**
Ada yang berbeda hari ini. Aku duduk bersama Maura, sementara dia tiba-tiba duduk jauh dariku. Kelas hari ini mengacaukan pikiranku, tapi tingkah lakunya semakin aneh saja. Dia yang selalu ada di dekatku, kini justru menjauh. Dia duduk di dekat Linda, dan mereka mengobrol berdua.
Kalian tahu, aku tidak cemburu. Oh, yang benar saja!
Kelas selesai satu jam kemudian, aku keluar bersama Maura dan Adinda. Kami riuh ketika melewati lorong karena cerita Maura yang tampak kesal. Iya, Maura menyukai Ed tapi ada teman kami lainnya yang menyukainya juga. Kasus klise, cinta segitiga.
Kami bertiga pun berjalan keluar kampus, sudah janji mau menikmati mie ayam Pak Teja. Mataku menatap sosok yang tidak asing. Dia berjalan terburu-buru dengan tas hitam tersampir di bahu. Oh, aku bahkan tidak melihatnya keluar tadi. Namun, karena dia duduk di barisan depan bersama Linda, besar kemungkinan dia keluar paling awal.
"Oi, Dikara!" teriak Adinda. "Bareng aja. Lo mau makan ke tempat Pak Teja, kan?"
Dikara menolehkan kepalanya. Matanya menangkap manik mataku, meskipun Adinda yang memanggil namanya. "Nggak!" jawabnya, dingin.
"Lo mau ke mana?" tanya Maura, penasaran. "Nih, si Cerry mau makan mie ayam."
"Urusan Cerry, bukan urusan gue," balasnya. Lalu, Dikara mengembuskan napas panjang. Dia menatapku dengan ragu-ragu, sebelum berkata, "Tadi gue ketemu Kak Brian, Cer. Katanya lo diminta nunggu dia selesai praktikum."
"Cieeeee..." Adinda menyiku lenganku. "Jadi nge-date?"
"Lo nge-date sama Kak Brian?" Maura tampak antusias. "Kok, lo nggak cerita?"
Aku menarik seulas senyum. "Iya, hari Rabu kemarin."
"Ini berarti date yang kedua?" tanya Maura lagi, semakin antusias. "Ih, gelo! Nggak bertepuk sebelah tangan, Cer. Congrats!"
Aku hanya memberikan senyum manis, lalu menatap Dikara yang berjalan menjauh. Dia tidak pergi ke tempat Pak Teja, karena arahnya berbeda. Dengan cepat, aku berpamitan kepada Adinda dan Maura lalu menyusul lelaki itu. Langkahnya cepat sekali.
"Kamandaka Julian Dikara, tunggu!" teriakku. Langkahnya terlalu cepat.
Dikara menoleh. "Apa?" tanya dia, tak acuh.
Aku melihat ke kanan dan ke kiri untuk menyeberang, karena Dikara ada di seberang jalan. Lalu, dengan kekuatan penuh, aku langsung berlari menghampirinya. Dikara menarik lenganku, saat ada mobil pick up yang akan melintas. Aah, pandanganku buram. Dari mana asalnya mobil pick up itu? Tiba-tiba muncul dari pertigaan.
"Apa?" Dia bertanya lagi, dengan tangan masih memegang lenganku. "Gue buru-buru, ada praktikum habis ini. Lo praktikumnya besok, kan?"
Aku mengangguk. Setelah menghela napas, aku berkata, "Dik, gue mau ngomong."
"Ini sudah ngomong, Cer."
"Ih! Gue serius." Aku cemberut, lalu memukul dada Dikara. "Kenapa lo menjauh? Gue buat salah apa sama lo, Dik? Maaf kalau gue nggak sengaja buat lo marah. Gue nggak berniat untuk buat lo marah, atau menyakiti lo."
"Lo ada niat, Cer." Dikara menatap mataku. "Lo jelas-jelas ada niat menyakiti gue. Bukannya lo duluan yang menjauh, hm? Terlalu kentara, lo nggak ahli."
Dikara mendongakan kepalanya dan rintik-rintik hujan mulai turun. Dia mendesah, lalu dia melepas hoodie hitam yang dipakainya dan dia berikan padaku. Aku menerimanya, seperti biasa. Dia tidak banyak omong, tapi dia memberiku kode untuk mengikutinya.
Kami tidak jadi makan siang, tapi justru kembali ke kampus. Banyak mahasiswa yang melihat kami, apalagi rambut basah Dikara dan juga aku yang tenggelam dalam balutan hoodie besar milik Dikara. Jangan lupa, tubuhku ini mungil dan pendek, jadi seperti berjalan di sebelah raksasa karena Dikara bertubuh jangkung. Tingginya mencapai 180 sentimeter.
Dikara berjalan lebih dulu, namun sesekali dia melihatku. Jarak kami hanya empat langkah, dan aku bisa menatap punggungnya yang kurus itu. Dia hanya memakai kaus warna putih lengan pendek, karena dia memberikan hoodie-nya padaku.
"Mau ke mana, sih, Dik?" tanyaku, sembari terus mengekorinya.
Dikara membawaku ke lorong yang waktu itu, di lantai teratas Fakultas Teknik. Kali ini suasananya lebih ramai, jadi Dikara menggandengku dan mengajakku mencari area yang sepi.
"Ada apa?" tanya dia, sambil melepas gandengannya. "Gue ada praktikum, Cer."
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. "Tiga puluh menit lagi."
Dikara mengangguk. "Hm."
"Lo belum jawab yang tadi." Aku menatapnya dengan sorot mata sedih. "Lo kenapa menjauh dari gue? Iya, gue akui... Gue memang menjauh sebentar, karena... gue—"
"Lo pacaran sama Kak Brian?" selanya, cepat. Dia justru balik bertanya.
Aku menggeleng, lalu menggigit bibir. "Belum, sih. Kata Adinda—"
"Oke, sudah cukup jelas buat gue." Dikara tertawa kecil—suara tawanya membuatku tidak nyaman, lalu dia mengepalkan tangan. Tiba-tiba dia memukul tembok.
"Dikara...?" Aku mulai khawatir. Aku menempelkan telapak tanganku di dahinya. "Lo sakit? Lo mau gue anter pulang aja? Duh, lo kayaknya mau flu gara-gara kena hujan."
Dikara mengamatiku yang panik sendiri, lalu dia meraih tanganku yang menempel di dahinya dan memindahkan tangan itu ke dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya. Ya, dia masih bernapas. Kami berpandangan, sampai dia mencondongkan badannya.
Dikara berbisik di telingaku, "Gue mulai jahat, karena gue pengin lo nyesel."
"Nyesel?"
Belum sempat aku memahami ucapan Dikara, ponselku berdering. Aah, ada telepon.
"Angkat aja!" kata Dikara, yang melihatku ragu-ragu.
Setelah menenangkan hatiku, yang menjadi aneh di dekatnya, aku menerima telepon tersebut. Dari orang itu, Kak Brian.