DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #8

Tiga: Senja Merah Jambu (2)

**

Langit sudah gelap.

Aku melewatkan matahari terbenam, karena keadaanku kembali membuat tubuhku mematung. Aku diam, sembari memandangi pergelangan tanganku yang berada digenggaman seseorang. Ada apa dengan hari ini? Memang semesta jarang berpihak padaku. Pertama, aku terjebak di antara Julia dan Dikara. Kini, justru lebih parah lagi.

Ed yang berjanji menjemputku setelah adzan magrib, nyatanya tidak segera datang. Aku melirik jam tanganku, tersisa lima menit sebelum adzan magrib. Tangan Dikara masih menggenggam pergelangan tanganku sampai kita berdua berdiri di depan mobil mama. Dia mendorongku untuk masuk, kemudian dia duduk di balik kemudi.

"Gue dijemput Ed," kataku. Hanya kalimat itu yang berhasil kutemukan.

"Iya. Gue tahu."

"Nggak usah dianter," kataku, lagi.

Dikara menatapku. Matanya sedikit menyeramkan. "Gue nggak mau anter lo pulang."

"Kita mau ke mana?"

"Makan mie ayam," sahutnya, lalu menyalakan mesin mobil.

"Kenapa makan mie ayam?"

Dikara mendesah. "Nggak mau? Lo sudah bosen makan mie ayam bareng gue?"

"Katanya, lo benci sama gue."

Dia tidak menjawab, kemudian melajukan mobil mama meninggalkan rumahnya. Dia menembus jalanan dengan cepat. Aku hanya mendengus kesal, lalu menatap lurus ke jalanan di depan sana. Ramai sekali. Jam pulang kerja, jadi banyak ditemui ojek online berseragam hijau itu.

"Kenapa nangis?" tanyanya, tanpa menatap ke arahku. Dia sibuk mengemudi.

"Nggak nangis," jawabku, ketus. Kenapa tubuhku memanas?

Dikara menghela napas berat. "Nggak usah bohong."

Aku memiringkan wajahku, kemudian bermain-main dengan uap rintik hujan yang menempel di kaca. Lalu, "Kalau benci, nggak usah sok peduli."

Dikara kembali menghela napas. Dia berdeham sebentar untuk menarik perhatianku dari kaca, sebelum berkata dengan suara yang tenang, "Kalau gue bener-bener benci sama lo, lo mau apa?"

Aku mengangkat bahu. "Pasrah."

"Kenapa pasrah?!" tanya dia. Nadanya naik, seolah dia tidak terima.

Aku meliriknya, lalu menyipitkan mata. "Lo mau gue sujud di kaki lo gitu, supaya lo nggak benci sama gue? 'Don't beg to be loved, don't beg someone to stay if they wanna go. Just let them go. It's okay'... Gue percaya sama kata-kata itu. Jadi, kalau lo sekarang benci sama gue, ya gue terima. Dan, gue pantas dapet semua ini. Gue akan terima karma ini dengan baik, Dik. So, don't worry too much," jelasku, panjang-lebar.

"Lo pikir, gue mau pergi?" tanyanya. Sebelah alisnya terangkat.

Kedua alisku menukik tajam. "Lo nggak jelas banget, sih!"

"Don't let me go."

Amarah nyaris membuat suaraku naik 2 oktaf. Namun, aku mengelus dada untuk menahannya. Aku tidak tahu, aku ingin sekali berteriak di depan wajahnya. Perasaan yang kutahan sejak lama. Aku ingin memberitahunya, bahwa aku juga tidak ingin melihat dia pergi. Namun, dulu, dia sendiri yang memilih pergi. Dia yang membuat keputusan sepihak, kemudian mengabaikan keberadaanku. Semester akhir adalah neraka, tiap kali memori itu kembali menguasai diriku. Tentang Dikara yang bertingkah seperti orang asing. Tentang aku yang akhirnya melakukan mirroring, melakukan apa yang dia lakukan padaku. Kami sama-sama terlalu gengsi, kemudian melewati jalan yang berbeda tak mau lagi bertegur sapa.

Dikara menunjukan senyum miring, serta sorot mata teduh. Ada harapan yang kulihat di sana. "Gue maunya ditahan, Cer. Gue mau lo nggak membiarkan gue pergi."

Dia kesurupan, ya?

"Perasaan lo ke gue sudah jelas sekarang?" lanjutnya. Dia melewati jalan-jalan kecil supaya tidak terjebak macet. Dia melihatku sekilas, lalu menambahkan, "Sudah tiga tahun. Bodoh kalau lo masih mau main petak-umpet sama gue, Cer."

"Gue nggak main petak-umpet," jawabku. Sejujurnya, aku tidak mengerti ucapan dia.

"Playing hard to get?" tanya dia lagi. Kini dia tersenyum tipis.

Mataku melotot. "Lo sengaja mau buat gue kesel, ya?!"

Dikara tertawa renyah, lalu mengangkat bahu dan kembali fokus dengan jalanan kecil di depan. Aku pun menelan kekesalanku padanya dengan mengalihkan pandangan ke luar kaca. Aku menatap rintik hujan yang berjatuhan, lalu tersenyum. Iya, aku memang kesal tapi juga senang bisa kembali berdebat dengannya di dalam mobil—seperti dulu. Tanpa kusadari, Dikara sudah menghentikan mobilnya di depan sebuah pangkalan mie ayam. Pangkalan mie ayam ini ada di dekat kampus Parahyangan, kampus kami dulu. Rintik hujan yang semula mengguyur, kini lari dan sembunyi. Namun, tetap, udara dinginnya ketinggalan.

Dikara mematikan mesin mobil, dan melepas seatbelt-nya. "Tunggu!"

Aku yang semula mau melepas seatbelt pun terdiam. Lalu, alisku mencuat heran. Aku berkata, "Katanya mau makan mie ayam."

Dikara tidak menjawab ucapanku lagi. Dia hanya melangkah keluar dari mobil tanpa menghiraukanku. Aah, apa dia mau membungkus mie ayamnya? Yah, dia membenciku. Dia pasti sudah enggan makan mie ayam bersamaku. Apalagi kami harus duduk lesehan, artinya kami duduk bersebelahan. Ya, kan tidak mungkin duduk lesehan tapi diberi jarak. Kasihan, ada pengunjung lain yang mau duduk juga. Aah, masa lalu....

Tiba-tiba saja, Dikara membukakan pintu mobil untukku. "Yuk!"

Aku membeku. "Apa...?"

Dikara mendesah pelan. "Lo semakin bodoh padahal dapet beasiswa ke New York."

Tangannya melepas seatbelt yang tadi tidak jadi kulepaskan, lalu dia menggandeng tanganku untuk keluar dari mobil. Tidak ada suara lagi. Dia dengan cepat memintaku mencari tempat duduk, lalu dia memesan mie ayam ke Pak Teja, penjual mie ayam langganan kami. Aku memilih tempat duduk seperti biasanya, yaitu tikar paling ujung.

Tempat ini masih memberikan rasa yang sama; nyaman. Namun, aku baru sadar kalau warna tikar dan pola tikarnya berbeda. Wah, sepertinya Pak Teja membeli tikar baru. Tikar yang dulu mungkin sudah bolong dan kumal. Tidak apa-apa, hanya tikarnya yang berubah tapi semoga rasa mie ayamnya tetap sama. Oh jelas, kan masih menggunakan tangannya Pak Teja. Diam-diam, aku memandangi Pak Teja. Rambutnya mulai memutih, tapi beliau tetap rapi seperti dulu; jenggot dan kumisnya rajin dicukur.

Aku duduk bersila di atas tikar sambil memandangi lampu jalanan. Udara Bandung sedang dingin-dinginnya, jadi aku menghangatkan diri sendiri dengan mengusap-usap lengan atasku. Lalu, aku melirik Dikara yang mengantre untuk memesan mie ayam. Lelaki itu juga tampak kedinginan. Bodoh! Dia tidak bawa jaket. Sebenarnya, apa tujuan dia membawaku ke sini? Dengan terburu-buru, dia tadi menggandengku begitu saja.

Tak lama, Dikara menyusul dan duduk di sebelahku. Saat dia duduk, sepertinya jarak kami terlalu rapat. Namun, aku mulai merasakan hangat. Rasanya seperti kami saling berbagi rasa hangat. Aku menikmatinya, jadi aku tidak perlu menggigil kedinginan.

"Dingin, ya," katanya. Dikara menatap dua bintang yang muncul di atas sana.

"Hm."

Dikara menunjuk satu bintang. "Lo masih suka bintang?"

"Bintang-bintang," jawabku, santai. "Gue suka kalau mereka banyak, bukan sendirian aja."

Dikara mendengus pelan, lalu memberiku tatapan sinis. "Kan, itu ada dua bintang."

"Dua aja nggak cukup, Dikara."

"Kenapa?" Dikara mengerutkan kening.

Aku mengangkat bahu. "Nggak tahu. Gue nggak suka aja lihatnya. Seandainya, salah satu bintangnya hilang, pasti nanti jadi kesepian."

Dikara menatapku dengan seksama, lalu sebuah senyum muncul di wajahnya. "Kayak lo sama gue, Cerelia?"

"Ngomong apa lo?" sahutku, sembari menahan gejolak di dalam dadaku. Aduh!

"Gue terlalu nyaman berdua sama lo, jadi pas lo pergi, gue jadi kesepian. Gitu, ya, Cer?"

Aku terdiam sejenak, sebelum menarik senyum miring. "Dik, bukan hanya gue yang pergi. Lo juga pergi. Kita sama-sama pergi."

Dikara menyeringai. Dia mengusap puncak kepalaku tanpa aba-aba. Aah, jantungku bergejolak. Lalu, dia menambahkan, "Iya, gue tahu. Gue juga memutuskan untuk pergi dari hidup lo. Dan, gue sepertinya nggak mengambil keputusan yang salah. Buktinya, si bintang yang lo tinggal pergi itu sudah menemukan bintang lainnya."

Ini dia nyindir gue, ya? Iya, gue tahu. Dia nggak perlu memperjelas posisi gue.

"Koreksi, si bintang yang juga memilih pergi," sahutku, sok kalem.

Suasana menjadi hening. Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa nestapa mengetuk hatiku setelah mendengar ucapannya, sementara Dikara tampak santai dan terus mengusap puncak kepalaku. Untungnya, dia tidak menatap ke arahku. Dia mendongak untuk menatap dua bintang tersebut. Sesekali, dia menghirup udara malam Bandung.

"Tangan lo masih kosong aja."

Aku menoleh sebentar, lalu mendengus. "Kan, gue nggak bawa buku."

"Sini." Dikara meraih telapak tanganku, yang kemudian berakhir digenggamannya.

Aku mematung, sambil mengerjapkan mata. Dia mau apa?

"Lo nggak kuat dingin," katanya, bahkan sebelum aku melemparkan tanya. "Kalau lo sakit, nanti gue juga jadi tersangkanya. Mending lo relax sekarang, biar hangat."

Ujung bibirku membentuk lengkungan tipis, namun aku menunduk sampai Dikara tak bisa melihat wajahku. Karena, kedua pipiku memanas sekarang. Noda merahnya muncul.

"Gue kangen bintang," kata dia, setelah beberapa saat diam. Suaranya melembut.

Akhirnya, aku berani untuk mendongak. Dengan helaan napas, aku menenangkan diri atas tabuhan drum di dalam dada. Lalu, aku menunjuk ke langit sambil berkata, "Tuh, ada dua bintang. Lo bisa lihat sampai puas, baru kita balik."

Dikara melepas tanganku dari genggamannya, lalu dia menoleh ke arahku dengan alis terangkat sebelah. Dia menggigit bibir bawah, sebelum berkata lirih, "Ternyata bener, ya. Lo bego. Nggak pernah peka."

Aku mengerutkan kening. "Lah, gue salah ngomong?!"

Dikara geleng-geleng kepala, lalu menyeringai. Tepatnya, dia meremehkanku dengan senyuman itu. "Gue kangen bintang milik gue yang dulu, Cerelia."

Lihat selengkapnya