DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #20

Sembilan: Unfinished Bussiness (3)

** 

Rekor baru dalam perjalanan hidupku. Bukan rekor yang harus dirayakan, namun rekor buruk karena aku kembali ke apartemen saat jam di pergelangan tanganku menunjukan pukul empat pagi. Luar biasa, kan? Sebentar lagi subuh.

Aku melepas sepatu hak tinggi yang mulai menyakiti kaki, lalu melemparnya begitu saja ke sudut kamar. Tanpa basa-basi lagi, aku membaringkan diriku di atas kasur. Aah, aku lelah. Aku sudah menolak saat Ed memintaku naik ke atas panggung, tapi dia terus memaksa hingga aku tidak bisa menolaknya lagi. Aku harus menunjukan kemampuan menariku yang payah itu.

Sungguh, aku akan membunuh Ed saat kami bertemu lagi.

Jarum jam di kamar terus bergerak. Lampunya masih mati, jadi suasana kamarku saat ini gelap gulita. Aku tidak akan terkejut kalau nanti aku tersandung sesuatu, lalu terjatuh. Malas sekali untuk sekadar menyalakan lampu. Astaga, Cerelia! Rasa malasku kambuh lagi. Memang, melihat tingkahku, mungkin tidak ada orang yang akan percaya bahwa aku berhasil mendapatkan beasiswa S2 ke New York. Kover luarku tidak menunjukan kehebatan otakku di dalam sana.

Ponselku berdering nyaring. Aku mengerang sebelum meraih ponsel itu dan membaca nama yang muncul di layar. Dering ponsel ini membuat senyumanku mengembang. Kenapa dia meneleponku, padahal tadi baru saja mengantarku pulang? Baru sepuluh menit lalu, kami berpisah setelah berpelukan hangat. Dikara memberiku hadiah. Bukan sebuah barang, tapi kecupan manis di keningku.

"Rindu?" Aku tertawa kecil, setelah menerima panggilan tersebut.

"Ada yang ketinggalan, nih," ucapnya.

"Apa?" tanyaku, lalu bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan ke tombol lampu dan tak lama, lampu kamarku menyala. "Kamu sudah sampai rumah?"

"Baru setengah jalan, terus putar balik," jelasnya. Dia mendesah. "Ada kecelakan di depan sana, jadi macet. Aku mau balik ke apartemenmu, ya. Paling lama tiga puluh menit, deh. Tungguin."

"Apa yang ketinggalan, sih?" tanyaku lagi. Aku melepas jam tangan di pergelangan tangan, lalu meletakannya di atas meja rias. "Besok aja. Penting banget?"

"Cer, flashdisk buat meeting besok ketinggalan di apartemen kamu," ucapnya, sedikit gusar. "Tadi aku minta tolong ke kamu buat bantuin aku nyusun kata-katanya, kan? Nah, aku lupa kalau ternyata aku taruh di sofa hijau deket balkon. Coba cari dulu."

"Astaga!" Aku menepuk jidat. "Iya. Kamu hati-hati, ya."

Dikara tertawa kecil. "Pasti."

"Aku cari dulu flasdisk-nya," kataku, lalu menutup sambungan telepon.

Aku mendesah panjang, lalu keluar kamar. Aku berjalan menuju sofa hijau yang berada di dekat balkon. Benar, Dikara masih ingat. Flashdisk itu ada di sana. Dikara frustasi sekali tadi, sebelum aku membantunya. Sia-sia saja usahaku menyusun kata-kata, kalau benda ini hilang.

Langit di luar sana mulai memudarkan gelap, semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk. Jujur, aku punya firasat buruk sejak tadi. Dadaku tidak tenang. Aku mengelus dadaku sendiri, dan mencoba untuk menenangkan diri. Ayolah, Cer! Semuanya baik-baik saja...

Aku meletakan flashdisk itu di atas meja ruang tamu, kemudian kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Bajuku berkeringat sekali. Aku memakai kaus hitam longgar dan celana pendek di atas lutut. Baju untuk tidur memang harus nyaman, kan? Aku suka gaya ini. Aku punya banyak kaus hitam longgar yang membuat tubuh mungilku tenggelam.

Suara bel membuat keningku berkerut. Apa itu Dikara? Cepat sekali dia keluar dari macet. Aku berada di kamar mandi sekarang, baru saja mencuci muka. Lalu, dengan langkah cepat, aku segera membuka pintu apartemen tanpa melihat melalui interkom.

Sialan!

Badanku melemas saat melihat orang yang berdiri di hadapanku. Dia tersenyum sendu dengan rambutnya yang berantakan, juga aroma alkohol, dan wajah pucat itu.

"Hai, Cer," kata dia. Suaranya serak.

Aku sempat termenung, sampai akhirnya, "Hai."

"Boleh masuk?"

Dengan wajah pucat itu, dia membuatku sedikit bersimpati. Auranya berbeda sekali, tidak seperti biasa. Ada apa? Kenapa? Bagaimana... dia bisa sampai di sini? Ini sudah hampir subuh, dan dia masih berkelana dengan aroma alkohol itu.

Aku mengangguk lemah. "Hm. Masuk."

Aku menggeser tubuhku supaya dia bisa melangkah masuk. Aku juga tidak tahu apa yang kulakukan, tapi dadaku berdebar hebat. Kedua tanganku juga gemetar. Aku menatapnya yang tampak kacau. Dia memakai jaket kulit, sneaker, kaus lengan pendek, dan jeans yang semuanya berwarna hitam. Dia itu terobsesi sekali dengan warna hitam, ya?

Dia jelas tidak baik-baik saja.

Isi kepalaku mengais sisa-sisa kesadaranku, tentang nasib buruk yang dialaminya.

Orang tuanya bercerai.

"Kenapa Kak Reo ke sini...?" tanyaku, hati-hati.

Aku masih berdiri, sementara dia sudah duduk di sofa ruang tamu. Matanya menatap flashdisk di atas meja dengan tak acuh. Dia juga tidak menghiraukan pertanyaanku. Seperti ada banyak mendung berlarian di atas kepalanya. Auranya abu-abu.

Setelah beberapa saat, Kak Reo baru menatapku dan tersenyum. "Gue mau cerita."

Aku membulatkan mata. Sedikit terkejut mendengar jawabannya.

"Mau jadi pendengar?" tambahnya, lalu tersenyum getir.

Senyuman di wajahnya itu berbeda dari senyuman dia yang biasanya. Dia tidak punya niat menggodaku saat ini. Suaranya juga serak dan apartemenku seketika dipenuhi dengan bau alkohol. Matanya memerah, entah karena dia mabuk atau dia baru menangis.

"Duduk," pintanya. "Gue benar-benar mau cerita."

Aku membasahi bibir. Perasaanku ragu-ragu. Namun, aku melangkah mendekatinya juga. Aah, aku memang bodoh. Aku tidak bisa melihatnya terluka seperti ini.

Dia menyandarkan punggungnya, sesaat setelah aku mendudukan diriku di sofa. Aku memberi jarak di antara kami. Sekitar 40 sentimeter. Bau alkohol menguar dari tubuhnya, membuatku sedikit pusing.

"Ada apa, Kak?" tanyaku lembut. Aku masih punya hati kawan-kawan.

Dia menarik senyum. Fake smile, kata orang-orang. Lalu, dia berkata lirih, "Gue hancur, Cer. Gue nggak tahu apa gue masih bisa percaya sama Tuhan, tapi kenapa masalah gue datang bertubi-tubi, sih? Orang tua gue punya masalah sejak lama dan mereka mau cerai bulan depan, Cer."

Nah, sudah kuduga, masalah perceraian.

Tadi aku sempat menguliknya lebih jauh dari Kak Brian. Tentu, anak mana yang tidak hancur melihat orang tuanya akan berpisah? Anak selalu berharap memiliki keluarga yang utuh, kan? Keluarga adalah tempat ternyaman dan teraman bagi anak, tapi kalau orang tua berpisah, maka di mana lagi seorang anak bisa menyebutnya 'rumah'?

Kak Reo mengusap wajahnya. Dia benar-benar terlihat kacau. Lalu, dia melanjutkan, "Gue... nggak pernah bisa dapetin apa yang gue mau. Kuliah, kerjaan, itu bukan kemauan gue. Ayah yang nyuruh gue masuk Arsitektur, tapi passion gue bukan di situ, Cer. Gue coba untuk memberontak, tapi Ayah justru menamai gue sebagai problem child. Gue—"

Dia tidak bisa melanjutkan ucapannya, jadi kurasa ini waktuku untuk bicara.

Aku menatap manik matanya. Dalam. "Lo punya temen-temen lo, kan? Mereka bisa jadi tempat untuk berkeluh-kesah. Lo bisa minta bantuan mereka, Kak. Lo nggak sendirian. Lo... punya banyak orang yang mengasihi lo."

Kak Reo menggeleng. "Mereka nggak bisa bantuin gue. Ini urusan gue sama Ayah, dan mereka nggak akan bisa melawan Ayah untuk memberi gue kebebasan. Hidup gue terlalu banyak diatur, rasanya asing di rumah sendiri. Dan, akan lebih asing lagi, setelah orang tua gue cerai. Gue mau pulang ke mana? Nggak ada 'rumah' buat gue..."

"Ada, Kak." Aku menarik senyum. "Pasti ada."

Lihat selengkapnya