DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #17

Delapan: BACK2U

**

Ikatan antara dua anak manusia memang rumit. Ada yang membelit, ada juga yang dilepas tanpa pamit.

**

Langit Bandung sangat cerah hari ini. Bintang-bintangnya banyak, dan bulannya juga besar. Aku dan Julia duduk berhadapan di dalam kafe baruku. Dia menggenggam secangkir coklat panas yang sengaja kusiapkan untuknya, sementara aku memilih secangkir teh lemon. Dua minuman ini sebenarnya tidak dijual di kafe, aku hanya menyediakannya untuk diminum sendiri atau untuk teman-temanku jika mereka mampir.

Suasana kafe cukup ramai oleh muda-mudi. Kami berdua duduk di lantai dua, ada lampu kelap-kelip menghiasinya, serta kaca besar yang membuat kami leluasa untuk melihat ke luar. Tadi kami sempat pergi menonton film bersama, lalu berbelanja sepatu dan kemeja kerja untuknya. Tak lupa, kami juga mampir ke timezone sampai jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukan pukul 20:15.

Kafe ini adalah persinggahan terakhir.

Julia menyesap coklat panasnya, lalu tersenyum. "Enak banget, Cer."

"Nggak sia-sia gue belajar dari internet cara buat coklat panas kalau gitu," ucapku, sambil memamerkan senyum manis. Lalu, aku memandang Julia dengan ragu-ragu. Sejak tadi, Julia belum mengatakan apa pun, padahal dia bilang mau memberitahuku sesuatu. Jadi, aku bertanya, "Julia, lo katanya mau ngomong. Kapan, nih? Lo mau duduk di sini sampai besok?"

Julia terkekeh. "Boleh juga. Jangan lo tutup kafenya, ya!"

Aku geleng-geleng kepala. "Gue nggak bercanda, Jul," kataku, sambil menyesap teh lemon milikku sampai setengah gelas. Jujur, ini sudah gelas keduaku. "Gue mau tambah teh lagi, nih. Lama-lama gue bisa kembung."

Aku menyesap teh sekali lagi, kali ini tidak menyisakan apa-apa lagi di dasar gelas. Sepertinya, aku butuh tambahan teh untuk yang ketiga kali. Aku bersiap-siap mengambil tambahan teh, namun tangan Julia yang lembut menahan lenganku. Raut wajahnya berubah.

Mengapa wajah cantik Julia menatapku dengan tatapan seperti itu?

"Gue nggak bisa kayak gini, Cerelia," kata Julia. Dia menggenggam tanganku. "Gue harus mengembalikan Dikara ke lo secepatnya."

Mataku membulat. "Lo ngomong apa, sih?"

"Sejak awal, dia memang bukan milik gue."

Aku jadi panik sendiri. "Nggak, jangan ngomong kayak gitu!"

Julia menggeleng. "Gue tahu perasaan kalian berdua."

Aku menarik tanganku dari genggamannya. Perasaanku benar-benar gugup. Rasanya, aku sudah tertangkap basah merebut kekasih orang lain. Astaga! Aku ingin berlutut sekarang juga dan meminta maaf pernah melampaui batas.

"Maaf," kataku, lemah.

Julia memandangku dengan sorot mata sendu. Dia geleng-geleng kepala, dan ujung bibirnya naik membentuk senyum tipis yang membuatku teduh. Nah, Julia adalah perempuan manis yang memang tidak sepantasnya dilukai.

"Kenapa lo minta maaf, Cer? Nggak ada yang salah di sini. Gue ataupun lo, bahkan Dikara juga nggak salah apa-apa. Siapa orang yang bisa mengendalikan perasaannya? Nggak ada, Cer. Terkadang, kita jadi orang bodoh kalau sudah dikaitkan sama perasaan."

"Gue bodoh, gue minta maaf."

"Gue sudah dengar semuanya dari Dikara," tukas Julia, yang terdengar... lega?

Kepalaku otomatis menunduk karena malu. "Lo boleh maki-maki gue, Jul. Gue yang salah, Dikara cuma terbawa suasana karena gue balik dari New York. Semestinya, gue tetap di New York dan nggak kembali, kalau tahu bakal kejadian kayak gini."

"Kalau lo nggak balik, lo malah akan lebih menyiksa dia."

Aku menggeleng, lalu mengangkat wajahku. Kedua telapak tanganku mulai basah oleh keringat, karena terlalu gugup. Lalu, aku berkata, "Dia mau melamar lo. Meskipun dia bilang nggak, tapi gue nggak bisa percaya sama dia begitu aja... Gue yakin, Dikara cuma kebingungan karena gue kembali. Sebenarnya, hati dia itu buat lo. Dan, gue cukup tahu diri kalau gue bukan apa-apa lagi."

"Cer, gue—"

Lihat selengkapnya