**
Perjalanan terasa terlalu hening, baik aku ataupun Ed masih setia bungkam. Tak ada suara, hanya helaan napas panjang yang kami embuskan perlahan-lahan. Seolah, kami sedang berbagi beban yang sama.
Tidak boleh begini, aku harus mendapatkan penjelasan.
"Dikara mau ke mana, Ed?" tanyaku, ketika mobilnya sudah memasuki jalanan.
Ed menoleh sekilas. "Biasa."
Jawabannya tidak memuaskan. Aku sedikit mendelik, lalu, "Hm?"
"Julia kena demam, terus gue bawa ke rumah sakit tadi," jelasnya. Ed mempercepat laju mobilnya dan melanjutkan, "Gue nggak enak kalau Dikara nggak tahu, kan dia pacarnya. Jadi gue ke sini buat kasih tahu ke dia. Gue minta dia nyusulin Julia ke rumah sakit."
Untuk sesaat, waktu seperti berhenti bergerak maju. Duniaku melambat.
"Julia masuk rumah sakit...?" Dadaku bergetar. Oh, Tuhan!
Ed tersenyum tipis. "Lo tenang aja. Dia hanya butuh obat sama infuse aja, kok."
"Kita ke sana aja, Ed," kataku, mantap. Aku menyalakan ponsel dan melihat jam yang tertera di layar, baru jam delapan lebih seperempat. Namun, waktu kunjungan sudah selesai. Apa aku tidak akan diperbolehkan masuk, ya? Lalu, sambil berpikir, aku melirik Ed yang masih terlihat tenang. "Apa... kita nggak bisa ke rumah sakit juga, Ed?"
"Jam kunjungan kan sudah selesai, Cantik."
Aku manggut-manggut. "Ya, kita jadi penyusup aja. Gue ahli, kok!"
Ed terkekeh kecil, lalu dia menggelengkan kepala. "Iya, lo memang ahli dalam hal itu. Lo dulu juga ahli menyusup saat mata kuliah Pak Afandi. Lo juga ahli pas diam-diam pacaran sama Kak Brian. Apa lagi, ya? Lo kayaknya jadi maling juga nggak bakal ketahuan."
Ya, maling pacar orang.
Ed melanjutkan, "Sayangnya, gue nggak bisa."
"Kenapa nggak bisa? Lo nggak percaya sama keahlian gue?" tanyaku, bingung.
"Perintah Dikara adalah anterin lo pulang dengan selamat dan gue juga harus liat lo masuk ke apartemen. Kata dia, kalau gue melenceng dari perintah nanti gue ditatar. Lo tahu, Dikara kalau marah jadi mirip zombie. Dulu, dia juga mantan Komisi Disiplin, Cer." Ed menatapku sekilas sambil meringis. Barisan giginya rapi. "Lo tenang aja, lah. Julia cuma perlu nunggu infuse-nya habis aja, kok. Dia masih bisa ngomong, cerewet banget lagi."
"Dia cuma cerewet sama lo, Ed," sahutku, kemudian menarik senyum tipis. Sebuah memori memasuki kepalaku, kemudian, "Lo... tahu, Julia dulu naksir sama lo."
Ed mengangguk mantap. "Bukannya dia pernah berantem sama Maura?"
"Aah, iya!" Aku terkikik ketika mengingat pertempuran di antara dua dewi Arsitektur yang berlomba-lomba menarik perhatian Ediarga, tapi ternyata yang menang justru wanita lain yang tidak pernah terdengar sangkut-pautnya dengan Ed. Lalu, aku melanjutkan, "Dulu banyak banget drama di angkatan kita, ya, Ed? Bukannya mengumpulkan prestasi, kita malah saling sikut cuma karena masalah percintaan. Rebutan gitu, kayak nggak ada manusia lain. Gue suka heran, sih, kenapa asmara bisa bikin angkatan kita kayak terbakar api neraka?"
"Cinta itu buta, Cer," jawab Ed, kalem. Tumben, batinku. Dia menambahkan, "Saat lo jatuh cinta, logika lo nggak bisa berfungsi. Gue juga suka heran, apa yang Maura sama Julia sukai dari gue? Waktu itu, demi menyelamatkan diri sendiri dan nama baik persahabatan, gue pilih pacaran sama cewek lain, lah!"
"Ya, tapi... cewek itu hasil nikung, kan? Kak Sei kan gebetannya Kak Bobby."
Ed nyengir gemas. "Sorry."
Aku geleng-geleng kepala, lalu kembali terkikik. Perasaanku jauh lebih baik setelah mengenang masa lalu bersama Ed. Lalu, tanganku mengusap-usap dadaku sendiri supaya lebih tenang. Aku menghela napas, dan, "Maaf jadi merepotkan lo, Ed. Padahal gue bisa kali pulang naik ojek online."
"Apa yang repot?" Ed tertawa. "Gue sudah sering anter lo pulang, Cer. Terlalu sering, malah. Zaman kuliah, yang jadi supir lo itu bukan cuma Dikara. Gue juga, ya!"
Aku mengembuskan napas berat. Ya, lagi-lagi, nama Dikara diangkat ke permukaan.
"Ed," panggilku.
"Apa?"
Tiba-tiba ada yang menggerogoti ketenanganku. Baru sekejab, tapi aku sudah dibuat cemas lagi. Lalu, aku melirik Ed dan berkata lirih, "Dada gue sesak, Ed, kayak merasa penuh dosa sama lo."
"Mungkin... karena lo nggak bisa jujur sama gue. Ralat, belum bisa jujur." Ediarga menatap lurus ke depan, fokus menyetir. Dia tersenyum tipis, lalu tangan kirinya terulur dan mengusap rambutku pelan. "Gue belum tanya apa-apa sama lo, tapi gue tahu kalau lo perasa, Cer. And yes, gue butuh penjelasan dari lo."
"I'm really sorry, Ed."
"Don't worry, Cerelia." Ed mengangkat bahunya. "Gue selalu nungguin lo siap, kan? Kapan gue maksa lo buat cerita, sih? Dari dulu, gue selalu kalem tiap lo ada problem. Karena gue yakin, lo akan dateng sendiri ke gue dan cerita semuanya... Lo selalu kayak gitu, yang bikin gue nyaman. Santai aja. Gue juga nggak akan mikir macem-macem, karena gue tahu... Lo atau Dikara, pasti punya kisah yang nggak gue mengerti dan gue nggak berhak juga men-judge kalian. Hati itu memang susah ditaklukan, ya, Cer? Gue paham banget, kok."
"Lo paham?" Aku menyeringai. "Lo kayaknya nggak pernah terjebak di kisah kayak gue, deh. Gimana caranya lo paham? Asal lo tahu, orang yang menderita cuma bisa dipahami oleh orang yang menderita hal yang sama juga."
"Gue... mungkin nggak terjebak seperti lo, tapi gue paham rasanya jatuh cinta sama orang yang jatuh cinta sama orang lain."
Aku mengangkat sebelah alis mendengar ucapan Ed. Sejak kapan bocah populer ini menjadi tukang curhat, dan melo seperti ini? Aku mengamati wajah Ed yang fokus menyetir, lalu aku melihat ke luar kaca. Lampu-lampu jalanan Kota Bandung yang cantik, serta sepeda motor yang menyalip. Aku mengembuskan napas, setidaknya kehadiran Ed membuatku pergi lebih cepat dari rumah itu sebelum aku dan Dikara berubah menjadi setan di kisah ini.
Mungkin juga, kami memang sudah berubah menjadi setan.
Bagaimana bisa aku dan Dikara dengan santainya bersama di kamarnya, ketika Julia terkena demam? Bagaimana bisa, aku mencuri pacar temanku sendiri? Yah, aku dan Dikara memang mengenal lebih dahulu, namun hal itu tetap tak mengubah fakta bahwa aku adalah perempuan jahat sekarang. Aku yang penuh dengan dosa ini, hanya memeluk diriku sendiri.
"Cer, gue boleh tanya sesuatu?"
Aku menoleh ke arah Ed, dan dia menatapku. "Ya. Tanya aja."
Ed tersenyum kalem. "Lo pernah merasa menyesal nggak, karena lo baru sadar kalau ternyata lo sayang sama orang pas orang itu sayang sama yang lain...?"
Pernah. Nih, gue mengalaminya sekarang.
"Hm." Aku mengangguk, lemah. "Pas masih SMA," ucapku, berbohong.
"Adinda tahu dong?" tambahnya. "Kan, lo sama Dinda dulunya satu SMA."
Aku berdeham, lalu menganggukan kepala pelan. "Ya, tahu," bohongku, lagi.
Ed tersenyum kecut. "Hati gue lagi memberontak, Cer."
"Maksud lo?"
"Ya... Gue lagi serakah, karena menginginkan orang lain yang bukan punya gue."
Aku terdiam sejenak, lalu, "Lo serius? Sejak kapan?"
Kuharap Ediarga sedang tidak menyindirku secara halus.
"Akhir-akhir ini."
Ini dia nggak nyindir gue, kan?
Satu helaan napas lolos dari mulutnya. "Gue cuma mau berbagi aja, Cer. Makasih sudah jadi pendengar, tapi lo nggak perlu menebak apa pun. Kalau gue siap, gue bakal kasih tahu lo. Sama seperti lo, kalau sudah siap, silakan dateng ke gue."
"Oke...," jawabku, sedikit kurang yakin. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri, bukan karena Ed. Sepertinya, aku tidak akan pernah siap untuk mengungkap apa yang kurasakan kepada Dikara. Lalu, aku memikirkan sesuatu dan, "Ed, gue pernah ketemu sebuah quote keren di Instagram. Namanya juga anak milenial nggak akan jauh-jauh sama quote menye-menye gitu, kan... Katanya, kalau kita suka sama seseorang, sebaiknya diem-diem aja."
Sebelah alis Ed terangkat. "Menurut gue quote menye-menye punya efek luar biasa. Kadang, quote kayak gitu bisa jadi pelampiasan perasaan. Kalau mau kasih kode ke gebetan gitu kan lo tinggal repost."
Aku tertawa renyah, lalu mengangguk setuju. Terima kasih kepada akun puitis yang tersebar di media sosial. Berkat kalian, terkadang perasaanku punya tempat untuk bersandar.
Ed berdeham, lalu, "By the way, kenapa harus diem-diem, Cer?"
"Biar... tetap seperti itu," jawabku. Aku memaksakan seulas senyum dan memasukan kedua tanganku ke dalam saku hoodie Dikara, lalu menambahkan, "Jatuh cinta diam-diam, dan lo nggak perlu mengungkapkannya. Terkadang, ada hal-hal yang sebaiknya disimpen aja. Ada hal-hal yang akan jauh lebih baik untuk dipendam daripada diungkapkan."
Ed perlahan menarik senyum. "Lo bener, Cer."
"Mau tau apa yang lebih miris, Ed?"
Dia melirik sebentar ke arahku. "Apa...?" tanyanya, lirih.
"Ketika lo memendam perasaan sama orang untuk waktu yang lama, sampai di titik di mana lo akhirnya melepaskan. Dan, sampai lo berhasil move on pun, orang itu nggak tahu lo pernah suka sama dia. Kayak, perasaan lo ke dia akan jadi rahasia selamanya."
Ed tertawa kecil. "Kalau gue, seandainya gue sudah move on, gue kayaknya akan ajak dia ketemu dan ngomong sejujurnya, kalau: Gue sebenarnya pernah sayang sama lo. Karena, hal-hal yang lo pendam selamanya kadang bisa membunuh lo."
"Membunuh?"
"Ya!" Ediarga terdengar percaya diri. "Perasaan yang lo pendam, lama-lama akan jadi menyesakan, Cerelia. Lo juga jadi nggak tenang, nggak lega, rasanya ada yang belum selesai. Nah, hal itu bisa menjalar ke fisik lo. Contohnya, orang yang banyak pikiran, akan gampang sakit. Lama-lama, fisik lo justru jadi melemah. Dan, ya, 'membunuh' dalam artian lo akan kesakitan sendirian."
"Gitu, ya?"
Aku tersenyum getir, karena aku sudah pernah berada di fase itu; kesakitan sendirian.
"Iya, bilang aja! Bahkan, meskipun lo belum move on, gue rasa nggak ada yang salah untuk mengungkapkan perasaan. Kadang, kita hanya mau lega aja. Bukannya mau diterima, atau apa, tapi mengungkapkan perasaan supaya lo akhirnya lega dan siap melepaskan."
Aku mengangguk-angguk. "Oh, gue paham. Kadang mengungkapkan perasaan justru bisa menjadi cara terbaik untuk melepaskan. Iya, kan? Supaya lo lega, supaya lo nggak perlu dikejar-kejar lagi sama perasaan itu."
Ed senyum. "Mengungkapkan perasaan juga bisa menjadi akhir. Kata 'selesai' setelah lo sudah berhasil mengungkapkan perasaan itu. Kayak, gue pernah ketemu orang, dia sengaja gitu mengungkapkan perasaannya ke orang yang dia suka. Bukannya mau diterima, tapi dia ngomong kayak gitu, karena dia mau mengeluarkan perasaan itu supaya dia berjalan maju. Supaya, ada kata 'selesai' yang bisa dia pegang sebagai bekal ke masa depan."
"Ehm, gue mulai paham. Kayak, Perasaan gue ke lo sudah 'selesai' karena gue sudah mengungkapkannya, jadi gue mau move on sekarang. Gitu, kan?"
Ed menunjukan healing smile yang dia punya, lalu, "It's nice to share one brain cell with you."
Malam ini, Bandung membawa kami berdua ke tempat yang dingin. Setelah bincang-bincang yang cukup serius tadi, Ed memutuskan untuk tidak mengantarku pulang. Katanya, dia akan izin ke Dikara nanti, padahal dia tidak harus melakukan itu. Aku bukan milik Dikara. Lalu, dia membawaku ke tempat tinggi, sebuah bukit. Di atas bukit tersebut, ada kafe yang sekaligus merangkap sebagai bar dengan pencahayaan remang-remang. Cantik. Banyak lampu kelap-kelip, serta lilin di atas meja. Suasananya terlalu romantis mengingat aku datang ke sini bersama Ed.
"Kenapa melamun?" tegur Ed. Dia mendorongku ke balkon. Tidak, lelaki itu bukan berencana membunuhku. Ada kursi-kursi kayu yang manis di balkon dan kami duduk di sana. Di sini, balkon disulap menjadi area kencan. Benar-benar dihias degan cantik, serta vas bunga berisi dua tangkai mawar putih-merah yang diletakan di setiap meja. "Gue sudah pesen minuman buat kita."
Aku mengangkat sebelah alis. "Lo memangnya tahu gue mau pesen apa, Ed?"
Ed tertawa kecil. "Moccachino hangat, karena gue nggak mau lo kedinginan. Lo suka sama moccachino, kan? Semoga gue nggak salah pesen. Bisa aja kan, selera lo berubah gara-gara angin New York yang sering lo sebut-sebut itu. Apa bedanya angin sana sama di sini?"
"Masih suka," jawabku senang. Aku menggosokan telapak tanganku karena dingin, lalu meliriknya. "Jelas beda, lah! Di sana kan ada musim dingin, musim salju. Tiap salju turun, gue rasanya kayak mau mati, Ed. Dingin banget! Parrraaah! Tapi, berkat angin New York, gue jadi lebih sering merenung. Biasanya, gue akan duduk di balkon apartemen sambil minum teh atau kopi susu—selain musim dingin, terus menikmati embusan angin New York. Paling enak pas musim semi, sih. Hawanya sejuk-sejuk nyaman gitu. Dalam proses merenung itu, gue jadi menyadari banyak hal dan mengevaluasi tingkah gue di masa lalu. Banyak salah yang gue evaluasi, kemudian gue coba cari solusinya. Termasuk... urusan hati."
"Oooh." Ed manggut-manggut, terlihat begitu terkesima dengan ceritaku.
Aku terkekeh pelan, lalu menoyor kepalanya pelan. "Omong-omong, lo minum apa?"
"Biasa," jawabnya, sambil menyeringai. Jawaban yang paling sering dia gunakan.
Tak lama, seorang pelayan dengan seragam warna kuning mengantarkan pesanan Ed. Dia meletakan secangkir moccachino hangat di hadapanku, lalu sebotol bir dan sebuah gelas kecil untuk Ed. Oh, dia mau minum. Bukan hanya itu, pelayan tersebut juga meletakan sepiring roti panggang dengan selai anggur yang meleleh. Tampak enak.
"Biar nggak dingin, Cer," ucapnya, tanpa ditanya. Lalu, Ed menuangkan bir ke dalam gelas berukuran kecil. "Jangan ngomel ke gue! Gue lagi pengin banget minum malem ini."
"Awas lo sampai mabuk, terus gue yang harus nyetir!" ancamku.
Ed menggeleng. "Semoga aja, gue masih waras buat nganterin lo pulang."
Aku hanya geleng-geleng kepala. Bosan memandangi Ed yang tengah meneguk gelas demi gelas bir, aku pun meneguk moccachino yang dipesankan Ed untukku. Rasanya tidak terlalu manis, seleraku.
"Seandainya Dinda di sini, pasti lebih ramai lagi, ya?"
Pertanyaan tanpa aba-aba dari Ediarga berhasil membuatku menyeringai. Ya, tempat ini sangat sesuai dengan selera Adinda. Gadis itu suka minum alkohol, sampai bergelas-gelas. Bukan hanya bir, tapi Adinda juga ahli dalam hal meneguk vodka. Kegilaan gadis itu tidak hanya sampai di situ. Adinda pernah jauh-jauh pergi ke Skotlandia untuk merasakan Pincer Shanghai Strength, jenis vodka botani dengan kadar alkohol 88,8%. Namun kata gadis gila itu, minuman tersebut dibuat dari tanaman bernama milk thistle yang baik untuk obat hati.
Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa Adinda diberi julukan Gadis Gila.
"Lain kali, lo bisa bawa gadis gila itu ke sini," kataku.
Ed kembali menuangkan bir ke dalam gelas kecil tersebut. Lalu, "Cer."
Aku meliriknya sekejap. "Jangan bilang, lo mabuk, ya?!"
Aku sudah siap-siap mau menyemburnya dengan omelan, ketika dia menggelengkan kepalanya pelan. Lalu, dengan cepat, dia melempar senyum kepadaku. Dari sorot matanya, seperti ada sesuatu mengganggunya.
"Apa...?" tanyaku, memastikan. "Lo beneran nggak mabuk, kan?"
"Jatuh cinta sama orang yang jatuh cinta sama orang lain itu nggak boleh, ya?"
Pertanyaan bodoh.