DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #16

Tujuh: Fiance

**

Tidak semua perasaan diberikan rumah untuk tinggal. Terkadang perasaan ada yang dibiarkan pulang tanpa kemenangan.

**

Kejadian malam itu masih terasa nyata. Bibirku juga masih bisa merasakannya. Dan, ya, itu memang nyata. Berulang kali pun aku mencoba menyembunyikan itu seperti wanita pengecut, kejadian itu tidak akan terhapus begitu saja. Memoriku sudah merekamnya dengan baik, seolah memberiku bukti bahwa aku memang setan di kisah ini.

Semua yang terjadi hari itu memang nyata adanya. Dengan disaksikan angin malam dan cahaya bulan, kami membuat kesalahan besar. Sekali lagi, kami mendobrak pintu yang telah dikunci oleh Tuhan. Kami meruntuhkan tembok pembatas itu dengan ganasnya. Betapa keras kepalanya manusia-manusia yang sedang jatuh cinta. Semuanya buta, entah mana yang benar dan salah.

Opposite.

Aku menuangkan air putih ke dalam gelas kosong, namun pandangan mataku tertuju ke arah lain. Kosong, hampa, bingung, dan gelisah. Semuanya bercampur menjadi satu, lalu aku diserang lagi. Beruntungnya, air mataku sudah jauh lebih kuat. Aku tidak menangis.

Namun, aku masih belum bisa bernapas dengan baik, setelah Adinda memberitahuku sebuah informasi yang tidak pernah aku harapkan akan datang. Sesungguhnya, aku sudah menghindari Dikara selama sebulan ini. Selain karena dia sibuk dengan proyeknya, aku juga tidak mau bertemu dengannya. Aku pun juga meminta bantuan Maura untuk mengambilkan tas kesayanganku yang tertinggal di rumah Dikara. Karena Maura tidak banyak omong dan kepo, jadi kurasa dia adalah orang yang tepat. Seharusnya tas itu kubawa pulang saat aku makan malam di sana, tapi aku ternyata lupa. Lagi dan lagi, isi pikiranku kosong begitu Dikara menyuruhku pulang bersama Ed. Tanpa penjelasan, tentu membuatku terus bertanya-tanya. Janji menonton film bersama Cherry juga terpaksa kubatalkan. Gadis remaja itu tidak protes, tapi kutahu bahwa aku sudah membuatnya kecewa.

Mendung abu-abu seperti melayang di atas kepalaku.

Dear my blue.

Kafe baruku sudah dibuka seminggu lalu, banyak teman-temanku yang datang. Dan, aku tidak bisa mengatur takdir, namun Kak Reo dan Kak Brian datang hampir bersamaan. Mereka jelas sekali tidak saling menyukai. Omong-omong, hubunganku dan Kak Reo masih saja dingin. Kami hanya berbasa-basi tanpa arti. Dia yang biasanya selalu berani mendekatiku tiba-tiba menjadi batu. Mungkin, tinju Dikara masih membekas di wajahnya jadi dia tidak berani lagi untuk berada cukup dekat denganku. Dan, karena hal itu, aku bersyukur. Berkat Dikara, satu beban di bahuku berhasil kubuang jauh-jauh. Meskipun, tentu, trauma masa lalu itu tidak akan hilang semudah kita membalikan telapak tangan. Aku menikmati prosesnya, perlahan-lahan, sampai semua mendung itu berlarian ke sana-sini meninggalkanku.

Selama satu bulan ini, aku berusaha mengubur harapanku sendiri. Tiap tengah malam, aku akan berdiri di balkon dan menatap langit. Dingin sekali, namun aku menyukainya. Patah hatiku jadi tidak terlalu menyakitkan. Mungkin juga, aku justru membuat patah hatiku jauh lebih pedih. Namun, semua akan baik-baik saja? Kubiarkan pedih mengambil alih, asalkan nanti semuanya bisa berjalan normal.

Aku masih bisa hidup tanpa Dikara, aku meyakini itu.

"Cer, lo nggak apa-apa, kan?" tanya Adinda dengan suara lirih. Dia mengusap bahuku dan memelukku. "Maafin gue, ya. Gue tadinya nggak mau kasih tahu lo, tapi gue juga nggak mau kalau lo tahu paling terakhir. Gue juga kaget, sama kayak lo. Maaf, ya, Cer."

Aku memaksakan seulas senyum. "Bukan salah lo, Din. Nggak perlu minta maaf."

Sejak tadi pagi sampai jam dinding di apartemenku menunjukan pukul lima sore, Adinda belum juga beralih. Dia masih setia menjagaku dan menghibur hatiku yang hancur berkeping-keping. Namun, ini karmaku. Ini adalah jalan yang semesta pilihkan untukku, tentang cara menghargai dan juga menjaga orang lain.

Cerelia Juli, ambil saja hikmahnya.

Kalender di apartemenku menunjukan tanggal 6 Maret. Aku lupa menceritakan acara pembukaan kafeku. Perayaan dilakukan pukul tujuh malam, dengan musik menggema hasil karya Ediarga. Aku meminta lagu-lagu yang tidak menyakiti telinga, jadi aku perlu memuji kinerja Ed untuk kerja kerasnya memilih lagu-lagu indie. Kurasa, lagunya cocok dengan konsep kafe yang kuusung. Bukan hanya itu, setelah pembukaan kafe, aku mengalami waktu yang cukup menyenangkan. Aku menghabiskan waktu di Puncak Bogor bersama Ed, Adinda, dan Maura. Tadinya kami mau mengajak geng Kak Rakai—yang jelas ada Kak Brian juga, tapi mereka sudah lebih dulu membuat jadwal untuk pergi ke Bromo.

Puncak dingin, tapi hatiku hangat.

Obrolan kami diinterupsi sebuah breaking news di televisi. Baik aku ataupun Adinda langsung fokus dengan berita tentang pelecehan seksual yang marak terjadi terhadap kaumku, alias kaum perempuan. Namun, tidak sedikit juga, kaum pria menjadi korbannya. Yang lebih miris, banyak korban pelecehan seksual takut untuk speak up. Takut dianggap hina. Takut dianggap kotor. Pandangan masyarakat masih sangat menyeramkan untuk para korban.

Oh, rasanya, cerita ini mirip dengan cerita seseorang.

Ya, aku. Diriku.

"Cerelia," panggil Adinda. Dari nada suaranya, ada keraguan di sana.

Aku menoleh dan tersenyum tipis. "Hm?"

"Lo... beneran sudah nggak apa-apa, kan? Kak Reo, maksud gue."

Aku terdiam sejenak, sibuk menikmati isi kepalaku yang melayang-layang. Lalu, aku pun merespon, "Jujur, gue masih merasa ada getaran aneh gitu kalau ada di dekat dia. Nggak tahu, ya, getaran marah atau benci. Atau, justru getaran takut. Gue sudah nggak ke psikiater sejak tiga tahun lalu, Din. Lo tahu itu kan, sejak gue berangkat ke New York. Waktu itu pun, gue konsultasi dan minum obat bukan cuma karena Kak Reo, tapi juga karena pengaruh Kak Brian. Lo juga tahu itu, hubungan toxic gue sama dia, yang berujung gaslighting."

Adinda manggut-manggut. "Gue awalnya nggak paham sama apa itu gaslighting, tapi setelah gue cari-cari sampai nekat ke Perpustakaan UI... Ternyata serem juga, ya? Jujur, gue nggak bisa membayangkan seberapa menderitanya lo waktu itu, tapi yang gue lihat cuma hal-hal bahagia aja. Gue kira, Kak Brian adalah soulmate lo. Ehm, setahu gue, lo jadi kehilangan kepercayaan diri lo sendiri. Trust issues gitu. Lo juga bilang kalau lo jadi merasa bergantung banget sama Kak Brian. Semacam... apa namanya, Cer?"

"Sindrom Stockholm," jawabku.

Adinda menjentikan jarinya dengan semangat. "Nah, iya!"

Aku terkekeh renyah, kemudian mengusap puncak kepala Adinda. Dia selalu seperti ini. Diam-diam menjaga. Diam-diam peduli. Diam-diam mencaritahu. Diam-diam tidak mau kalau sahabatnya tersakiti. Lihat kan, dia bahkan mengaku pernah berkelana sampai ke UI hanya untuk mengetahui lebih dalam tentang kasus yang kualami.

"Cerelia, lo mau kado apa buat ulang tahun lo?" tanya Adinda, sembari menyapukan kuteks di jari kakiku. Kami duduk lesehan di sebuah karpet yang kugelar di dekat balkon supaya angin sore dapat menyegarkan pikiran kami. Dari sini, tayangan televisi masih bisa terlihat dengan jelas, jadi tidak akan membosankan. "Gue sama Ed mau buat party buat lo, sih. Ya, gue tahu kalau lo nggak suka sama party. Boleh dicoba, ya?"

Aku menggeleng. "Nggak, ah! Kalau ada party, nanti Dikara dateng."

"Memangnya kenapa kalau dia dateng?"

Aku gugup sendiri. "Ya—ya... Lo lebih tahulah!"

"Lo nggak mau ketemu dia?" Adinda mengembuskan napas panjang, yang sejurus kemudian diikuti dengan gelengan kepala tak percaya. "Sayangku, Cerelia, kalau lo seperti ini, justru lo menunjukan tanda-tanda gagal move on. Lo harus ketemu dia, bersikap biasa aja. Tunjukan ke dia, kalau lo fine-fine aja denger kabar dia mau tunangan sama Julia."

Dadaku remuk. Aku memejamkan mata sebentar dan membayangkan jalan skenario terburuk yang akan terjadi. Teman-teman di lingkaran terdekat kami sudah tahu bahwa Julia dan Dikara akan bertunangan. Aku sebenarnya menganggap bahwa itu kabar burung karena tidak ada bukti valid, namun kurasa karena Julia tiba-tiba memakai cincin dengan liontin batu biru di jari manisnya. Buktinya kurang kuat, namun aku memercayainya. Maksudku, ini adalah cara mengikhlaskan yang paling benar. Dikara dan Julia memang serasi, kan?

Tolong jangan lihat aku seperti itu. Aku bisa berubah jadi malaikat.

"Kapan mereka tunangan...?" tanyaku, setelah beberapa saat diam. Aku menyibukan pikiranku sendiri. Dia terlalu banyak mengisinya, sampai kepalaku sakit. "Kenapa Mama atau Cherry nggak kasih tahu gue, ya? Apa mereka takut kalau gue sakit hati?"

Adinda mengangkat bahu, lalu, "Bisa jadi, Cer. Mereka juga sayang sama lo, kan?"

Aku menghela napas. "Mungkin, karena gue susah dihubungi."

Sebelah alis Adinda mencuat heran. "Oh?"

"Iya, gue... menghindari Dikara, dan juga keluarganya."

Adinda geleng-geleng kepala. "Lo justru kelihatan aneh banget, padahal mereka kan nggak salah apa-apa. Yang perlu lo pikirkan itu perasaan lo sendiri, jangan orang lain. Cari pelampiasan lain, Cer. Jangan keluarganya."

Aku mengangguk dan mengingat kapan terakhir kali mama menghubungiku. Oh, itu saat perayaan pembukaan kafe baruku. Cherry dan Danendra turut datang ke kafe untuk memberikan ucapan selamat, tapi hanya sebentar saja. Mereka datang pukul delapan malam, berbincang dengan teman-temanku, kemudian pulang setelah satu jam. Cherry yang kecewa karena batal menonton film denganku, datang dengan wajah sumringah. Yah, dia adalah gadis manis. Cherry bilang, dia tidak apa-apa. Namun, dia tetap akan menungguku membayar semuanya kapan-kapan, kalau aku sudah siap. Mama Puspa juga titip salam, kata Danendra. Dikara tidak ada, karena dia pergi ke luar kota untuk mengurus proyek. Namun, dia sempat mengirim pesan yang cukup panjang. Aku hanya membacanya sekilas, belum siap berkaitan dengannya lagi. Mungkin, aku hanya butuh waktu untuk mengikhlaskan... atau, mungkin ini adalah cara alam bawah sadarku untuk melampiaskan segala kekacauan.

Ponselku berdering nyaring, ketika aku sedang melamun menatap cantiknya langit sore Bandung. Aku bahkan lupa di mana aku meletakannya tadi. Dengan cepat, aku bangkit dan membuat Adinda kesal karena dia belum selesai menyapukan kuteks di jari-jariku. Aku hanya meringis, lalu berlari ke ruang makan. Astaga, aku lupa meletakannya di sini. Tadi aku dan Adinda memasak ramen bersama, jadi aku tidak ingat kalau meninggalkannya di atas meja makan.

Asing sekali, hanya nomor.

"Halo?" Aku mengangkatnya, siapa tahu penting.

Tidak ada sahutan di sana, namun aku mendengar helaan napas.

"Halo? Dengan siapa?"

Aku menunggunya. Satu detik, dua detik, tiga detik... Sepuluh detik, sebelas detik...

"Ini gue."

Suaraku tiba-tiba menguap ke udara.

"Kalau nggak pakai nomor Danendra, lo pasti nggak mau jawab telepon gue. Cuma nomor dia yang nggak ada di hp lo," lanjutnya. Dia menghela napas berulang-ulang. Dia di mana?

"Apa kabar...?"

Pertanyaan paling bodoh. Aku memukul kepalaku sendiri. Sial!

Lihat selengkapnya