**
Keadaan kantin Fakultas Teknik sangat ramai. Suara bising lebih banyak datang dari laki-laki, karena anak teknik kebanyakan memang laki-laki. Aku bisa menghitung kaum perempuan di kantin ini dengan jariku. Aku mulai bosan. Kelas selanjutnya masih satu jam lagi. Huh!
"Lo masih nggak ngerti, ya?" Suara Dikara, yang duduk di sebelahku. Dia sedang mengajari Ed rumus untuk praktek di studio minggu depan. "Otak lo beneran kecil, deh, Ed. Haduh! Gue yakin banget, ukurannya cuma sebesar ketumbar."
"Hei, dilarang body shaming!" balas Ed, tak mau kalah.
"Apaan?!" respon Dikara, terdengar galak.
"Ucapan lo barusan, body shaming otak gue!"
Aku tertawa kecil melihat pertengkaran kekanakan di antara mereka. "Sudah, sudah, jangan berteman—Ups, maksudnya... jangan bertengkar!" ucapku, dramatis.
Sebenarnya Ed tidak sebodoh itu. Dia rajin belajar. Ketika dia tidak mengerti dengan sesuatu, dia akan langsung bertanya kepada orang yang menurutnya bisa mengajarinya. Hari ini, targetnya adalah Kamandaka Julian Dikara—si pemilik IPK tertinggi se-angkatan. Sayangnya, Ed itu keras kepala dan percaya dengan prinsipnya, jadi dia suka menyulut perdebatan dengan si pengajar.
"Minum dulu," kataku sambil mendorong segelas jus jeruk dingin yang tadi kupesan. "Kepala lo ngebul, Dik. Gue takut kebakaran."
Dikara meringis. Dia menyeruput jus jeruk dariku, lalu, "Makasih, Sayang."
"Geli," sahutku, tentunya dengan wajah datar. Dia memang suka main-main.
Dikara pun melanjutkan aktivitasnya dengan Ed. Jelas, semua tidak berjalan mudah. Ada saja yang menjadi perdebatan mereka. Entah rumus yang dipakai, sampai cara kerja. Aku hanya menikmati keriuhan ini dengan bermain ponsel. Ada alasan mengapa senyumku mengembang. Aku baru saja mendapat pesan balasan dari gebetan.
Adinda menepuk bahuku keras. Dia suka sekali mengejutkanku. Lalu, dia duduk di hadapanku. Matanya berbinar-binar cerah. "Lo jadi nge-date, kan? Kapan? Sudah tahu, lo mau pakai style baju kayak gimana?"
"Rabu, katanya kalau nggak hujan," jawabku. "Nggak usah repot, apa pun style-nya nggak akan ngaruh sama kencan gue. Yang penting lancar, dan gue nggak mempermalukan diri sendiri."
"Yah!" Adinda tampak kecewa. "Kalau hujan, dia nggak jadi nge-date sama lo? Oh, iya, lo juga harus hati-hati. Lo kalau di depan cowok yang lo suka, lo bisa jadi bego gitu. Lo suka ngomong kayak orang ling-lung, nggak nyambung."
Aku mengangkat bahu. "Doakan aja lancar jaya, ya!"
"Pasti gue doakan yang terbaik buat date lo, Cerelia!"
"Nge-date?" Dikara menatapku dengan sorot wajah yang tidak bisa kumengerti. "Lo mau nge-date sama siapa, Cer? Gue Rabu ada praktikum, nggak bisa ke toko buku sama lo."
Aku menepuk bahu Dikara sambil tersenyum. "Bukan sama lo, Dik. Sejak kapan, gue pergi sama lo bisa disebut nge-date? Kita cuma going out, bukan nge-date."
"Dih! Sama aja," protesnya, keras kepala.
Aku menghela napas. "Beda kalau dari sudut pandang gue."
"Cer, lo mau nge-date?!" Ed menyahut. Dia sudah menutup laptop, lalu dia bicara, "Wah, jangan-jangan bener sama rumor yang gue denger."
"Rumor apa?" Dikara tampak tak sabaran.
"Kak Brian." Adinda yang menjawab. Gadis cantik itu menyeruput jus jeruk milikku, lalu dia menambahkan dengan semangat, "Cerry naksir sama dia, masa lo nggak tahu? Yah, padahal lo nempel terus sama Cerry, kan?"
"Kak Brian?" Dikara mengerutkan kening, seperti memikirkan sesuatu. Tak lama, dia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Cer, lo bilang ke gue kalau lo nggak ada apa-apa sama dia."
Aku menarik senyum tipis. Lalu, "Memang nggak ada, Dik."
Adinda mencibir, "Belum. Lo tunggu aja, deh! Minggu depan, dia sudah nggak single lagi. Sudah ada yang bisa digandeng ke mana-mana. Iya, kan, Cer?"
Aku merespon dengan malu-malu. "Apa, sih, Din? Nggak, ah!"
Adinda mengedipkan mata. "Percaya sama gue, nggak akan lama untuk dia nembak lo dan menjadikan lo miliknya. Dilihat-lihat, Kak Brian itu ambisius, Cer."
Aku mengerutkan kening, lalu berbisik, "Kenapa kalau ambisius?"
Adinda balas berbisik, "Ya, dia nggak akan rela lo jadi milik yang lain."
Hatiku seperti mau meledak. Aah, enaknya... jatuh cinta serasa dunia milik berdua.
"Pajak jadian, ya, Cer!" Ed bertepuk tangan. "Rumornya lagi heboh, sih. Apalagi pas Kak Brian nungguin Cerry selesai kelas dan dikasih es krim. Mencurigakan sekali."
"Es krimnya sudah meleleh," kataku, sambil tertawa kecil. Aku menopang dagu, lalu membayangkan kejadian beberapa hari lalu. Senyumku mengembang, sebelum melanjutkan, "Dia nunggu gue terlalu lama. Maklum, waktu itu kelasnya Bu Eve yang suka korupsi waktu, sih. Kalau diingat-ingat, memelas banget nungguin gue selesai kelas."