DIKARA & STARLIGHT

NANA.
Chapter #21

Sepuluh: NXT2U

**

Meskipun banyak cinta yang tak berakhir semestinya, tapi ada cinta yang bijaksana, mampu bangkit setelah luka lara.

**

Pantulan wajahku di cermin sudah lebih baik sekarang. Waktu terus bergerak, hari demi hari berhasil kulewati. Ada malam-malam di mana mimpi buruk itu menyerang tanpa ampun. Ada juga senja yang kubenci dan kumarahi sebagai pelampiasan. Namun, dengan dia di sisiku, aku baik-baik saja.

"Lama banget sikat giginya," ucap Dikara, sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan keras. "Aku sudah bungkus makanannya ke dalam rantangnya Mama, nih."

Aku tersenyum tipis mengingat insiden rantang kemarin. Dia rela meminjam wadah makanan itu ke mama, karena aku tidak punya. Bagaimana bisa aku tidak punya? Padahal, benda itu—katanya—berharga sekali bagi perempuan. Jadi teringat dengan ibu, yang pernah memarahi ayah karena tanpa sengaja menjatuhkan wadah makanan itu sampai retak. Hari itu, badai hujan menerjang kepala ibu, sedangkan ayah hanya bisa diam. Untung ada garansinya, jadi kepala ayah tidak dipaksa botak. Kapan-kapan, aku mungkin harus membeli beberapa kotak untuk wadah camilan di rumah. Aku dan Dikara suka ngemil sambil maraton film lama—film keluaran 90'an.

"Tunggu, ya! Kamu beresin meja makannya dulu," ucapku dengan suara yang kurang jelas karena tengah menyikat gigi. Lalu, aku menambahkan, "Kamu berantakan banget tadi pas sarapan. Ada bekas kecap itu di ujung meja. Coba kamu cek dulu, terus dielap, ya!"

"Hm." Dia pasti sedang cemberut sekarang. "Kamu cepetan!"

"Iya, Sayang!"

Selesai menyikat gigi, aku kembali menatap pantulan wajahku di cermin. Lalu, aku mencuci wajah dan mengusapnya dengan handuk yang lembut, kemudian melirik kalender yang memang sengaja kupasang di dalam kamar mandi. Aku tahu, aku aneh. Namun, kamar mandi adalah tempat terbaik bagiku. Di dalam sini, entah mengapa, ada segala macam pikiran melayang di atas kepala. Aku memasang kalender karena aku mengingat banyak hal setelah mencuci muka di dalam kamar mandi.

Semesta mulai berpihak padaku. Malam itu, saat kupikir bahwa skenario terburuk menabrak hidupku, ada Dikara yang datang. Semesta menjagaku selama dua bulan ini. Oh, kalender menunjukan tanggal 22 di bulan April. Aku menarik senyum tipis dan mengusap cincin yang melingkar dengan gagah di jari manisku.

Wah, waktu berlalu cepat sekali. Sekali lagi, aku menatap pantulan wajahku di cermin dan merasa ingin menangis. Aku sudah bekerja keras untuk bisa lepas dari trauma itu. Aku juga berharap bahwa Kak Reo bisa tenang di atas sana.

Aku sudah memaafkanmu.

Setelah hari pemakaman Kak Reo, aku mengalami depresi yang membuat banyak orang khawatir. Merasa semua adalah salahku, sampai lelaki itu nekat melakukan bunuh diri. Dugaan awalnya adalah kecelakaan tunggal, tapi setelah diidentifikasi oleh pihak berwenang, Kak Reo rupanya sengaja menabrakan mobilnya ke pembatas jalan. Ada rekaman CCTV, juga sebuah rekaman 'wasiat' yang berisi kata-kata permintaan maaf, terutama untukku. Kak Reo cukup cerdas. Sebelum menabrakan diri, dia merekam suaranya di ponsel, kemudian dia menjatuhkan ponsel itu 10 meter dari TKP. Asumsiku, dia sengaja melakukan itu supaya 'wasiat' terakhirnya bisa ditemukan dan didengar oleh orang-orang yang bersangkutan.

Dia tidak bisa menanggung konsekuensi atas perbuatannya, lalu dia menahan depresi itu sendirian. Dari rekaman suara itu, dia mendoakanku untuk hidup bahagia bersama Dikara. Doanya terkabul, aku... akhirnya hidup bahagia. Kuyakin, dia bisa melihatku dari atas sana.

"Sayang?" Suara Dikara tampak panik. "Is everything okay?"

Aku tertawa kecil. "I'm fine, Dik."

Aku membuka pintu kamar mandi perlahan, dan wajah khawatir Dikara membuatku langsung tertawa renyah. Laki-laki ini yang bilang akan membuatku menjadi perempuan paling bahagia. Laki-laki ini yang membuatku tidak takut lagi dan sembuh dari traumaku setelah dua bulan menjalani terapi dan perawatan dari psikiater. Awalnya memang sulit, aku harus kembali menelan pil-pil obat, tapi dengan dia terasa sangat mudah untuk dijalani.

Kejadian malam itu menusuk jantungku terlalu keras, sampai aku mengalami trauma. Kukira, semuanya akan baik-baik saja tapi keadaan memburuk dari hari ke hari. Dan, Dikara ada di sisiku. Dia yang membawaku ke psikiater dan mengikuti berbagai macam pertemuan untuk mengobati trauma.

Terima kasih pada semesta yang memihakku kali ini.

"Aku khawatir," ucapnya, sambil mengusap kedua pipiku. "Aku pikir, kamu muntah-muntah lagi karena stres. Kamu sudah nggak kepikiran sama kejadian itu lagi, kan?"

Aku mengangguk. "Don't worry."

Lihat selengkapnya