**
Kalau bisa membalikan garis waktu yang sudah mengikat kita sejauh ini, tidak akan kubiarkan ada permainan rasa di antara kita.
**
Kalian mungkin tidak akan percaya dengan apa yang terjadi padaku sekarang. Aku terjebak tanpa punya cara untuk menghindar sedikit pun. Jadi ini yang dimaksud dengan makan buah simalakama—kanan kena, kiri kena, mundur kena, maju pun kena. Tanganku digenggam dengan erat, sementara bibirnya tengah sibuk menceritakan hari-harinya selama aku tidak ada. Tentang Bandung dan seisinya. Tentang dia dan kekasihnya. Tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud, namun sedang diusahakan. Tentang hal-hal yang terlewatkan. Tentang aku yang dianggap berhasil menemukan jati diriku. Tentang kami, tiga manusia yang diam-diam dijebak pilu.
"Gue iri sama lo, Cer. Dari dulu, gue pengin banget holiday ke New York," kata Julia. Tangannya memainkan jari-jari tanganku. Lalu, dia menatap kekasihnya—Dikara, yang duduk tepat di hadapan kami. "Kalau kamu ada cuti, kita ke New York, ya? Bertiga aja."
"Kenapa bertiga?" tanyaku, kurang paham. Aku juga terkejut.
Julia tersenyum manis. "Ya, lo kan nanti jadi tour guide buat gue dan Dikara."
"Oh." Aku terkekeh palsu, lalu, "Iya, iya! Gue bisa jadi guide."
Mungkin, maksudnya, aku menjadi nyamuk di antara mereka berdua.
"Bertiga?" Alis Dikara terangkat. Dia melihatku sekilas, lalu mengangguk kecil. "Iya, kapan-kapan. Susah mau minta cuti, aku punya proyek pembangunan mal."
"Sibuk banget, sih." Julia cemberut.
Aku mengatakan akan pergi dari rumah ini setelah satu jam, namun nyatanya aku tidak bisa. Bukan, jangan menunjukan raut kesal itu padaku. Bukan aku yang mau. Aku juga sudah berusaha kabur, tapi keadaan tidak mendukungku. Saat aku berpamitan, tiba-tiba Julia datang sambil membawa seplastik mangga madu yang dia beli dalam perjalanan ke sini—dia bilang begitu. Kalian tidak lupa, kan? Julia tadi memang pergi ke kantor dulu, katanya ada urusan penting. Lalu, dia baru menjenguk Dikara sekarang.
Tadinya aku menolak saat Julia menahan tanganku. Sungguh, aku sudah berusaha kawan-kawan. Tolong jangan lihat aku sebagai pecundang begitu. Aku juga sudah meminta bantuan Adinda, namun gadis gila itu justru menyuruhku untuk tinggal. Katanya, Ed akan menjemputku setelah adzan magrib.
Mataku menatap ke luar jendela. Senja Bandung hari ini tampak cantik. Jarum jam di kamar Dikara menunjukan pukul setengah enam. Oke, tahan saja. Sebentar lagi, aku terbebas dari tempat ini. Sebenarnya, aku merasa bodoh sekarang. Dadaku sesak dan hatiku hampir terjatuh menjadi kepingan kecil ketika aku melihat kedekatan Julia dan Dikara. Oh, mereka adalah pasangan kekasih sekarang. Lalu, aku apa? Bagian menyakitkan dari masa lalu Dikara, sekaligus merangkap sebagai teman. Yang jahat di sini, adalah aku. Tidak apa-apa, kalian boleh berdiri di belakang Julia. Dia pantas mendapatkannya.
"Cerelia."
Suara mama disertai suara ketukan pintu sebanyak dua kali. Lalu, pintu kamar Dikara terbuka dan menunjukan sosok wanita paruh baya dengan badan yang sedikit berisi. Wanita itu membalut tubuhnya dengan kaus warna putih yang kebesaran dan celana training. Kalau kalian penasaran, dia adalah mamanya Dikara, wanita yang berbagi banyak ilmunya padaku dulu.
Mama Puspa.
"Hai, Tante," sapa Julia. Dia tersenyum manis. "Sudah pulang, ya? Julia beli mangga madu tapi disimpen sama Cherry."
"Eh, Julia di sini juga, ya?" Mama Puspa tampak kaget melihat keberadaan Julia di sini. Lalu, matanya menangkap sosokku yang duduk di samping Julia. Dia tersenyum. "Cer, ikut Mama ke teras, yuk? Mama kangen mau ngobrol sama kamu. Gimana? Masih setia sama tulisan Haruki Murakami, atau sudah berpaling, hm?"
Mama, sudah lama rasanya tidak menggunakan panggilan itu.
Aku ikut tersenyum. "Tuan Haruki Murakami akan selalu ada di sini, Ma," jawabku, sembari menunjuk hatiku sendiri.
Mama Puspa menganggukan kepala, dan mengangkat jempol. "Sip!"
"Tante sudah kenal sama Cerry, ya?" Julia melirik aku dan mama bergantian.
"Sudah," jawab mama singkat. "Pinjem Cerry sebentar, ya. Jul jagain Dikara."
"Siap, Tante," jawab Julia, sumringah.
Aku memilih untuk diam, lalu bangkit dari posisi. Kusempatkan untuk melirik Dikara, namun dia juga diam. Dikara justru menancapkan manik matanya padaku. Tatapan dia benar-benar dalam, aku tidak mengerti.
"Kenapa?" tanyaku, lirih.
Dikara menggeleng. "Sana ngobrol sama Mama."
"Iya."
Julia menahan lenganku dan tersenyum. "Nanti balik ke sini, ya? Kita pulang bareng."
"Gue dijemput Ed, sih," jawabku, sambil menunjukan senyum manis. "Sorry."
Julia mengangguk. "Kapan-kapan, gue harus nonton film sama lo, ya. Harus."
Kenapa semua orang ingin menonton film denganku? Benar-benar membingungkan.
Aku mengangkat kedua jempol, kemudian berjalan keluar mengikuti langkah-langkah kecil mama. Aku belum hafal dengan rumah baru Dikara, jadi aku mempercepat langkahku supaya tidak kehilangan jejak.
"Mama seneng kamu dateng," ucap Mama Puspa, kemudian mengambil posisi duduk di kursi kayu yang ada di teras. Netranya menatapku. "Kamu kenapa canggung gitu? Duduk aja."
Aku nyengir kuda dan duduk di sebelah mama. Dadaku berdegup cepat. "Mama, apa kabar?"