DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #11

Empat: Love Maze (1)

**

Terjebak lagi, seperti dulu. Bedanya kamu sudah dengan yang baru, sementara aku mengikis perasaan cemburu.

**

Kejadian menyedihkan malam itu terus menyerangku. Ada rasa bersalah, juga rasa benci terhadap diriku sendiri. Aku sungguh manusia yang menyedihkan. Mencuri milik orang lain, dan memperumit semuanya. Aku melakukannya dengan Dikara. Dengan tidak tahu diri, aku membiarkan Dikara mencicipi bibirku untuk waktu yang lama. Bagiku, sepuluh menit itu luar biasa. Dan setelahnya, Dikara melingkarkan kedua lengannya di pinggangku, sementara dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Waktu bergerak lambat, mungkin diam-diam menertawakan kami berdua; dua manusia bodoh yang mengikuti egonya sendiri.

Kalender diponselku menunjukan sudah lebih dari seminggu sejak kejadian itu. Aku tidak berurusan lagi dengan Dikara, karena merasa dilema. Kebencian terhadap diri sendiri juga terus menyerangku.

I hate myself even more than before.

Entah seberapa kuat lagi karma akan menabrakan diri padaku, mungkin kali ini hatiku benar-benar akan hangus. Aku sekali lagi membuat kesalahan besar. Mengapa aku menjadi setan hari itu? Tentu, semuanya adalah salahku. Seandainya aku tidak terbuai dan mendorong Dikara, maka semua masih bisa terkendali. Aku minta maaf, karena aku melupakan Julia begitu saja. Aku terbuai bibir Dikara yang menempel di bibirku.

Aku juga ikut gila.

Dikara mengirimkan banyak pesan, juga menelepon. Aku tidak membaca pesan-pesan itu, aku takut akan semakin lupa diri. Aku juga menolak teleponnya. Bahkan, aku melangkah hati-hati untuk keluar apartemen karena takut Dikara akan datang menemuiku. Aku mengurus kafe baru yang akan kubuka bulan depan hanya dari email—beruntung aku sudah merekrut pegawai-pegawai yang bisa kupercaya, jadi aku bisa duduk manis tanpa mencemaskan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan.

Totalitas untuk menghindari Dikara, aku semakin mirip manusia gua.

Bel apartemen berbunyi nyaring. Aku yang tengah berbaring di sofa hijau muda pun langsung mengalihkan pandanganku ke pintu. Aku menurunkan kakiku dari sofa, lalu pergi ke sana. Dari interkom, aku bisa melihat wajah yang tidak asing.

Seharusnya dia tidak datang, seharusnya kami tidak bertemu.

Dengan ragu-ragu, aku membukakan pintu. Senyuman cerah dan malu-malu adalah hal pertama yang kulihat—sama seperti saat pertama mengenalnya. Dia menenteng sebuah kantung plastik putih, sepertinya baru saja dari minimarket terdekat.

"Gue beli snack buat lo, Cer," katanya, riang. Dia mengangkat kantung plastik warna putih yang ada ditangan. Aku masih termenung, sampai dia memiringkan kepala dan bicara lagi, "Gue nggak diajak masuk, nih?"

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu tersenyum canggung. "Masuk, Kak."

Kak Brian melangkah masuk dengan riang, lalu aku menutup pintu. Mataku sempat melirik ke arah jam dinding di apartemenku yang menunjukan pukul setengah empat sore. Kami berdua duduk di sofa ruang tamu. Bandung terik sekali hari ini, karena itu aku menutup setengah gorden dan hanya menyisakan setengahnya. Aku sedang malas berdebat dengan sinar matahari yang menyilaukan.

"Gue beli semua yang lo suka," tambahnya. "Semoga selera lo belum berubah."

Kak Brian mengeluarkan segala jenis camilan dari dalam kantung plastik. Ada dua botol cola, tiga bungkus keripik kentang rasa sapi panggang, dua bungkus keripik kentang rasa barbeque, satu bungkus permen karet, dan dua buah coklat batangan. Aku hanya memandanginya dengan raut wajah bertanya, sementara dia masih belum menghiraukanku. Dia sibuk menata camilan tersebut di atas meja, lalu dia membuka satu botol cola dan menyodorkannya padaku.

"Nggak haus?" tanyanya.

Aku menerima minuman tersebut, tapi tak meneguknya. Dengan kerutan di dahi, aku bertanya, "Kenapa ke sini, Kak? Nggak kerja?"

"Gue pulang cepet hari ini," sahutnya. Kini dia membuka keripik kentang rasa sapi panggang. Lalu, dia juga menyodorkannya padaku. "Nih, pegang."

"Kak, ini maksud dan tujuannya apa, sih?" tanyaku, mulai tidak sabar. Aku menerima keripik kentang tersebut, sehingga dua tanganku penuh dengan pemberiannya sekarang. Lalu, "Kak, jangan buat gue bingung, deh!"

Kak Brian tersenyum, lalu mengusap puncak kepalaku. Dia masih memakai kemeja kerjanya yang dua kancing atasnya dibuka, juga menggulung bagian lengannya. Dia tidak menjawabku dan justru membuka tas kerjanya. Dia mengeluarkan laptop dari dalam sana, meletakannya di atas meja, dan mengambil sebuah flashdisk. Lalu, dia menancapkannya ke laptop. Oh, aku mengerti.

"Kita nonton film, ya?" tanya dia. Senyumnya lebar sekali. Sepertinya dia tidak butuh jawaban dariku, karena dia melakukan semuanya. "Gue pernah janji sama lo, kalau gue mau ngajak lo nonton film di laptop gue. Baru bisa gue tepati sekarang. Nggak apa-apa, kan?"

Setelah kuingat-ingat lagi, hubungan kami di masa lalu cukup membosankan. Aku hanya pernah dua kali menonton film bersamanya di bioskop. Sisanya hanya wacana-wacana basi, tetapi tetap saja kujalani. Namanya cinta. Memang benar-benar bisa membutakan, ya? Selama tiga puluh enam bulan, dia sibuk lari ke sana-sini. Dia sibuk dengan dunianya sendiri, seolah aku ini hanya pajangan yang dia perhatikan sewaktu sempat. Mungkin, aku ini hanya lukisan dinding yang akan dia lirik saat dia butuh hiburan. Wow, setelah kupikir-pikir lagi, aku memang sebodoh itu tiga tahun lalu. Dan, aku terus saja mengejar bayang-bayangnya sampai kelelahan sendirian.

Kalau sekarang masih bodoh, aku mau menukar jiwaku saja dengan Najwa Shihab.

"Kita mau nonton film apa?" tanyaku, sedikit melunak karena dia sudah menyiapkan banyak hal sendirian.

Kak Brian menatap layar laptopnya, lalu sebuah film terputar.

Aku membulatkan mataku lebar. "Beauty and The Beast?"

"Kenapa?" tanyanya, polos. Dia menyandarkan punggungnya dan menatapku.

"Ini sudah pernah nonton, Kak." Aku meletakan botol cola dan keripik kentang ditanganku ke atas meja, kemudian melanjutkan, "Ini kan film lamaaa."

"Gue tahu, kok." Kak Brian mengangguk. Dia merapatkan duduknya denganku, lalu, "Gue belum nonton."

"Masa, sih?" Aku mengerutkan kening.

Lihat selengkapnya