**
Lupa caranya membahagiakan diri sendiri, sampai harus mengikutsertakan orang lain untuk bisa dibahagiakan.
**
Tanganku sibuk mencuci piring-piring selesai makan malam. Bukan ditempatku, tapi tempat Dikara. Dia benar-benar menjemputku ke rumahnya dan otakku belum bisa mencerna semuanya. Kami makan malam bersama, setelah itu aku memutuskan membantu mama di dapur.
Sudah kubilang, berikan aku satu kesempatan lagi.
Hanya, hari ini saja.
"Sudah selesai, Cer?" tanya mama dari belakangku, yang sedang memasukan sayuran ke dalam kulkas dan menatanya dengan rapi. "Dikara sudah nunggu kamu di kamarnya, tuh. Biar dicuci Danendra aja, kamu langsung ke sana."
"Nggak apa-apa, Ma." Aku tersenyum. Aku meletakan piring terakhir di rak piring, dan, "Ini sudah selesai, kok. Cherry ke mana, ya, Ma?"
Setelah makan malam tadi, aku kehilangan gadis remaja itu. Dia sangat ramai tadi, menceritakan banyak hal tentang dunia putih abu-abunya sampai dunia yang menghiburnya; dance kover K-Pop. Bukannya mengunyah nasi, dia justru banyak mengunyah cerita yang menyenangkan telingaku. Tak apa, dia mengurangi kegugupanku. Berkat Cherry juga, meja makan menjadi lebih hidup yang sebelumnya terasa canggung bagiku.
Benar, memulai hal jahat juga tetap menakutkan. Tetap terasa tidak benar, tapi juga tetap kulanjutkan.
Hanya... hari ini saja.
"Cherry tadi langsung pergi habis makan malam," jawab Mama Puspa, kemudian berpikir sejenak, lalu menambahkan, "Dia sama temen-temennya latihan dance sampai malem. Mau ikut kontes dance K-Pop. Yah, suka-suka dia asalkan positif. Nanti pulangnya dijemput Papa, sekalian pulang kerja dari rumah sakit."
Aku menganggukan kepala dan mencuci tangan. Papa bekerja di sebuah rumah sakit besar sebagai perawat. Biasanya, papa pulang sekitar jam sembilan atau sepuluh malam. Aku sudah cukup terbiasa, karena aku dulu sering main ke rumah Dikara—rumah yang dulu, yang masih berada di kawasan pertokoan. Rumah itu jauh lebih nyaman, karena dekat kalau mau membeli apa-apa dari toko. Tinggal pilih, kan tokonya banyak.
Awalnya papa adalah seseorang yang sangat aku segani—dan takuti karena ekspresi wajahnya seperti sedang marah. Namun, seiring berjalannya waktu, papa bisa membuatku nyaman dengan leluconnya yang sedikit garing. Papa pernah bilang, dia mau menunggu hari di mana aku menjadi menantunya. Dan, aku yakin kalau itu hanya salah satu leluconnya saja. Aah, aku jadi terbang terlalu jauh. Memori-memori itu kembali lagi, merasukiku sampai aku lupa diri. Meskipun sudah cukup dekat, aku tetap tidak melupakan sopan-santunku. Sampai sekarang, aku masih segan dan harus tahu batasan.
"Kak Cer!" panggil Danendra. Dia mengambil air minum dari kulkas.
"Hm?" Aku mengangkat alis. "Kenapa, Dan? Butuh bantuan sama tugas kuliahnya?"
Sejak dulu, Danendra selalu rajin meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Tidak berbeda dengan sekarang. Saat aku baru datang tadi setelah dijemput oleh Dikara, dia langsung menghampiriku dan mengatakan tentang kesulitannya menyusun kata-kata untuk tugas kuliahnya. Dia masih seperti adik kecil, meskipun tubuhnya jangkung yang jelas membuatku tampak seperti kurcaci di sebelahnya. Omong-omong, dia juga lebih tinggi daripada kakaknya, Dikara. Tiap kali aku melihatnya, tubuhnya seperti terbentuk dari 80% kaki.
Hidup kadang memang tidak adil, ya? Di saat pertumbuhanku berhenti di angka 158 sentimeter, ada orang lain yang pertumbuhannya seperti tidak berhenti. Kujamin, Danendra bisa tumbuh lebih tinggi lagi. Mau sampai mana? Sampai kepalanya menyentuh batas pintu?
Danendra meringis. "Iya, nih! Kak Cerry kan pinter nyusun kata-kata gitu."
"Oke! Kita kerjain di mana, nih?" tanyaku. Aku sangat siap.
Mama menatap kami berdua dengan ekspresi tidak suka. "Nggak bisa. Kak Cerry mau main sama Kak Dikara, kamu nanti Mama aja yang bantuin," selanya.
"Yaaah." Danendra tampak kecewa. "Aku ikut main aja, deh."
"Nggak!" Mama menggeleng mantap. "Kamu masuk kamar, buka laptop, nanti Mama nyusul. Mau dibuatkan susu coklat atau kopi susu, Dan?"
Danendra mengecurutkan bibir. "Tapi, Ma—"
Mama menarik napas, kemudian mengembuskannya perlahan-lahan. Mama menatap Danendra sekilas dengan sorot mata yang memerintah Danendra untuk menuruti ucapannya. Lalu, mama mendorong tubuhku untuk meninggalkan dapur. Dia menunjuk pintu kamar anak pertamanya, tanpa mengeluarkan suara apa-apa.
"Dan." Mama menatap Danendra. "Mama juga bisa kalau bantu nyusun kata-kata."
Danendra menyerah dan mengangguk. "Baik, Nyonya."
Aku menahan tawa melihat perdebatan antara ibu dan anak ini, kemudian berjalan ke kamar Dikara. Aku mengetuknya, tapi tidak ada suara dari dalam. Lalu, aku membuka pintu tersebut dengan hati-hati. Mataku melebar. Kamarnya gelap. Cahaya yang ada hanya dari lampu taman, yang artinya dari luar kamar.
"Dikara?"
Sunyi, hanya helaan napasku yang terdengar oleh telingaku sendiri.
"Kamandaka Julian Dikara...?"
Tetap tidak ada suara.
"Dik, nggak lucu!" Aku mulai gemetar. Lalu, aku meraba-raba tembok untuk mencari tombol lampu. "Dikara, serius! Gue pulang, ya!"
Tiba-tiba dua pergelangan tangan melingkar di pinggangku. Lalu, embusan napasnya muncul dari arah belakang. Dia sembunyi di belakang pintu sejak tadi? Dia kenapa, sih? Aku melepaskan dia dengan paksa, namun kekuatannya melebihi aku. Astaga! Ini masih sore. Eh, maksudnya—Apa aku benar-benar akan menjadi setan?
"DIKARA!" bentakku, mulai kesal. Leherku geli karena terkena embusan napasnya.
Tangan kanannya membekap mulutku. Tidak terlalu kuat, tapi tetap saja membuat jantungku berpacu lebih cepat. Astaga! Dia mau membuat drama apa lagi? Bagaimana kalau mama memergoki kami dalam keadaan seperti ini? Pikiran manusia itu kan suka melebar ke mana-mana. Kamar Dikara memang berada paling ujung, tapi tepat di sebelahnya adalah kamar Danendra. Dan, mama tadi bilang akan menyusul Danendra, kan?
"Sssst!" katanya, lalu dia melepaskanku.
Dikara menekan tombol lampu, yang kemudian membiarkan cahaya menerangi kamar seluas 4x4 meter ini. Lebar sekali untuk seukuran Dikara. Namun, tidak mengejutkan karena dia suka berbaring di kamarnya, tanpa melakukan apa-apa. Dia bahkan bisa berenang di lantai dari sisi kiri ke sisi kanan kamarnya untuk menghabiskan waktu, atau kalau sedang malas keluar. Dikara punya lemari besar, namun katanya banyak yang kosong karena baju Dikara tidak sebanyak itu. Ada rak buku juga, isinya jelas komik One Piece. Lalu, ada dua stick PES dan juga beberapa miniatur bangunan. Salah satu miniatur bangunan yang menarik perhatianku, adalah miniatur Menara Eiffel.
"Kaget, ya?" tanyanya, memecah keheningan. Dia menunjukan senyum tanpa dosa, dan aku memukul lengannya keras. "Iya, maaf. Gue nggak tahan buat nggak godain lo, sih."
"Nyebelin!" kataku, benar-benar kesal. Tiba-tiba, air mata menetes begitu saja tanpa bisa kubendung. Aah, lemah. "Lo nyebelin banget. Gue takut sama hal-hal kayak gitu...."
"Aduh! Maaf, maaf, maaf," kata Dikara. Suaranya melembut. Dia menarik lenganku, kemudian memeluk tubuhku hati-hati. Secara perlahan, tubuhku mulai melekat dengannya. Dia menambahkan, "Maaf, ya. Gue benar-benar nggak ada niat membuat lo trauma."
Perlahan-lahan, aku mencoba mengendalikan diri sendiri.
"Sorry," tambah Dikara, terdengar tulus. "Gue minta maaf."
"Iya," jawabku lirih, sembari mengusap titik-titik air mata di kedua pipi. Setelah itu, aku merasa sedikit lebih tenang. Aku pun melanjutkan, "Lo bisa lepasin gue sekarang."
Dikara berdeham canggung, lalu melepaskan pelukannya. "He he he."
Aku dan dia bertatapan dalam diam. Tangan kanannya terulur ke arah pipiku, lalu dia mengusap sisa-sisa air mataku dengan lembut. Matanya memberikan sorot yang meneduhkan. Dia memberiku rasa aman dalam sekejab. Trauma yang sempat menyerang, kini pelan-pelan mulai terbawa angin malam.
Apakah ini salah satu manfaat dari rasa cinta? Memberi rasa aman tanpa diminta. Memberi keteduhan yang tidak terduga. Dengan Dikara, semua akan baik-baik saja, kan?
"Gue sudah nggak apa-apa, kok."
"Maaf."
Aku menarik ujung bibir menjadi sebuah senyuman tipis. "Berhenti minta maaf."
Dikara mengangguk. Sunyi sebentar, sampai dia menarik tangannya dari pipiku, lalu berkata pelan, "I want to make you mine, jadi gue nggak perlu kesulitan lagi untuk melindungi lo di saat apa pun. Gue bisa langsung lari saat lo butuh, Cer."
"Geer banget," balasku. Aku memukul dadanya keras. "Siapa juga yang butuh lo?"
Aku segera berjalan ke rak komik untuk melihat-lihat koleksi komiknya. Dia punya banyak sekali komik One Piece. Setahuku, semua ini bukan miliknya saja tapi juga milik Danendra. Dikara berubah menjadi kakak yang berkuasa, jadi dia meletakan komik-komik Danendra di kamarnya dan menjadikannya hak milik. Kalau aku jadi Danendra, aku mungkin sudah berencana untuk mencekik leher Dikara saat lelaki itu tertidur. Tolong baca kalimat ini sambil tertawa jahat.
"Lo mau nonton apa sama Cherry?"
Aku menoleh ke arahnya. Dikara duduk di tepi tempat tidur. "Ada. Lo nggak tahu."
"Kasih tahu, lah."
Aku memutar bola mataku malas. Lalu, muncul ide jahil di kepalaku. "Mau tahu aja, atau mau tahu banget?"
"Biar gue tebak!" Dikara terdiam sejenak, tampak berpikir. Lalu, tak lama kemudian, dia mengangguk-anggukan kepala. "Jangan bilang kalau kalian mau nonton film yang ada Oppa-oppa itu, ya!"
"Hng, film yang mana?" tanyaku, sambil mengangkat sebelah alis.