DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #19

Sembilan: Unfinished Bussiness (2)

**

Aku membeku begitu sampai di rooftop hotel itu. Pesta yang dijanjikan oleh Adinda dan Ed benar-benar gila. Aku tidak paham dengan dunia seperti ini. Ada Ed yang bertugas sebagai DJ di atas panggung, dia tampak bersemangat. Wah, laki-laki itu sudah kehilangan setengah sarafnya. Lalu, aku melihat Adinda, Linda, Julia, dan Maura duduk bersama di sebuah sofa panjang. Mereka tampak berbincang, sampai akhirnya melihat ke arahku.

"Sudah official lo sama Dikara?!" teriak Linda. Mantap, suaranya membuat semua orang di sini melihat ke arahku. Dia nyengir kuda, lalu menambahkan, "Sini, Cer!"

Aku melepas genggaman tanganku dari Dikara, lalu menghampiri mereka. Sementara itu, Dikara pergi menghampiri Ed ke panggung. Biarkan saja, laki-laki selalu punya cara untuk bersenang-senang. Aku mengambil posisi duduk di sebelah Julia.

"Tega lo nggak kasih tahu kita, Cer!" protes Linda, sambil memukul bahuku keras.

Julia tersenyum lebar. "Nggak mau traktir gue makan, Cer? Gue punya peran penting dalam peresmian hubungan kalian, lho."

"Maunya lo, Jul!" Maura memberikan tatapan kesal, namun dia justru mengangkat tangan seolah-olah sedang memesan sesuatu. Lalu, "Gue juga mau ditraktir, Cer."

"Kan, sama aja suka gratisan," cibir Julia, sambil meleletkan lidah ke Maura.

Aku tertawa kecil dan mengangguk. "Kafe gue, deh. Bebas kalian mau pesen apa aja. Atau, kalian mau mie ayam Pak Teja?"

"Kafe lo!" jawab Adinda, semangat.

"Kita nggak mau merusak kenangan lo sama mie ayam Pak Teja, jadi mending kafe lo aja," jelas Linda. Dia memberiku senyuman genit, lalu melanjutkan, "Biar kenangan yang ada di mie ayam Pak Teja cuma tentang lo sama Dikara."

Aku malu-malu. Mereka ini pintar sekali menggoda orang, ya? Lalu, mataku menatap ke lain arah. Beberapa langkah dari sofa kami, ada sekelompok laki-laki tengah mengobrol. Namun, ada satu laki-laki yang sejak tadi melihatku tanpa berkedip. Sepertinya, dia mau aku bergabung dengannya. Bukan, dia bukan Kak Brian.

"Cerelia!" Kak Bobby melambaikan tangannya kepadaku. "Gabung sini!"

Aku menarik seulas senyum, lalu menatap ke arah teman-temanku. Aku berkata, "Gue kayaknya harus ke sana, deh."

"Nggak apa-apa ketemu Kak Brian, kan?" tanya Adinda, sambil berbisik.

"Santai aja," jawabku. "Kak Brian bukan tipe orang kayak gitu. Gue sama dia aman-aman aja, walaupun gue sempet canggung karena sudah nolak balikan sama dia."

"Kak Brian ngajak lo balikan?" tanya Maura. Dia tampak penasaran. Lalu, "Wah, niat banget. Dia juga sering tanya-tanya soal lo pas lo masih di New York. Oh, ternyata dia gagal move on."

"Jaga omongan lo, Ra. Bukan gagal move on, tapi belum. Nanti ada waktunya," sahut Julia. Dia melirik ke arahku, lalu melanjutkan, "Lo mending ngobrol sama Kak Brian, deh. Nggak mau ikut campur, tapi kayaknya ada yang belum beres."

"Satu suara sama Julia!" ucap Linda, sambil senyum.

Adinda memberikan senyum manisnya. "Sudah sana!"

Julia menganggukan kepala dan tersenyum lebar. "Nanti kita bilang ke Dikara biar dia nggak panik pacarnya dipinjem orang."

"Nggak usah ngomong aneh-aneh, Jul," balasku, sambil memukul bahunya pelan.

Aku mengangkat tubuhku dari sofa dan menghampiri sekelompok lelaki itu. Mereka rupanya sudah memberikan tempat duduk untukku. Aah, aku jadi merasa istimewa. Aku duduk di tengah antara Kak Rakai dan Kak Andrian. Mereka menyalamiku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Tidak apa-apa, anggap saja ulang tahunku dipercepat.

"Selamat ulang tahun, ya, Cerelia," ucap Kak Brian. Dia menyodorkan sebuah kotak kecil, lalu, "Buka aja. Gue harap lo suka."

Aku menatap keenam laki-laki yang ada di sini, lalu membuka kotaknya perlahan-lahan. Aku melebarkan senyum saat melihat sebuah kalung dengan liontin bulan sabit warna emas. Kalung ini bagus, sesuai dengan seleraku. Dan, liontinnya tidak terlalu besar. Benar-benar style-ku.

"Gue denger, lo jadian sama Dikara," ucap Kak Bobby, segera menembakku dengan pertanyaannya.

Aku mengangguk, sambil melirik sekilas ke arah lelaki yang dimaksud—Dikara, yang tengah duduk mengobrol bersama Ed.

"Gitu, deh," jawabku, pelan. Aku memasukan kalung tersebut ke dalam tas tangan yang kubawa. Untung, muat bersama kotaknya.

"Selamat, Cer," ucap Kak Rakai, sambil memberiku senyuman mautnya. "Gue turut seneng lo bisa menemukan laki-laki yang tepat buat lo."

"Awalnya gue kaget, tapi pas gue lihat lo dateng bareng Dikara, gue bisa lihat kalau dia akan memperlakukan lo dengan baik," ucap Kak Andrian dan menepuk bahuku pelan. "Stay sama dia, Cer. Susah dapetin orang kayak Dikara."

"Gue lihat, Dikara memang bakal jadi yang terbaik buat lo." Kak Sa'id memandang Dikara yang kini berjalan ke meja kami. Lalu, "Dia nggak bisa lepas dari lo, buktinya dia jalan ke sini."

Kak Reo diam saja. Dia hanya meneguk segelas alkohol di tangannya.

Tak lama, Dikara sampai di meja kami. Dia memberikan senyum ke semua orang, tapi senyuman untuk Kak Reo berbeda. Sama seperti Dikara, aku mencoba untuk mengendalikan diri supaya tidak terlalu kentara. Yah, sekarang aku bisa mengendalikannya. Sedikit. Aku mengendalikan diriku untuk melihatnya dengan tatapan baik-baik saja. Aku tidak membenci wajahnya lagi, walaupun kehadiran dia di dekatku masih membuatku merasa tidak aman.

"Nggak minum?" tanya Dikara, sambil mengusap rambutku.

Aku mengangguk. "Jus jeruk aja."

Lihat selengkapnya