DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #4

Satu: Karma & Stranger (3)

**

Suara berat yang sedikit serak itu membuat kepalaku langsung menoleh ke arah pintu masuk. Pesta ulang tahun Dikara diadakan di sebuah bar, Julia yang menyiapkan semuanya. Laki-laki itu melepas jaketnya dan masuk dengan terburu-buru. Dia menghampiri Dikara dan menyalami tangannya, lalu menuju ke meja kami. Ketika matanya bertemu denganku, dia langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia tersenyum sumringah. Coba tebak, aku rasanya justru mau melarikan diri.

Mengapa 'mereka' menyerangku di tempat yang sama?

"Re, lo ke mana aja?" sapa Kak Andrian. Dari nada suaranya, dia berusaha menutupi kejadian sebelumnya antara aku dan Kak Brian. Lagi pula, ini perayaan ulang tahun Dikara. Aku tidak seharusnya membawa masalah pribadiku ke tempat ini.

Lain kali, ya lain kali saja.

Kak Andrian menggeser tempat duduknya untuk lelaki itu, sehingga lelaki bersuara serak itu duduk di sebelahku sekarang. Kak Andrian mengambil sebotol alkohol yang sejak tadi ada di bawah meja. Lalu, "Nih, gue sudah siapin satu botol buat lo."

"Thanks, Bro," sahutnya senang. Dia menolehkan kepalanya ke arahku, dan berkata, "Cer, kapan balik ke Bandung? Yah, gue nggak dikabarin."

Aku ikut menatapnya dan memaksakan senyum. "Lumayan lama."

"Kapan?"

"Ya, sudah lama."

Dia menuntut, "Ya, kapan pastinya?"

Kak Bobby berdeham. Dia langsung membuka botol bir dan menuangkannya di gelas lelaki itu. Namanya Calief Reonaldi Adhyazka, namun bukan nama pertama yang menjadi panggilannya. Kami semua biasa memanggilnya Reo—sekalian, kami suka meledek dia yang namanya hampir sama dengan nama camilan yang iklannya diputar dan dicelup itu. Aku tidak ingat kapan aku terakhir kali bertemu dengannya. Saat wisuda pun, aku tidak melihatnya—lebih tepatnya, aku menghindarinya. Saat ini pun, aku juga sangat ingin lari darinya.

"Tiga bulan lalu," sahut Kak Rakai. "Cerelia balik tiga bulan lalu."

"Oh, ya?" sahut Kak Reo antusias. Dia melirikku dan Kak Rakai bergantian, lalu dia menambahkan, "Kerja di perusahaan mana? Gue mampir kapan-kapan, deh."

"Bukan perusahaan." Kini, Kak Andrian yang menjawab. "Dia punya bisnis restoran masakan Padang sama orang tuanya."

Alis Kak Reo mencuat heran. Bukan hal yang mengejutkan, sebelumnya ada banyak orang memberiku respon seperti itu. Lalu, dia bertanya, "Lho, kenapa malah buka restoran? Apa lo nggak sayang sama kuliah S2 Arsitektur yang jauh-jauh sampai ke New York? Lo juga sudah punya kerjaan enak di sana, kan? Makanya, gue nggak tahu kalau ternyata lo balik ke Bandung."

Aku menggeleng pelan. "Nggak ada penyesalan apa-apa untuk menimba ilmu. Kalau pun gue nggak mengamalkan ilmu Arsitektur yang gue dapat pas kuliah, dan justru memilih berbisnis, ya bukan berarti gue rugi. Iya, kan? Gue hanya melakukan apa yang gue suka, kok. Lagian, restoran masakan Padang itu sudah ada dari zaman dulu. Itu bisnis keluarga gue, dan sekarang gue mengembangkan aja pakai gaji gue pas kerja di New York."

Kak Rakai manggut-manggut. "Iya, sih. Nggak ada salahnya orang kerja nggak sesuai sama jurusannya pas kuliah. Memang ada peraturan yang mengharuskan kayak gitu?"

"Ada pro-kontranya, sih," sahut Kak Bobby, sembari mengusap dagu.

"Bukannya setiap hal memang mengandung pro-kontra, hm?" sahutku, kalem.

"Itu hak tiap individunya, kan?" Kak Sa'id menambahi. "Suka-suka mereka mau apa. Lulusan hukum mau buka bengkel, lulusan kimia mau jualan ayam goreng, atau apa pun itu selama mereka senang dan menikmati pekerjaan itu, apa salahnya? Lagian, bisnis tuh juga menguntungkan. Bisa buka lapangan kerja baru juga, kan?"

"Bener!" sahut Kak Brian, sambil mengangkat kedua jempol.

Kak Andrian menatapku dan menarik ujung bibirnya sampai membentuk senyuman manis. Lalu, dia juga mengangkat kedua jempolnya dan berkata, "Ya, gue mendukung kalau memang lo suka bisnis. Semangat, ya, Cer! Jangan hiraukan omongan tetangga pokoknya!"

"Thank you, Kak," ucapku, sambil melemparkan senyuman yang sama untuk Kak Andrian.

"Oh iya, kasih alamatnya ke gue, ya, Yan," ucap Kak Reo, sambil menepuk bahu Kak Andrian. Dia meneguk segelas bir, lalu menatapku lagi dan berkata, "Nanti gue janji bakal mampir. Eh, lo ada di sana, kan, Cer?"

"Ada, tapi nggak selalu," jawabku, sedikit malas. "Gue soalnya juga ada rencana mau buka kafe gitu, jadi fokusnya terbagi dua."

"Oalah." Kak Reo menganggukan kepala. Lalu, dia tersenyum, "Ya, sudah. Nanti gue mampir aja, meskipun lo nggak ada. Kan, gue juga bisa ngobrol sama orang tua lo."

Dia bicara apa? Nona penulis, tolong izinkan aku mendalami peran antagonisku. Aku sungguh ingin menjambak rambut lelaki ini, dan berkelahi di sini. Oh, tunggu sebentar! Ini bukan kawasanku. Ini perayaan ulang tahun Dikara, jadi sebaiknya kutendang dia keluar dari bar ini, baru kuajak berkelahi satu lawan satu. Sepertinya, itu bukan ide yang buruk.

Aku sudah tidak takut!

Aku sudah berani!

Seperti bisa membaca isi kepalaku, Kak Brian juga tampak malas. Dia memandangi Kak Reo diam-diam, kemudian berdeham keras, "Ekhem!"

Kak Reo langsung melirik Kak Brian dengan tatapan sinis. "Kenapa, Bri?"

"Tenggorokan gue sakit," jawab Kak Brian, berupaya terlihat kalem.

Mata sipitku mengawasi dua lelaki itu secara bergantian, seperti ada laser keluar dari kedua netra mereka. Dan, aku sangat ingin menikmatinya. Apa mereka akan berkelahi di sini sekarang? Aku sudah menantikannya. Dua laki-laki yang ingin sekali kubenci.

"Oh. Oke. Semoga cepet sembuh, Bri."

Kak Reo tampak menggertakan gigi menahan emosi—yang sebenarnya tidak perlu, hanya karena obrolan sepele seperti ini. Kecuali, jika rumor yang kudengar memang benar. Mereka pernah berkelahi di belakangku. Aah, sial! Aku tidak sempat melihat perkelahian itu. Namun, jika aku melihatnya, sepertinya aku akan berada di pihak Kak Brian karena aku mencintai dia saat itu. Berbeda kasusnya jika mereka berkelahi sekarang, aku hanya akan duduk sambil meminum cola dengan nyaman.

Kak Reo kembali menuangkan bir ke dalam gelas, dan meneguknya cepat sampai tak tersisa. Lalu, dia kembali menatapku. Seolah emosinya teredam begitu saja ketika melihatku. Dia bicara dengan tenang, "Lo makin cantik. Sudah lama nggak ketemu, jadi gue lumayan kaget gitu lihat penampilan lo yang sekarang. Gue nggak pernah merasa cewek akan terlihat cantik kalau rambutnya dipotong pendek sebahu, tapi lo cocok bangeeet, kok. Menurut gue, cewek rambut sebahu itu cewek yang malas merawat diri. Merawat diri aja malas, apalagi merawat rumah tangga? Lagian, kebanyakan juga jelek dan pipinya kelihatan gendut."

Aku memaksakan senyum lebar sampai gigi-gigiku terlihat. "Thank you."

"Sama-sam—"

Aku segera menyelanya, "Tapi, lo nggak punya hak untuk menilai penampilan orang lain, Kak. Itu urusan mereka mau punya rambut pendek atau panjang. Kalau memang di mata lo nggak menarik, ya simpan untuk diri lo sendiri. Lo nggak perlu mengutarakannya. Toh, opini lo nggak masuk akal. Rumah tangga? Nggak nyambung."

Kak Reo termenung, kemudian menyeringai. "Bukannya kita bebas berpendapat? Itu kan selera gue, dari sudut pandang gue."

Nih, kalau sudah bawa-bawa hak bebas berpendapat, orang-orang suka lupa cara mengutarakan dengan baik dan benar.

"Ya, tapi bukan dengan cara melakukan body shaming," sahutku, tegas. "Lo mungkin nggak menyadari itu, tapi cara lo mengutarakan selera lo bisa menyinggung para perempuan yang memotong rambutnya pendek. Coba direnungi lagi. Kalau misalnya bukan gue, pasti lo akan mengolok-olok mereka yang rambutnya pendek, kan? Kecantikan itu nggak ditentukan dari pendek-panjangnya rambut, Kak."

"Di mana letak kesalahan gue, sih?"

Dia masih keras kepala.

Aku terdiam sejenak, sengaja ingin menghela napas karena emosiku meluap. Lalu, aku pun menjawab, "Dengan lo bilang, Gue nggak pernah merasa cewek akan terlihat cantik kalau rambutnya dipotong pendek sebahu. Menurut gue, cewek rambut sebahu itu cewek yang malas merawat diri. Merawat diri aja malas, apalagi merawat rumah tangga? Lagian, kebanyakan juga jelek dan pipinya kelihatan gendut. Itu termasuk body shaming. Jelek, gendut, malas merawat diri. Opini lo... berantakan, dan nggak respect sama sekali."

Kak Reo menatap netraku dalam, terlihat jelas tidak mau menerima pendapatku. Yah, dia bebas memang memiliki selera sendiri, tapi caranya mengutarakan terlalu 'keras' dan bisa bersifat menyinggung. Tak lama, dia mengangguk pelan. "Oke, gue minta maaf," katanya.

Betapa mudahnya dia meminta maaf sekarang, dibandingkan dirinya yang dulu. Dia sepertinya sudah mengalami banyak pertumbuhan yang mengubah dirinya. Izinkan aku untuk sedikit berharap, bahwa dia juga akan meminta maaf padaku untuk kejadian di masa lalu.

"Gue dipihak Cerelia, ya, Kampret!" Kak Sa'id menyahut. Dia terlihat tidak suka.

Kak Reo menundukan kepala. "Ya, kan gue sudah minta maaf. Masih kurang, hah?"

Aku mengakhiri perdebatan kami dengan anggukan kepala, kemudian tanpa sengaja bertemu pandang dengan Kak Brian. Aku melihatnya dengan jelas, ketika lelaki itu langsung mengubah sorot mukanya. Dia tadi masih tersenyum samar, namun saat Kak Reo datang dan membuat suasana menjadi sedikit 'gaduh', senyum samar itu runtuh. Tatapan matanya yang dalam itu menjadi tampak menyeramkan.

Dengan bukti yang begitu nyata, aku harus memercayai rumor kalau mereka pernah berkelahi di belakangku. Namun, aku masih belum tahu apa alasannya. Mungkin, itu urusan antara dua laki-laki dewasa. Karena itu, Kak Brian pun tidak mau memberitahuku.

Omong-omong, aku mendengar rumor itu dari Ed yang diam-diam sering nongkrong dengan Kak Bobby. Kalian sudah tahu kan, Kak Bobby ahli dalam mengumpulkan gosip dan rumor. Dari mulut cerewet Kak Bobby, Ed membagikan rumor tersebut.

"Lo masih mau ngapain, Cer?" tanya Kak Brian. Dia menghabiskan segelas bir yang ada di tangannya, lalu, "Yuk, gue anter. Gue izin sama Adinda dulu, nanti gue dibegal sama dia kalau bawa lo tapi nggak izin."

Apa dia benar-benar mau mengantarku pulang? Baiklah, ini adalah kesempatan kedua yang kudapatkan malam ini. Dengan pulang bersama, kami berdua bisa menyelesaikan apa yang kukira sudah selesai, tapi ternyata masih membebani.

"Lho, sudah mau pulang?" Kak Reo cemberut. "Gue baru dateng."

"Lo telat." Kak Andrian menyentil jidat Kak Reo. "Kita sudah kenyang banget sama cerita Cerelia."

"Tenang, Bro!" Kak Rakai mengusap bahu Kak Reo, lalu dia nyengir lebar. "Nanti gue ceritain ke lo. Dijamin, lo nggak akan ketinggalan informasi."

"Yah, gue mau denger dari Cerelia langsung." Kak Reo menatapku yang sudah berdiri dari posisi, juga Kak Brian yang tampak mulai gerah di posisinya. "Lo balikan sama Brian?"

Mulutku terbuka otomatis. Mataku bertemu dengan Kak Brian, tapi laki-laki itu tak acuh. Aku menggeleng pelan. "Nggak, kok."

"Kok, pulang bareng?"

Kak Brian mengembuskan napas pelan. "Memang kenapa, Re? Nggak boleh?"

Kak Reo tersenyum kecut. "Anterin sampai rumah, jangan jadi pengecut."

"Pengecut?" tanya Kak Brian. Dia mengepalkan tangannya. "Iya, gue tahu kalau gue pernah jadi pengecut. Thanks sudah dikasih inget, Bro."

Lihat bagaimana cara mereka berdebat, rumor adalah fakta yang tertunda.

Kak Reo tersenyum meremehkan, lalu dia menatap manik mataku. "See you again, Cantik. I miss you so much."

Kak Bobby menoyor kepalanya. "Najis gue denger lo ngomong, Re!"

Kak Brian sudah tak peduli, langsung memintaku mengikutinya. "Ayo, Cer!"

Setelah bicara seperti itu, Kak Brian benar-benar menghampiri meja teman-temanku. Aku yang semula diam, akhirnya mengikutinya juga. Tasku ada di pangkuan Adinda dan dia menatapku dengan ekspresi bertanya. Dia pasti kaget karena tiba-tiba aku mau diantar pulang Kak Brian, padahal dia tahu kalau aku sudah menjatuhkan hati pada Dikara—alias, aku sudah move on. Sekali lagi, tidak ada peraturan bahwa mantan dilarang mengantar pulang. Lagi pula, aku kan punya tujuanku sendiri.

"Kak, gue mau ngomong sama Cerry sebentar aja. Boleh, kan?" tanya Adinda. Dia berdiri dari posisi duduknya. Aroma alkohol keluar dari mulutnya. Aah, dia pasti minum bir lebih dari satu botol. "Yuk, Cer."

Adinda memberikan tasku, lalu menggandengku.

"Kenapa, Din?" tanyaku, ketika kami berada di dalam kamar mandi.

Dia tidak segera menjawab, justru memandangiku dalam-dalam. "Lo nggak kenapa-kenapa, kan?"

Keningku berkerut. "Hah?"

"Kak Reo ada di sini."

Ah, aku tahu apa maksud pertanyaannya.

Ada perasaan takut yang tiba-tiba memeluk diriku dari dalam. Rasa muak dan benci yang semula ada di dalam diriku seketika tergeser sampai hilang. Pertanyaan Adinda tidak salah, aku memang menghindari lelaki itu mati-matian. Sejak wisuda, aku benar-benar tidak ingin melihat dia. Namun, aku justru bertemu dia di sini. Kurang ajar! Dia menambah suasana menjadi lebih buruk. Yang lebih menghancurkanku, kenapa dia terlihat baik-baik saja? Wah, pelaku pelecehan seksual bisa hidup dengan damai tanpa digerogoti rasa bersalah. Bedebah itu sungguh tahu caranya bertahan hidup.

Adinda mengguncang tubuhku. "Cer? Lo masih trauma, ya?"

Trauma, trauma, trauma.

Aku hampir melupakan itu selama di New York.

"Cerelia Juli?!"

Adinda kembali mengguncang tubuhku, terlihat khawatir.

Aku bangun dari lamunan panjang, lalu, "Gue nggak tahu, Din. Selama di New York, gue pikir gue sudah aman. Gue sudah nggak trauma lagi, tapi—" Aku menunjuk ke luar, dan melanjutkan, "Dia ada di sini, Din. Bedebah itu!"

"Gue tahu, itu bukan hal mudah." Sorot di wajah Adinda berubah muram. "Sorry, ya? Gue hampir lupa kalau orang itu bagian dari geng Kak Rakai."

Aku mengusap lengan atas Adinda lembut, lalu, "Nggak apa-apa, kok. Gue jadi bisa belajar cara menghadapi dia, Din. Nggak semestinya gue kabur selamanya. Gue rasa, semesta berada di pihak gue kali ini."

Adinda membulatkan mata. "Lo mau bahas masalah itu sama dia, Cer?!"

"Nggak," sahutku, lalu terkekeh kecil. "Satu per satu. Gue masih punya sesuatu yang harus gue bahas sama Kak Brian. Lo tahu, gue juga nggak bisa selamanya bersikap pengecut dan memendam masalah ini sendirian. Tiga tahun, Din. Bukan waktu yang singkat, gue harus lebih berani."

Adinda menatap pantulan wajahnya di cermin, lalu dia mengusap wajahnya dengan air yang mengalir dari wastafel. Setelah itu, dia baru bicara, "Lo yakin lo mau pulang sama Kak Brian, hm?"

"Iya, yakin," jawabku, tegas. "Gue sudah berani, Adinda."

Adinda kembali melempar tanya, "Dikara? Gimana? Lo nggak lihat ekspresinya pas tahu lo bakal pulang bareng Kak Brian? Please, dengerin gue. Dari cara dia melihat lo, dan dari cara kalian menatap satu sama lain, gue menemukan satu fakta yang bisa lo percaya... Demi celana dalam Spongebob, Dikara masih suka sama lo."

"Lo gila, ya?!" Aku menutup mulut Adinda sejenak, dan mengembuskan napas kasar. "Kalau Julia denger, gue bisa mati di sini. Julia nggak tahu masa lalu gue sama Dikara. Dia hanya tahu kalau gue sama Dikara sekadar teman baik. Lo kan tahu gimana Julia pas zaman kuliah. Dia fokus banget sama nilai, sampai nggak peka kalau gue dan Dikara lebih dari itu. Lo sama Ed yang peka soal kedekatan gue dan Dikara, yang ternyata sudah mulai nggak sehat. Lo sama Ed juga kan yang memojokan gue, sampai gue berikrar dan bilang: We are just friends."

Adinda memutar bola matanya. "Lo lupa? Dikara benci banget pas lo ngomong kalau kalian just friend."

"Ya, memang kayak gitu, kan?"

Adinda menatapku dengan sorot penghakiman. "Iya, makanya lo kena karma."

Aku memijat pelipis sejenak, lalu berkata dengan suara sangat lirih—aku menyesali masa laluku, "Itu cuma kisah-kasih masa kuliah, Adinda."

"Fine," sahutnya, ketus. Lalu, dia bertanya pelan, "Lo yakin dia sayang sama Julia? Seperti apa yang gue lakukan dulu—gue peka, Cer! Gue tahu banget arti tatapan itu. Dikara tetap sebodoh dulu, nggak bisa mengendalikan perasaannya sendiri."

"Lo mau gua jadi perusak hubungan dia?!" Aku melotot. Kepalaku tiba-tiba pening. Kenapa aku tidak minum bir tadi, ya? Aah, aku menghela napas dan menjawab, "Ya, lo pikir pakai logika! Kalau mereka nggak saling sayang, ngapain mereka pacaran, Din? Ayolah, gue memang pemeran antagonis di kisah ini, tapi gue nggak mau bersikap bodoh. Gue nggak mau menumbuhkan tanduk di kepala gue, Din. Pemeran antagonis ini ingin menjadi orang yang lebih baik dari masa lalunya."

Lihat selengkapnya