**
"Hei, Cerelia."
Tepukan pelan di bahu membuatku menoleh. Dengan jarak 30 sentimeter di depan wajahku, aku bisa melihat kreatur Tuhan yang benar-benar bagus. Tidak berubah sama sekali, Kak Rakai, yang selalu tampan dengan kulit eksotis. Potongan rambutnya selalu rapi sejak dulu, karena dia rajin ke tukang cukur. Tidak terlalu gondrong, tapi juga tidak terlalu pendek.
"Hai...?" balasku, sedikit ling-lung. Jaraknya terlalu berbahaya.
Kak Rakai tersenyum manis sambil menatapku.
"Kenapa, Kak?" tanyaku untuk mencari jawaban. Dia mau apa?
"Boleh ikut gue sebentar? Ada yang mau ketemu," katanya lembut.
Aah, ternyata belum berubah. Kata-kata yang diucapkan dari bibir Kak Rakai selalu bisa menghipnotis kaum hawa. Suaranya yang halus dan lembut. Tadi kami sempat berbasa-basi sebentar, tapi hanya untuk menyapa. Tadi juga formasinya belum lengkap. Sepertinya, aku tahu ke mana arah obrolan ini.
Orang itu sudah datang.
Kak Rakai menatap ke arah teman-temanku dengan senyuman mautnya dan bertanya, "Nggak apa-apa kalau gue pinjem Cerelia sebentar, kan, ya? Nggak akan diapa-apakan, kok. Boleh, ya?"
Mereka semua saling beradu pandang, kemudian mengangguk hampir bersamaan.
"Boleh, apa boleh?" tambahnya lagi, disertai tawa renyah. "Yes or yes, nih?"
Teman-temanku kembali mengangguk, tampak lebih santai dari sebelumnya. Mereka memberiku senyuman yang menenangkan—tentunya, Dikara tidak masuk perhitungan. Lalu, Adinda menepuk bahuku seolah memberiku kekuatan. Kalau memang benar seperti apa yang diceritakan oleh Maura dan Linda, maka aku akan bertemu dia di sini. Kenapa harus tempat ini? Apa dia sengaja datang karena tahu aku ada di sini? Mungkin juga, dia memang berniat untuk datang ke perayaan ulang tahun Dikara tanpa memikirkan akan bertemu denganku.
Aah, dia masih saja misterius.
Kak Rakai membawaku ke meja yang tak jauh dari meja teman-temanku, tapi tetap terasa private. Bar yang disewa oleh Julia memiliki suasana yang nyaman, seandainya aku juga bisa merasakan itu. Sayangnya, terlalu banyak kecemasan yang membumbung bahkan sebelum aku sampai di sini.
Kehadiranku langsung menjadi pusat perhatian. Tidak ada perempuan di sini, hanya ada lima orang laki-laki yang memang sudah sangat kukenali. Kalian pasti mengenal teman-teman pacar kalian, kan? Saat kami berpacaran, dia mengenalkanku dengan mereka. Dan, ternyata Kak Rakai adalah salah satu temannya. Kebetulan, teman-temannya memang tidak berasal dari jurusan yang sama. Seperti halnya Kak Rakai yang merupakan anak Teknik Sipil, sementara mantan kekasihku berasal dari jurusan Arsitektur—sama denganku.
Aku tidak pernah bertanya bagaimana caranya mereka semua bisa membentuk sebuah kelompok pertemanan dari jurusan-jurusan yang berbeda. Namun, kata Adinda, mahasiswa-mahasiswa keren selalu nongkrong di salah satu kafe dekat kampus. Kalau dipikirkan lagi, kelompok ini memang berisi laki-laki berkharisma semua. Limited edition pula, tidak ada duanya. Pantas penggemarnya juga berasal dari banyak fakultas.
Dia menarik perhatianku segera setelah aku dipersilakan duduk di antara mereka. Kami tidak membahas masa lalu, justru mereka banyak bertanya soal New York kepadaku. Sesekali, ada obrolan yang tidak bisa kupahami tapi cukup lucu untuk ditertawakan. Aah, aku jadi rindu mengobrol seperti ini. Dulu saat masih dengannya, aku sering menghabiskan waktu bersama mereka. Kalau sedang malam Minggu, pacar Kak Rakai dan Kak Bobby—salah satu temannya yang kalau bicara suaranya bisa naik 3 oktaf—akan bergabung. Bagus, aku tidak sendirian jadi bisa mengobrol soal topik perempuan.
"Lo sudah punya pacar, Cer?" tanya Kak Bobby. Kalau diibaratkan, dia adalah Linda versi laki-laki. Kak Bobby menunjuk dia, dan melanjutkan, "Tuh! Gue hanya mewakilkan Tuan Muda yang diem aja kayak ketahuan nyopet dari tadi."
"Gelo," balas yang ditunjuk dengan suara rendahnya. Dia asyik menggoyangkan gelas berisi bir yang ada ditangannya. Matanya tidak menatapku sama sekali.
Apa dia juga membenciku?
Kak Rakai ketawa renyah. "Nggak mungkin kalau Cerelia belum punya cowok. Nah, dia aja sudah berubah banyak. Sudah jadi wanita karir. Seleranya bukan lo lagi, deh, Bri."
Bri, diambil dari nama Brian Dika Anarghya. Mantan pacarku saat masih kuliah di Universitas Parahyangan untuk mengejar gelar Sarjana. Kami berkencan saat aku menjalani semester lima, sedangkan dia sudah semester tujuh. Lalu, kami putus saat kami sama-sama sudah lulus. Dia fokus bekerja, sedangkan aku mempersiapkan beasiswa S2-ku ke New York. Namun, bukan kesibukan yang menjadi alasan kami berpisah.
Tiga tahun bersamanya, kenangan itu perlahan mulai terkisis secara alami. Karena, manusia akan terus berganti. Yang datang akan pergi, dan yang pergi akan diganti. Aku ada di sampingnya ketika dia memakai toga dan kami berfoto di depan Universitas Parahyangan. Dia dan aku memamerkan segaris senyuman manis, dengan jari-jemari kami bertaut mesra. Seperti pasangan kekasih lainnya yang merayakan wisuda bersama.
Saat itu, kupikir 'bahagia' adalah dia.
Lelaki bernama Andrian—menurutku dia yang paling kharismatik di geng mereka—menyiku lenganku. Dia menunjukan senyuman lebar, sama seperti dulu. Dia memang suka sekali menunjukan senyuman serta gigi-gigi depannya. Biasanya, aku memanggilnya dengan tambahan 'Kak' di depan namanya. Dia berkata, "Lo kenapa, sih? Kenapa canggung kayak gitu, Cer? Santai aja lagi. Nggak ada yang suka makan manusia di sini. Let's just having fun!"
Begitu mudah baginya menganggap bahwa suasana ini nyaman untukku. Nyatanya, drum besar sedang ditabuh di dalam dadaku. Bukan salah tempatnya, bukan juga salah dari suasana, mungkin hanya karena kecemasanku yang merusak kewarasanku.
Dia menambahkan masih dengan senyum yang sama, "Jadi inget pas awal-awal lo dibawa sama Brian ke tempat tongkrongan. Sumpah! Gue kira kalau dia main-main pas pamer chat manis antara lo sama dia. Kayak nggak nyangka aja, sih... Brian yang terkenal paling cupu soal asmara, nyatanya bisa menggunakan hatinya juga. Dan, itu lo. Lo yang dia pilih sebagai pengisi hatinya, Cer. Gue masih nggak nyangka sampai sekarang, lho. Kok, ada yang mau sama Brian."
"HAHAHAAAA."
Mereka mengisi kehampaanku dengan tawa-canda.
"Eh, ternyata sama aja. Bucin juga," lanjut Kak Andrian.
"HAHAAAAHAHAAAHAAA!"
Sekali lagi, mereka tenggelam dalam candaan mereka sendiri yang tak bisa kukuasi.
Tawa mereka meledak, tak terkecuali Kak Brian. Dia memukul kepala Kak Andrian, namun aku bisa melihat kerutan di matanya ketika dia tertawa. Dia sepertinya suka dihina seperti ini. Eh, tapi memang fakta, kan? Aku juga tidak tahu akan berkencan dengan dia. Aku juga tidak tahu bahwa pertemuan mata yang hanya tiga puluh detik di acara seminar hari itu justru membawaku berlari jauh dengan dia, dan perlahan-lahan meninggalkan Dikara—yang ternyata sudah menyimpan rasa—di belakang. Apa aku sejahat itu, ya? Tidak. Cinta memang tidak bisa dipaksa. Saat itu, hatiku sepenuhnya untuk Kak Brian.
Nyatanya, cinta datang terlambat.
"Maksud lo Brian nggak baik gitu?" Kali ini, pertanyaan keluar dari bibir Gajendra Sa'id, yang lebih akrab disapa Kak Sa'id. Badannya lebih pendek, dan kalau bicara suaranya rendah. "Brian tuh kalau sudah sama cewek yang dia sayang, dia jadi budak cinta. Cuma ya gitu, terkadang caranya sulit dimengerti jadi kayak nggak peduli. Dia juga ganteng, kan? Apa kurangnya, hm? Menurut gue, Brian dan Cerelia itu satu level, makanya mereka saling cinta."
Satu level, katanya.
"Wah, gue jadi inget sama satu kejadian menggelikan!" Kak Bobby menimpali. Dia benar-benar ketawa puas. "Gue sama gebetan gue waktu itu, eh ketemu mereka di mall. Gue samperin, nggak nyangka aja pas Cerry bilang kalau Brian nggak mau potong rambut kalau nggak ditemenin. Padahal itu matanya Brian sudah hampir ketutupan. Nggak tahu gimana cara jalannya. Gue yang lihat aja takut kesandung. Memang nggak gondrong, sih... Cuma... lo tahu, dia jadi mirip jamet."
Kak Andrian tertawa keras. "Loba kahayang!"