DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #15

Enam: Drunk

**

Kata hati juga bisa menjadi racun, seperti bagaimana aku terjebak di sudut ruang gelap merenungi segala kisah pilu antara aku dan dirimu.

**

Pertikaian tidak bisa dihindari. Kami membuat kekacauan besar di wilayah orang. Jelas, kami langsung diusir oleh manajer kafe dan bar yang hampir mengundang polisi. Untungnya, aku dan Ed berhasil memisahkan mereka berdua meskipun aku harus menahan sakit karena terkena tinju di rahang kiriku. Rasanya nyeri, dan air mataku menetes tanpa bisa kubendung. Itu bukan keinginanku, air matanya menetes begitu saja. Mungkin, karena tinju itu menghasilkan shock di dalam tubuhku. Aku pun tak tahu tinju milik siapa yang mengenai rahangku. Bukan waktunya melihat siapa pemilik tinju itu, karena aku harus bekerja keras menarik Dikara dari atas tubuh Kak Reo. Dia memukulinya berulang-ulang kali, sampai ada darah mengucur dari hidung lelaki berengsek itu.

"CUKUP!"

Ed berteriak ketika dua orang itu masih saling tarik-menarik kerah kemeja, padahal kami sudah berada di luar tempat itu. Tetap saja, kekuatanku tidak cukup untuk mengekang Dikara supaya dia tidak kembali memancing keributan.

"STOP IT, STUPID!"

Giliran aku yang berteriak lumayan keras, sambil menendang ban mobil Jeep Ediarga.

Suasana menjadi lebih kondusif. Keduanya berhenti saling pukul dan tarik-menarik kerah baju. Namun, tetap ada kilatan amarah di dua pasang mata mereka. Dikara mundur lebih dulu, lalu dia mengatur napas. Sementara itu, Kak Reo yang notabennya lebih parah, dia segera mengusap tetes-tetes darah yang keluar dari pelipis kiri, hidung, juga ujung bibirnya.

"Bedebah," ucap Dikara, lirih. Matanya menatap lurus ke arah Kak Reo.

Kak Reo pun menatapnya nyalang. "Lo lebih bedebah!" balasnya.

Dikara meludah, lalu, "Apa maksud lo?"

"Lo nggak usah sok paling ganteng, Dikara!" Kak Reo menyeringai, lalu dia kembali mengusap ujung bibirnya. Dengan tampang meremehkan, dia melanjutkan, "Lo jelas-jelas lebih bedebah daripada gue. Lo mempermainkan dua perempuan sekaligus, dan bertingkah seolah lo adalah lelaki paling sempurna. Lo tahu, lo yang menyeret Cerelia ke dalam drama lo itu. Nggak kasihan lo, hah? Cerelia nggak pantes sama cowok kayak lo. Pemain wanita."

Dikara tertawa sarkas. Lalu, dia melirikku sebentar dan, "Lo nggak usah ikut campur dan bertingkah sebagai pahlawan. Jadi maksud lo, lo jauh lebih pantes buat Cerelia? Seorang pelaku pelecehan seksual yang nggak mau mengakui kesalahannya? Oh, c'mon. Lo pasti lagi bercanda, kan, Kak? Perut gue geli."

Kak Reo menggeram menahan marah. "Tutup mulut lo!"

Dikara tidak kenal takut. "Pelaku pelecehan seksual," ucapnya, lebih gamplang.

Kak Reo hendak maju dan kembali menyerang Dikara, tapi Ediarga berhasil meraih pinggang lelaki itu dan menahannya kuat-kuat. "Bisa berhenti nggak, sih?!" ucap Ed, kesal.

Aku meloloskan helaan napas, kemudian memijat pelipisku. Seketika, aku merasa ada yang memukul kepalaku dengan martil besar. Rasanya sakit sekali. Memori-memori yang tak seharusnya ditemukan, justru menyerangku dalam hitungan detik. Memori-memori itu jadi kesatuan yang utuh, membuatku kembali merasakan nyeri di dada.

"Gue peringatkan, jangan pernah berada di dekat Cerelia lagi!" ucap Dikara, sembari mengusap darah yang menetes di ujung bibirnya. Lalu, dia memegang lenganku erat dan, "Lo nggak akan pernah pantes untuk bersanding sama Cerelia, jadi nggak usah sok keren! Lo aja masih belum tahu di mana letak kesalahan lo, mau sok-sokan berlagak suci! Buka mata, buka telinga! Lo hidup cuma sementara, ingat dosa! Setelah lo babak-belur kayak gini, apa lo... masih cukup bodoh untuk melarikan diri? Oke, fine! Lo bisa lari, lo bisa sok lupa sama apa yang lo lakuin ke Cerry beberapa tahun lalu. Tapi, dosa lo... Itu nggak akan pernah dilupakan Tuhan, Kak! Sampai lo bersujud di kaki Cerelia, jangan harap lo bisa hidup tenang. Apa yang sudah lo perbuat di masa lalu akan terus mengejar lo, membuat lo nyaris gila. Percaya sama omongan gue, lo nggak akan pernah hidup tenang!"

Puas mengucapkan semua yang ingin dia ucapkan, Dikara langsung membawaku ke dalam mobilnya. Dia tidak melakukannya dengan lembut, tentu saja. Masih ada api menyala-nyala di kedua netranya.

"Seatbelt!" perintahnya, terdengar dingin.

Aku mengangguk kecil, lalu memakai seatbelt. "Hati-hati nyetirnya," peringatku.

Aku mengembuskan napas panjang, bersamaan dengan mobil Dikara yang menjauh dari kafe dan bar itu. Ed sengaja tinggal lebih lama untuk menjaga Kak Reo yang wajahnya sudah seperti pelaku maling ayam. Ada banyak luka di wajah, akibat dari tinju Dikara yang mendarat berulang-ulang. Aku merekam semuanya dengan netraku, tak bisa berbuat apa-apa pada awalnya karena aku terjebak dengan kewarasanku sendiri.

Melihat Dikara melakukan itu, kembali mengingatkanku akan pertengkaran antara Kak Brian dan Kak Reo yang terjadi di belakangku. Tanpa aku tahu. Apakah pertengkaran di antara mereka juga seheboh ini? Sampai babak-belur? Darah menetes di mana-mana?

Aku ingin tahu.

Selama perjalanan, kami masih saling diam. Ada banyak hal mengacaukan pikiranku. Yang kuyakini, juga ada banyak hal menyerang kepala Dikara saat ini. Namun, dari semua hal yang membuatku bingung, ada satu hal yang ingin kudengar. Pelan-pelan, aku menoleh ke arah Dikara yang menyetir di sebelahku.

Bagaimana dia bisa sampai di sini?

Pertanyaan itu tidak segera keluar dari tenggorokan, seolah ragu-ragu dan takut untuk tahu jawabannya.

Dikara menyalakan radio yang memutar lagu Let Me dari Zayn. Suaranya lembut dan manis, dia juga tampan. Saat Zayn masih berada di One Direction, aku sangat menyukainya. Maksudku, banyak gadis yang jatuh cinta pada daya tariknya, kan? Bukan hanya aku, teman-temanku juga menyebutkan namanya. One and only, Zayn Malik.

Baby, let me be your man

So I can love you

And if you let me be your man

Then I'll take care of you, you

For the rest of my life, for the rest of yours

For the rest of my life, for the rest of yours

For the rest of ours

Lagu-lagu di radio berubah, terkadang diselingi oleh suara si penyiar yang nyaring dan membuat lelucon untuk menarik pada pendengar. Aku punya siaran radio favoritku sendiri, dan pas sekali karena Dikara memutarnya. Sepertinya dia sengaja untuk membuat suasana di antara kami jauh lebih nyaman. Lagu-lagu yang diputar bisa menghapus energi negatif yang menggerogoti kesunyian di antara kami. Prambors Radio sangat menyenangkan untuk didengarkan, entah di saat susah atau senang.

"Ed bilang kalau lo ketemu Kak Reo." Dia menghentikan mobilnya di lampu merah, dan dia melanjutkan, "Lo nggak apa-apa, kan?"

Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. "Santai, Dik."

Dikara juga menoleh kepadaku, lalu keningnya berkerut. "Rahang lo—"

"It's okay," selaku, kemudian mengelus rahangku yang sepertinya membiru.

Tangan Dikara terulur mendekat. Lalu, dia mengamatinya dengan seksama. "Tangan siapa? Tangan gue, ya?"

Aku masih menyunggingkan senyum yang sama. "Nggak tahu, nggak penting juga."

"Jelas penting, lo luka."

"Tapi, tadi yang lebih penting adalah memisahkan kalian berdua."

Dikara menghela napas, lalu, "Maaf, ya? Mungkin tangan gue."

Aku mengangguk-angguk. "Nggak apa-apa, kok. Santai aja."

"Gue hampir lupa diri, begitu tahu lo ketemu sama lelaki bedebah itu," jelasnya. Dia tampak serius dengan ucapannya, seperti tahu bahwa aku memang menunggu untuk mendengar jawaban tentang hal itu. "Tadinya gue cuma mau tahu apa lo sudah diantar sampai rumah, tapi... ternyata belum. Ed justru bawa lo ke tempat lain. Mungkin, gue harus beneran ngomelin dia—"

"Nggak perlu." Aku kembali menyela. "Bukan salah Ediarga."

"Kepala gue langsung panas, inget tentang masa lalu saat bedebah itu berani macem-macem sama lo." Dikara mengelus puncak kepalaku, lalu dia menarik senyumnya perlahan-lahan. Amarah tidak lagi menyala di netranya. Ada kelembutan di setiap tutur katanya. Lalu, tangan kirinya terulur untuk meraih telapak tangan kananku. Dia menggenggamnya. "Kalau dia berani melakukan hal-hal kotor ke lo lagi, gue yakin dia nggak akan punya keseimbangan buat jalan."

"Dikara, lo nggak perlu sejauh itu." Aku menggeleng pelan.

"Jelas perlu!" jawabnya, mantap. Matanya menatap lurus ke manik mataku. Dengan lembut, dia meremas telapak tanganku. "Biar gue mengutip ucapan Kak Rakai sewaktu kita pertama ketemu beberapa tahun lalu, setelah lo selesai rapat BEM. Kata dia, perempuan itu berharga, jagain. Kalau kata gue, lo berharga makanya gue jagain."

"Thank you," sahutku, tulus. "Lo... sampai babak-belur cuma demi gue."

"Cuma?" Alis Dikara mencuat heran. "You're more than that."

Pipiku memerah, jadi aku langsung mengalihkan pandanganku keluar kaca. Dikara hanya terkekeh, kemudian melajukan kembali mobilnya saat lampu lalu lintas telah berubah hijau. Perjalanan kami tidak begitu hening. Tidak seperti tadi. Kami asyik bersenandung, dengan suara yang tentunya jauh lebih bagus miliknya. Kalau diminta duet dengan Dikara, aku akan jadi penghancur melodi. Sesekali, kami juga membuat kontak mata. Aku sungguh bersyukur dia ada di sini, saat aku merasa sepi. Aku suka suasana ini, rasanya hatiku hangat. Genggaman tangan Dikara di tanganku yang tak terlepas, seolah dia baik-baik saja menyetir hanya dengan satu tangan. Sesekali, dia membuat mata kami bertemu dan tersenyum lebar.

Apa dia senang bersama denganku?

Perasaan hangat ini, apakah aku terlalu serakah jika memintanya untuk bertahan lama? Biar kupinjam sebentar saja pacar orang ini. Hanya... sampai tengah malam. Tak ada esok hari, hanya... sampai di sini.

Lihat selengkapnya