sibuk, gue juga!”