**
Mulut Cherry terbuka. Kerutan di dahinya semakin nyata. "Kak Cerelia nggak pernah pacaran sama Kak Dikara? Eh, tapi waktu itu... Sebentar! Ada yang aneh."
"Hidupnya Cerry memang sudah dipenuhi keanehan yang nggak akan lo pahami," ucap Adinda, lalu menahan tawa. Dia pasti senang meledekku di depan adik Dikara.
"Kak Cerelia sudah dibawa ke rumah kita yang lama, kan, ya? Kakak ngobrol sama Mama waktu itu, kan? Kalian sama-sama suka buku karya Haruki Murakami, bahkan belanja buku aja bareng Mama. Asal Kakak tahu, ya! Kakak adalah perempuan pertama yang dibawa ke hadapan Mama. Makanya, waktu itu, aku sama Kak Danendra sudah siap-siap mau jahit baju. Kan, siapa tahu... Kalian menikah habis wisuda. Kak Cerelia juga dianter-jemput sama Kak Dikara. Kayaknya Kak Dikara juga pernah bilang kalau kalian ada something. Lah, jadi selama ini nggak pacaran?"
Aku menggeleng pelan. "Nggak."
Cherry melongo dengan tatapan keheranan. Lalu, dia berkata, "Aku jadi bingung, deh, Kak. Zaman sekarang lagi trend hubungan tanpa status, ya. Apa itu namanya? FWB bukan, ya?"
Aku yakin, Cherry bertanya pada dirinya sendiri. Aku tidak mau memberi jawaban.
"Gue juga bingung, Cher." Adinda menyahut, lalu memberiku tatapan sinis. Setelah itu, dia kembali mengubah pandangan ke arah Cherry. "Coba lo tanya aja! Gue juga nggak paham sama jalan pikiran mereka berdua. Kakak lo juga aneh, nggak bisa dimengerti."
Cherry manggut-manggut. "Bagian mana yang nggak bisa dimengerti?"
"Itu yang lo bilang something, itu apa?" bisik Adinda, sambil tersenyum tipis.
"Rahasia," jawab Cherry, dengan mengedipkan mata.
"Lah, bagi-bagi. Rahasia akan terungkap pada waktunya, jadi lebih baik diungkap saat ini mumpung orangnya di sini." Adinda menyenggol lenganku pelan, lalu memberiku jenis senyuman yang menyebalkan. "Iya, kan? Gue yakin, lo juga penasaran, Cer."
Aku mengibaskan tangan. "Aah, bodo amat sama kalian."
Cherry tertawa renyah, sampai nampan di tangannya bergoyang. Kalau sampai jatuh, kami akan membuat kekacauan besar. Lalu, dia berkata, "Kalau aku bilang, Kak Dikara suka sama Kak Cerelia... Percaya, nggak? Tapi, kayaknya sudah tahu, ya."
"Sudah tahu, tapi baru sadar sekarang," goda Adinda.
Telingaku benar-benar panas. Sampai kapan, aku harus berada di sini?
"Sudah, yuk! Kita masuk ke kamar Dikara aja," ajakku.
"Cie, nggak sabar mau ketemu." Sekali lagi, Adinda menggodaku. Lalu, dia melihat Cherry dan tersenyum lebar sampai memamerkan gusi-gusinya. "Coba lo jelaskan lagi biar si manusia nggak peka ini bisa paham. Kakak lo suka sama Cerry, kan?"
Cherry mengangguk dengan penuh antusias. "Ya, coba dipikir pakai logika aja. Kalau nggak suka nggak akan jadi prioritas. Diantar-jemput tiap hari, makan bareng, dikenalin ke Mama, selalu cerita soal Kak Cerelia sampai aku bosen... Dan, Kak Dikara juga pernah jam sembilan malem keluar naik motor. Pas ditanya mau ke mana, eh katanya Kak Cerelia lagi sakit, ya? Pingsan, kan?"
Aku mengingat kejadian itu. Aku bukannya sakit, tapi itu adalah hari pertama period. Aku tidak tahu mengapa perutku seperti diremas padahal biasanya tidak separah itu. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhku, dan aku tidak bisa bangun. Badanku lemas sekali. Kalian salah, aku tidak menghubungi Dikara sama sekali. Aku membuat batas yang tak kasatmata dengannya. Waktu itu, aku menghubungi Kak Brian tapi dia tidak menjawab teleponnya, lalu aku menghubungi Linda yang saat itu indekosnya dekat dengan rumahku. Ayah dan ibu pergi ke kondangan teman mereka, jadi pulangnya larut malam. Tidak ada yang bisa aku mintai bantuan. Namun, tiga puluh menit kemudian, suara motor Dikara yang terdengar. Langkahnya terburu-buru, tanpa basa-basi membuka pintu rumahku yang saat itu—seperti sebuah takdir—tidak terkunci. Dia bisa dilaporkan dengan tuntutan masuk ke rumah orang tanpa izin, namun orang tuaku justru berterima kasih padanya. Setelah sampai di kamarku, dia memberiku jaketnya. Dia sempat menyentuh jidatku, dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Malam itu, dia seperti cahaya yang menyinariku di kegelapan.
"Woy!" Suara Ed dari kamar Dikara. "Sini lo! Mau jengukin Dikara, apa mau gosipin Oppa-oppa?"
"Siapa yang gosipin Oppa-oppa, sih?" Adinda sewot dan berjalan menyusul Ed.
Aku hanya tersenyum tipis, lalu berjalan beriringan dengan Cherry yang membawa nampan. Aku menawarkan diri untuk membawa nampan tersebut, dan Cherry setuju jadi nampan itu beralih ke tanganku sekarang.
"Lo mending ke kamar aja. Kalau ada Ed, gue nggak yakin lo bakal tenang," kataku.
Cherry menunjukan senyum menggemaskan. Dia merangkul tubuhku erat, sampai aku hampir kehilangan keseimbangan untuk memegang nampan. Tolong, jangan sampai kami membuat kekacauan besar. Dia berkata, "Kangen banget sama Kak Cerry. Kapan kita bisa jalan bareng lagi? Aku sudah SMA, aku boleh nonton ke bioskop. Kalau dulu kan aku suka ngambek, soalnya mau ikut Kak Cerry sama Kak Dikara nonton film tapi nggak dikasih izin sama Mama. Mm, inget yang dulu-dulu jadi... kangen. Waktu cepat bergerak, ya, Kak."
Iya, waktu juga menjebakku di saat yang tidak tepat. Jatuh cinta dengan kakak laki-lakimu di saat dia sudah menjadi milik orang lain. Mirisnya, Dikara dimiliki oleh temanku sendiri yang jelas-jelas wajib kupadamkan nyala api penuh harap di dalam dadaku. Waktu yang salah, atau... aku yang terlalu ceroboh dalam membuat keputusan? Kini, aku mulai terbiasa dengan karma. Sedikit demi sedikit, kubiarkan karma melakukan kewajibannya.
"Lo mau nonton apa?" tanyaku sambil menahan beratnya nampan. Aah, lemah sekali.
"Nonton film bareng, yuk, Kak?" Cherry tampak antusias. Dia mengerjapkan mata. "Aku nanti yang beli tiketnya. Minggu depan, ya, Kak."
"Kenapa mau nonton film sama gue?" tanyaku, kurang mengerti. Dia bisa menonton film bersama teman-temannya. Dia kan berjiwa muda. Belum tahu pahitnya dunia.
"Pokoknya aku mau nonton sama Kak Cerry!" katanya. Dia menepuk bahuku pelan, lalu dia berlari ke kamarnya. Sebelum dia menutup pintu, dia sempat menambahkan, "Kita harus nonton bareng!"
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi anak SMA yang punya energi sebesar Cherry. Mungkin, karena aku adalah anak tunggal jadi rasanya cukup aneh melihat betapa menempelnya Cherry padaku, seolah kami memang punya ikatan darah. Wah, pasti akan sangat menyenangkan jika aku mempunyai adik setidaknya satu saja. Aku ingin tahu bagaimana rasanya menghadapi adik yang tengah dalam masa pubertas. Apakah Dikara pernah kesulitan menghadapi Cherry? Dia adalah laki-laki sedangkan Cherry seorang perempuan yang feminin. Ada perbedaan dalam hal menghadapi masa pubertas.
Saat aku melewati masa pubertas dulu, aku menjadi tambah keras kepala. Aku merasa semua pilihanku benar. Bahkan, aku sering mengabaikan perintah ayah dan ibu. Masa-masa itu masih tergambar jelas di dalam kepalaku. Namun, dengan masa-masa itu, aku pun belajar untuk menjadi lebih bijaksana. Melihat tingkah Cherry membuatku bertanya-tanya, mungkin aku juga sama seperti dia. Cherry benar-benar aktif dan terlihat mulai memberontak. Anak yang sedang pubertas memang biasanya susah dikasih tahu. Yah, Cherry memasuki tahap itu.
Tak apa, dia akan melewatinya dengan baik. Aku percaya itu.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berjalan ke pintu kamar Dikara. Pintunya sengaja dibuka setengah, sehingga aku mudah untuk masuk ke dalam. Aku mendorongnya dengan kakiku karena kedua tanganku memegang nampan, kemudian aku meletakan nampan itu di lantai karena Adinda dan Ed duduk lesehan di karpet. Sementara itu, si pemilik kamar duduk di atas kasurnya.
"Cherry yang nyuruh lo bawa nampan itu?" tanya dia, datar.
Aku menggeleng. "Gue yang minta ke dia. Kasihan Cherry bisa kena sawan kalau ketemu sama Ed."
"Heh!" sahut Ed dengan mata melotot. "Cer, please! Gue bukan Om-om pedofil."
"Jijik banget kalau lo sampai jadi Om-om pedofil." Adinda menoyor kepala Ed keras sampai tubuh Ed oleng dan hampir saja dia mengenaiku yang baru saja duduk di sebelahnya.
Aku setengah berteriak, "Woe! Ed, badan lo—"
Aku membeku ketika tangan Dikara menahan tubuh Ed supaya tidak menindihku. Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan aku baru mengedipkan mata. Tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya. Dia hanya menahan punggung Ed dengan kedua tangannya sebelum tubuh Ed menindihku. Padahal, kulihat tangannya lecet-lecet. Juga diperban.
"Lo jangan buat kekacauan di kamar gue, Ed," kata Dikara. Dia memindahkan tangan yang tadi dia gunakan untuk menahan tubuh Ed ke luka lecet di lututnya. Kalau disebut tidak parah, ya memang tidak. Namun, kuyakin tetap terasa perih. Lalu, dia tiba-tiba melirikku, "Lo kemarin jadi makan mie ayam?"
"Eh...?" Mataku melebar dan lidahku kelu.
"Nggak jadi, katanya rencananya batal." Adinda menjawab. Dia paling tahu saat-saat lidahku kehilangan kemampuannya. Lalu, Adinda bertanya kepadaku, "Kalau lo nggak jadi makan sama dia, lo berarti sampai apartemen lebih cepat, kan? Kok, pesan-pesan gue nggak terbaca? Dikara kecelakan juga sekitaran jam satu kurang sedikit, sih."
"Satu kurang sepuluh menit," ucap Dikara mengoreksi.
"Lo yakin banget jam segitu, Dik?" Ed mengangkat sebelah alis. "Cuma perkiraan lo, kan?"
"Nggak." Dikara menata bantal untuk dijadikan tempat sandaran punggungnya. "Gue lihat jam tangan pas banget sebelum gue celaka. Yah, itu penyebab gue sampai bisa ciuman sama aspal. Gue lihat jam makanya gue nggak tahu ada polisi tidur di depan."
"Makanya lo fokus kalau lagi naik motor." Ed mengambil segelas jus yang dibuatkan Cherry, lalu dia meneguknya. Setelah itu, Ed menatapku. "Kak Brian pasti ngomong sesuatu sama lo, ya? Apa dia ngajak lo balikan? Nggak mungkin, dia nganterin lo pulang kalau nggak ada niat terselubung."
"Nah!" Adinda bertepuk tangan, yang membuat kami semua terkejut. "Itu yang gue tanya ke dia, tapi dia nggak mau jawab. Jangan-jangan... lo balikan sama dia tapi nggak mau gue tahu, ya?"
Aku melengos. "Jangan asal ngomong lo."
Ed berdecak kesal. "Lo mau kasih tahu, atau gue cari tahu sendiri? Gue suka main ke tempat kerja Kak Bobby, lho."
"Dan?" tanyaku, masih tak acuh.
"Kak Bobby kalau ngomong suka bocor," jawabnya. "Gue tanya ke dia. Gue jamin, lo justru makin malu karena Kak Bobby tahu segala hal yang tersembunyi."
"Nggak." Aku menggeleng. "Dia nggak tahu satu hal."
"Apa?" tanya Ed.
Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Kak Reo."
Ed termenung sejenak, lalu, "Lo punya hutang sama Kak Reo, Cer?"
"Otak lo di mana, sih, Ed?" Dikara menoyor kepala Ed pelan, sehingga Ed nyengir kuda. "Kalau otak lo jatuh, lo harusnya langsung pungut."
"Dia mana punya otak," kata Adinda, santai.
Ed cemberut. "Kalau gue nggak punya otak, ya gue nggak bakal lulus dengan IPK 3,6 dari jurusan Arsitektur Parahyangan."
"Bodo amat." Dikara memejamkan mata. Lalu, dia mengembuskan napas berat. Tak lama, dia kembali membuka matanya dan menatapku. Dia bertanya pelan, "Lo masih belum bisa lupain kejadian itu, ya? Lo cerita aja, gue males juga dengerin suara Ed."
Dia mau aku cerita? Tunggu! Dia juga masih ingat sama kejadian itu?!
"Ada apa sama Kak Reo?" tanya Ed, penasaran.
Aku mengembuskan napas panjang, sembari mencari jawaban masuk akal. Lalu, aku berkata lirih, "Kak Reo... suka makan mie ayam juga."
Ed mengerutkan dahi. "Hah?"
Adinda memutar bola matanya, malas. "Sudahlah, Ed. Nggak penting-penting banget topiknya."