**
Pada akhirnya, yang lupa jalan juga bisa pulang. Teringat ada yang menanti, sembari mengucapkan amin paling serius di dalam hati.
**
Jam dinding di apartemenku menunjukan pukul setengah tujuh malam. Dikara masih dalam balutan kemeja kerja warna ungu yang dia gulung bagian lengannya sampai ke siku, lalu dua kancing atasnya dibuka. Rambutnya berantakan, yah tipe-tipe karyawan yang baru pulang kerja. Apalagi, hari ini dia bertugas di lapangan. Lucu sekali, aku terus menggodanya yang bau matahari. Padahal dia sudah sempat mandi tadi. Bahkan, dia menggunakan sabunku yang memiliki aroma bunga camelia.
Kalian mungkin penasaran, bagaimana aku dan Dikara akhirnya bersama. Hari itu, hari di mana aku dan Julia memiliki obrolan panjang. Hari itu, hari di mana aku akhirnya cukup berani untuk menghubungi Dikara. Dengan berkata, kalau aku merindukannya. Lalu, dia datang. Namun, oh, ini bukan drama Korea di mana dia langsung datang dalam hitungan menit. Aku menunggunya karena dia masih punya banyak pekerjaan di kantor. Lalu, tepat saat jarum jam menunjuk angka sepuluh, suara mobil Dikara membuatku menoleh keluar kafe.
Dikara turun dari mobilnya, melemparkan senyum padaku, kemudian langsung berlari menghampiriku yang sudah menunggunya. Dia memelukku erat, terlalu erat sampai aku tidak bisa bernapas. Malam yang panjang, dan indah. Kami tidak langsung pulang. Dikara justru membawaku ke rooftop sebuah hotel yang berkamuflase sebagai bar untuk melihat bintang-bintang. Ada banyak pengunjung di sana, tapi aku merasa hanya berdua. Sungguh bahaya, tipuan jatuh cinta. Lalu, di rooftop itu, Dikara memberitahuku bahwa selama ini aku telah membuat kesalahan besar, karena telah membuatnya lama menunggu.
Malam itu, aku terbang jauh ke awan dan jatuh di antara bintang-bintang. Tentunya, aku tidak mau sendirian, tapi bersamanya.
"Aku ada jadwal sampai jam tujuh. Acara ulang tahunnya jam berapa, sih?" tanyanya. Dia meletakan kepalanya di pahaku yang berperan sebagai bantal. Matanya menatap ke atas, fokus kepadaku yang tengah memotong kuku jari-jari tangannya. "Temen-temen kita dateng juga?"
Aku memotong kuku jempol tangan kanannya, lalu, "Cuma geng mereka. Yah, enam laki-laki itu yang dateng. Jam delapan, kamu bisa dateng."
"Kenapa temen-temen kita nggak ada?"
"Ya, kan bukan party," jelasku. Aku mengusap kepalanya setelah selesai memotong kuku di jari-jari tangannya. "Ini semacam kejutan ulang tahun gitu. Kak Andrian aja nggak tahu. Pokoknya, mereka pura-pura nongkrong di kafe aku, terus nanti tiba-tiba ada kue ulang tahun."
"Kamu yang bawa kue ulang tahunnya?" tanyanya. Dia mengangkat kepalanya dari pahaku, kemudian mengambil alih potongan kuku di tanganku. "Kaki kamu dilurusin, aku potong kukunya."
Aku meluruskan kakiku seperti perintah dia. "Bukan aku, ada pacarnya."
"Masih yang lama?"
Aku menarik senyum. "Kak Andrian nggak aneh-aneh, dia juga setia."
Dikara manggut-manggut, dan mulai memotong kuku di jari kakiku. Kalian mungkin sudah muak dengan lovey-dovey ini, tapi ketika kalian bertemu pasangan yang tepat, pasti kalian akan berusaha untuk memperlakukannya dengan baik, kan? Aku dan Dikara berusaha melakukan itu, sama-sama belajar cara memperlakukan pasangan kami sebaik-baiknya.
Aku untuk Dikara, dan Dikara untuk aku.
Ponselku yang tergeletak di atas karpet mengeluarkan bunyi nyaring. Masih berada di jangkauan tanganku. Aku meraihnya, kemudian melihat layarnya menyala dan menampilkan sebuah nama. Aku, serta Dikara berpandangan. Bukan nama yang asing.
"Iya, Din?" tanyaku langsung, begitu menempelkan ponsel ke dekat telinga.
"Lo lagi sama Dikara, kan?" tanyanya ketus. "Fine banget, Cer. Lo jadian, dan lo nggak cerita apa pun ke gue. Ya, masa si Julia yang malah kasih tahu kita."
"Kita?" Alisku terangkat. "Lo di mana? Kok, berisik banget?"
Adinda berbicara dengan seseorang di seberang sana. Aku seperti mengenal suaranya. "Lo tahu hotel deket tempat kerja Dikara sama Ed, kan? Temen-temen di sini semua. Kita di rooftop-nya. Lo mending dateng sama Dikara kalau nggak mau diamuk masa."