**
Kakiku beku, ketika Dikara tiba-tiba mendongakan kepala sehingga manik mata kami bertemu. Tidak ada senyuman di wajah itu, cenderung ekspresi datar—tapi, dia juga terlihat seperti singa yang kelaparan. Aku menyerah dan menghampirinya.
"Kok, baru pulang?" tanya dia, terdengar dingin menusuk rusuk. "Jarak apartemen lo sama mie ayam Pak Teja nggak jauh-jauh banget, Cer. Pasti dibawa ke mana dulu gitu. Sudah gue duga, kalian nggak mungkin cuma sekadar pulang bareng."
"Hm," jawabku singkat. Aku mengabaikan kehadirannya dan berjalan mendekat ke pintu apartemen, kemudian menekan beberapa nomor PIN untuk membukanya. Lalu, pintu terbuka. Setelah itu, aku baru menoleh kepadanya. "Lo mau ngomong apa, Dik? Gue capek, gue mau masuk."
"Gue juga mau masuk," sahutnya, enteng.
Lucu sekali, karena Dikara justru menerobos masuk ke dalam apartemenku. Dengan entengnya, dia berjalan melewatiku yang masih mematung di depan pintu. Bersama helaan napas berat, aku pun mengikutinya karena malas berdebat. Dikara tidak banyak omong dan dia langsung menjatuhkan dirinya ke sofa ruang tamu.
"Apartemen lo bagus juga," katanya. Dia mendongak menatap langit-langit, kemudian mengendus seperti kucing. "Wangi, kayak lo."
"Makasih."
Aku berjalan ke dapur dengan wajah lelah. Kalau kalian jadi aku, apa kalian tidak lelah? Satu hari—bahkan, ini belum genap dua puluh empat jam—hatiku terombang-ambing ke segala arah. Jantungku berdegup cepat. Dadaku sesak.
Dikara rupanya menyusulku. Dia berdiri tak jauh dariku untuk melihat-lihat rak piring dan gelas. Dia suka kerapian, jadi beruntung karena aku sudah belajar menjadi rapi. Selama di New York, aku memang mengubah kebiasaanku sedikit demi sedikit. Karena aku tinggal sendirian, jadi harus mandiri. Kalau tidak begitu, ya bisa hancur kehidupanku di New York. Lalu, aku membuka kulkas untuk mengambil sirop melon dari dalam sana. Kalian pasti tahu sirop legendaris yang iklannya hit menjelang bulan Ramadan.
Dengan tenang, aku menuangkan sirop ke dalam dua gelas. Lalu, aku menambahkan air dan mengaduknya dengan sendok kecil dari bahan kayu yang biasa aku gunakan. Sendok yang kuambil dari rumah Mbah di Yogyakarta. Tenang, aku sudah izin. Lagian, ada selusin sendok kayu di sana.
"Cerry," panggilnya, sambil mengamati gerak-gerikku.
"Hm?"
"Lo mampir ke mana sama Kak Brian?"
"Kenapa lo tanya-tanya?" Aku berusaha terlihat santai, walaupun tanganku ini sudah memegang gelas dengan kuat. Bisa saja aku memecahkannya. "Lo yang tadi memberikan gue ke Kak Brian, kan? Lo seharusnya percaya sama dia dan gue bukan tanggung-jawab lo. Toh, gue bener-bener dianter pulang sama dia. Nih, gue di sini, di depan lo."
Dikara mendengus. "Gue merasa bersalah aja, makanya gue ke sini buat memastikan lo bener-bener dianter pulang sama dia."
Aku tersenyum sarkas. "Oh, masa?"
"Gue peduli, tapi respon lo malah nyebelin!"
"Sok peduli," cibirku. Aku mendorong segelas sirop ke hadapannya, "Nih, minum dulu. Lo mau ngomong apa? Nggak ada, kan? Cuma mau memastikan gue sampai apartemen aja, kan?"
"Lo mau ngusir gue, ya?!" Dikara menyipitkan mata, lalu memasang wajah galak. Dia menyesap sirop buatanku. Hanya sedikit. Dia mungkin tidak haus. Lalu, dia menambahkan, "Gue tadi habis nganterin Julia, makanya gue mampir ke sini sekalian."
"Ya." Aku mengangguk.
Dikara memegang gelas kaca tersebut, lalu menatapku. "Lo mampir ke mana dulu?"
"Apartemen dia."
Mata Dikara melebar. Dia meletakan gelas sirop dengan keras. Awas kalau pecah, aku akan minta dia membereskannya sendiri karena aku sudah terlalu lelah.
"Wah, dia sudah nggak beres!" Dikara memijat pelipisnya sendiri. Lalu, "Dia bawa lo ke apartemennya? Ngapain? Pasti dia punya niat terselubung!"
"Main-main aja," kataku santai. Dikara pasti sedang membuat skenario aneh di dalam otaknya. "Lo nggak boleh berprasangka buruk sama orang lain kayak gitu, Dik. Kak Brian bukan tipe cowok berengsek. Don't judge him hanya karena masa lalunya, seolah-olah orang yang pernah buat salah nggak bisa punya masa depan cerah. Lo tahu, manusia itu bertumbuh. Kita setahun lalu, nggak sama dengan kita yang sekarang—semestinya begitu, sih. Soalnya, kita kan belajar dari kesalahan-kesalahan kita di masa lalu."
Dikara menatapku, lalu menyeringai. "Oooh, masih dibela. Ya, ya, lo nggak berubah, Cerelia. Sudah jadi korban hubungan toxic sampai gaslighting, lo masih aja belain dia."
"Manusia pernah buat salah, dan Kak Brian bisa berubah," sahutku, tanpa tenaga. Aku tidak mau membalas kekesalan di nada bicara Dikara. Lalu, aku melanjutkan, "Lo, gue, dan manusia-manusia lainnya nggak ada yang benar-benar suci. Berhati-hati itu baik, tapi kalau jatuhnya berprasangka buruk mah nggak akan tenang hidup lo, Dik. Lagian, gue masuk ke apartemen Kak Brian bukannya pelaku pelecehan seksual."
Dikara mendesah berat, lalu menyisir rambutnya ke belakang dengan sorot frustasi. "Lo enggak tahu isi pikiran laki-laki aja. Mau dia Kak Brian, Kak Kai, ataupun Ediarga, ya namanya tetap laki-laki. Lo enggak boleh gegabah, Cerelia."
"Lo... juga dong?" Alisku mencuat heran, lalu aku terkekeh remeh. "Lo juga laki-laki dan lo masuk apartemen gue. Gue harus hati-hati sama lo. Atau, lo yang harus hati-hati sama gue. Ini wilayah kekuasaan gue, Dikara. Zaman sekarang, laki-laki juga bisa jadi korban pelecehan, lho."
Kedua netranya membulat sempurna. "Cerelia Juli!"
Aku kembali terkekeh remeh, lalu mengibaskan tangan ke udara. "Don't worry, gue nggak nafsu. Kepala gue sakit."
"Gue masih trauma aja sama kejadian... Kak Reo. Gue takut, lo akan jadi korban lagi. Gue takut, itu... bakal kejadian lagi. Ya, gue tahu, manusia bisa berubah. Kalau masa lalunya buruk, mungkin masa depannya bisa lebih baik. Tapi, untuk pelaku pelecehan seksual, gue nggak bisa kasih ampun, Cerelia. Soalnya mereka menghancurkan hidup orang lain," responnya, terdengar garang untuk menutupi kecemasannya. Lalu, Dikara melipat kedua tangan di depan dada. "Semestinya, tadi gue anter lo pulang."