**
Satu kisah usang yang dibuka lagi di atas meja ini, dengan segala perasaan yang belum pudar.
**
Kepalaku pusing sekali, begitu aku sampai di apartemenku. Tadi rasanya tidak seperti sekarang, mungkin karena aku masih memenuhi dadaku dengan keangkuhan. Setelah sampai di dalam apartemenku yang gelap gulita, aku mulai merasakannya. Pembahasan tadi lumayan menguras tenaga. Namun, aku tetap bersyukur karena satu beban sudah diizinkan turun dari bahuku. Aku merasa lega, karena akhirnya aku dan Kak Brian bisa membicarakan masalah itu dan menyelesaikan semuanya. Meskipun ada sisa nyeri di dalam dada, tapi kuharap dia sungguh akan menjadi lelaki yang lebih bertanggung-jawab. Selama perjalanan pulang pun, kami bisa mengobrol dengan lebih santai, saling melempar tanya bagaimana kabar kami yang selama tiga tahun saling bisu dan tuli. Bahkan, dia mengantarku sampai ke lobi apartemen. Lalu, aku masuk ke dalam lift dan menekan angka dua puluh enam.
Tangan kiriku menyalakan lampu apartemen, sementara tangan kananku melempar tas slempang yang menggantung di pundak ke atas sofa. Dengan cepat, aku menjatuhkan diriku di sofa yang empuk.
Bahuku menjadi lebih ringan daripada saat aku meninggalkan apartemen ini tadi sore.
Aku hampir meragukan apa yang terjadi malam ini antara aku dan Kak Brian. Aku pernah berpikir, mungkin kami memang sudah 'selesai' sejak tiga tahun lalu, mungkin kami tidak perlu lagi saling bertemu dan berhadapan, mungkin kami memang sudah baik-baik saja. Namun, tentu saja, semua kemungkinan itu adalah kesalahan. Dan, aku sangat bangga dengan diriku karena berhasil menyelesaikan semua kesalahan itu.
Semoga kami tidak perlu merasa kesakitan lagi.
Selain karena pembahasan malam ini, pusing di kepalaku sepertinya juga disebabkan oleh efek dari udara dingin dan rambutku yang sedikit basah karena terkena air hujan. Jam dinding di apartemenku menunjukan pukul satu pagi. Letak apartemenku yang berada di pinggiran Kota Bandung membuat perjalanan kami terasa jauh. Atau, ini hanya efek ilusi. Bukan jaraknya yang jauh, tapi kepalaku yang melayang di udara dan membawaku terjebak ke dimensi lain—dimensi di mana aku tidak ingin membuka mataku.
Bandung mulai hening. Aku juga hening.
Satu masalah selesai, tapi masih ada masalah lain yang berkoar-koar juga minta diberi perhatian.
Dikara, Dikara, Dikara...
Nama itu melayang tanpa bisa kukendalikan di atas kepala.
Lampu yang aku nyalakan hanya lampu ruang tamu. Dengan pencahayaan seperti ini, pasukan air mata mulai berjatuhan tanpa ampun. Aku diserang pukul satu pagi. Pipiku basah, sampai aku terisak menahan sesak yang mungkin bisa membunuh kewarasanku dalam waktu singkat.
Apa saja kesalahan yang kutinggalkan di masa lalu dengan tidak pengertian?
Lari dari masalah bukan keputusan yang tepat. Kalian harus belajar dariku, bahwa lari dan sembunyi, kemudian pura-pura baik-baik saja bukan pilihan yang bijaksana. Pantas saja, New York tidak bisa kunikmati dengan baik. Aku... masih meninggalkan banyak luka di sini.
Suara guntur terdengar dan aku memeluk diriku sendiri. Malam ini, aku hanya dibalut dress tipe shoulder-off hitam panjang yang memperlihatkan bagian bahu, yang sebenarnya tidak terlalu cantik. Entah mengapa aku memilih memakai baju ini. Saat memutuskan untuk datang ke perayaan ulang tahun Dikara, isi kepalaku seperti kosong.
Setengah ragu, setengah angkuh.
Aku bisa, aku bisa, aku bisa....
Oh, omong-omong, tangisanku malam ini untuk siapa? Dikara, atau laki-laki itu yang katanya menjadikanku prioritasnya?
"Kak Brian." Suaraku bergetar. Aku menahan emosiku. "Aku boleh ngomong, kan?"
Kak Brian melirikku, lalu dia tersenyum dan mengangguk. "Ada apa, Sayang?"
Panggilan itu biasanya membuat hatiku mencair, namun kali ini tidak memberikan efek apa pun. Aku diam sejenak, sambil memandangi wajahnya yang selama seminggu ini menghilang. Entah apa yang terjadi, dia tidak memberiku kabar apa pun. Dia hilang, selalu seperti itu. Setiap kali aku mengungkit masalah ini, dia akan mulai marah dan menganggap aku kurang memahaminya. Awalnya aku baik-baik saja dengan semua lemparan kesalahan itu, sampai aku menyadari kalau aku tidak menjadi diriku sendiri. Dalam kisah ini, aku lebih sering meminta maaf. Aku juga mengalami gangguan kecemasan yang membuatku memilih meminum pil tidur untuk lebih tenang. Kukira, pilihanku sudah benar. Namun, semakin lama, semakin membuatku kesakitan.
Aku benar-benar kesakitan sendirian.
Kemarin adalah hari jadi kami yang ke tiga puluh enam bulan. Oh, jelas bukan sesuatu yang spesial. Aku berharap masih akan merayakan lebih banyak hari jadi bersamanya.
Jika itu memungkinkan...
"Kita udahan aja, Kak," kataku, lirih. Aku masih takut kalau dia tiba-tiba marah, lalu dia akan melemparkan semua kesalahan padaku. Padahal aku sudah berusaha keras untuk tetap bertahan di sisinya. Namun, dia tidak pernah mau melihat itu.
Dia terus-terusan menutup mata dan telinga.
Lelaki yang kucintai itu menghentikan aktivitasnya bermain ponsel. Dia membeku, lalu dia meletakan ponselnya di dasbor mobil dan menatap ke arahku dengan sorot mata yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Matanya dalam sekali, seperti dasar laut. Matanya itu membuatku hanyut. Dia tampak berpikir, lalu tersenyum kecut.
"Kamu ngomong apa, Cer?" tanyanya. Dia tertawa hambar, lalu mengusap puncak kepalaku. "Kita pindah tempat aja, ya. Mau ke bioskop atau ke toko buku? Yuk!"
Aku menggeleng. "Kak... kita... beda."
"Nonton aja, mau?"
Aku mengembuskan napas. Kami berdua berada di dalam mobilnya. Mesin mobil ini sudah dimatikan sejak tadi, karena kami memang mau berhenti di sini. Berhenti di Alun-alun, dan membeli banyak jajanan. Kami suka melakukan hal itu, walaupun mungkin aneh bagi pasangan lainnya. Dulu ini mengasyikan, tapi sekarang mulai melelahkan. Jangan lupakan soal sikap dia yang misterius itu.
Yah, semuanya bukan hanya salahnya. Dia memang sudah misterius sejak awal, tapi aku selalu keras kepala. Atas nama cinta, aku bilang pada semua orang: Aku akan mencoba terlebih dahulu, dan melihat perubahannya. Dia akan berubah demi aku.
Satu hal yang tidak aku tahu, bahwa seseorang tidak akan berubah tanpa kesadaran dirinya sendiri. Meskipun dia bilang dia mencintaiku, keberadaanku tidak cukup kuat untuk membuatnya mengubah kebiasaan buruknya itu.
"Cer," panggilnya. Dia menatap kemudinya, lalu, "Please, jangan."
Aku menatap wajahnya. "Kita mulai lelah, Kak. Semua yang kita lakukan nggak lagi indah, semuanya nggak membuat kita bersemangat. Jalan-jalan hari ini aja hanya sebuah 'rutinitas' yang harus dilakukan, bukan karena kita berdua pengin melakukan itu. Aku nggak tahu sejak kapan, tapi aku rasa.. aku sudah menahan semuanya sendirian. Sudah cukup, Kak. Caramu mencintai nggak sesuai dengan caraku ingin dicintai. I know, you know better."
"Aku tulus hari ini, aku memang niat mau jalan-jalan sama kamu makanya aku izin Ibu." Kak Brian menatap lurus ke manik mataku. "Yang beda, kamu atau aku...?"
"Aku," jawabku, tanpa keraguan. "Aku yang capek sama sikap kamu. Suka hilang-hilangan, nggak ada kabar, egois, nggak pernah mau tahu tentang aku—"
"Kamu tahu, sejak awal kalau sikap aku kayak gini, Cer," selanya. Dia benar, aku tahu itu. Aku mencintainya dan aku pikir dia akan berubah. Ekspektasiku terlalu tinggi, aku yang salah. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap pipi kananku pelan. "Maaf. Aku juga beda, Cer. Aku juga nggak tahu apa yang salah, tapi... apa pun yang beda, aku nggak mau kamu pergi."
Aku terlalu pengecut untuk mengakuinya, bahwa masalah kami bukan hanya sekadar sikap misterius dan hobi menghilangnya. Ada yang lebih jauh dan lebih menakutkan. Cara dia menghadapi kritikanku, cara dia menyerang simpati dan empatiku, serta cara dia untuk membenarkan perbuatannya yang sesungguhnya membuatku kesakitan.
Gaslighting, yaitu salah satu bentuk kekerasan mental dengan memanipulasi seseorang secara psikologi sehingga orang tersebut mempertanyakan kewarasan dan realitasnya.
"Mungkin, ini yang terbaik...," sahutku, sambil mengalihkan pandangan keluar kaca. Terik matahari membuat keadaan mobil semakin panas. AC-nya sudah menyala, tapi kepala kami tetap memanas. "Dengan pisah kayak gini, kamu atau aku bisa introspeksi diri, Kak. Aku yang nggak bisa paham sama dunia kamu. Iya, aku selalu yang terlihat salah. Dari segi mana pun, aku yang salah. Di depan teman-temanmu pun, kamu menuduhku terlalu cari perhatian. Di depan teman-temanku, aku membelamu habis-habisan. Apa ini yang namanya hubungan yang sehat? Nggak! Kita berdua tahu itu, kita berdua nggak baik-baik aja. Kita terjebak di lingkaran yang sama. Aku mulai merasa ketergantungan sama kamu, dan... kamu juga mulai terbiasa menggunakan cara itu untuk membenarkan diri."
"Kita masih bisa, kalau kamu nggak gampang menyerah," responnya.
Aku tersenyum getir. Lalu, aku balik menyerangnya dengan bertanya, "Kamu pergi ke mana selama seminggu ini? Lucu banget, bagaikan ditelan bumi."
Kak Brian diam. Lalu, dia berkata, "Banyak tugas kantor, Cer."
Alasan yang diulang-ulang.
"Oke." Aku mengangguk mantap. Lalu, "Kenapa nggak kasih aku kabar? Aku nggak akan ganggu kalau Kak Brian mau terbuka sama aku. Aku juga bisa ngerti, aku bisa mikir. Setiap kali aku mengutarakan opiniku tentang hubungan kita, kamu langsung marah dan menunjukan semua kesalahan ke aku. Yang tadinya aku pengin menyelesaikan masalah, aku justru ketakutan; takut kamu marah, takut ternyata aku yang salah. Aku meragukan opiniku sendiri, terus... pada akhirnya, aku yang minta maaf."
Dia menghela napas panjang. Lalu, "Aku terkadang nggak nyaman—"
"Nggak nyaman sama aku?!" Aku menyela. Aku benar-benar bingung dengan jalan pikiran laki-laki ini. Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan, lalu bersiap turun dari mobil. "Let's talk about it when we are ready."
"Kalau kamu turun dari mobil ini, artinya semua sudah selesai."
Aku menghentikan niatku. Apa katanya? Setengah heran, aku memandangi netranya yang tidak menunjukan rasa bersalah. Sudah kuduga, dia pasti tidak memahami di mana letak kesalahannya.
"Apa yang selesai?"
"Masalah ini," jawabnya, enteng. Dia menyadarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu melirik ke arahku sekilas. Dia melanjutkan, "Kalau kamu turun dari mobil ini, maka... kita anggap masalah ini selesai dan kita jalani hubungan seperti biasanya."
Hari ini, Kak Brian berhasil membuatku tertawa sarkas. Dia sungguh lucu, sampai aku ingin sekali mencekik lehernya atau meninggalkan bekas tanganku di pipinya. Oke, aku mulai dirasuki roh jahat.
"Gimana... kalau hubungan kita aja yang selesai, hm?" pancingku.
Kak Brian tidak membuka mulutnya sedikit pun.
"Kita... selesai," tambahku, lalu membuka pintu mobil.