**
Di Bandung, kau bisa temukan semua; yang cintanya sunyi, sampai berhasil saling memiliki.
**
"Ini nggak apa-apa minta mereka ngumpulin kayu bakar buat api unggun?" tanyaku, sembari menolehkan kepala ke arah Dikara yang sibuk memainkan jari-jari tanganku. "Kita malah duduk santai di sini liat sunset. Dinda sama Ed pasti protes kalau tahu, Dik," jelasku, kemudian tertawa kecil.
Dikara ikut tertawa. "Mereka sudah tahu, kok. Katanya, nggak apa-apa soalnya kita lagi honeymoon."
"Siapa bilang kita lagi honeymoon, hm?" tanyaku, menggodanya. Aku menatap manik matanya dan dia juga menatapku. Lalu, tangannya mengacak rambutku gemas. "Aah, Dik!"
"Be a good girl," ucapnya, kemudian merapikan helai-helai rambutku. Dia tersenyum manis. "Kapan aku jatuh cinta sama kamu, ya? Nggak inget, tapi rasanya masih sama. Aku aja yang bodoh dan nggak bisa lepas dari kamu, atau kamu pakai pelet, ya? Ngaku! Jantung aku sampai sekarang masih berdebar buat kamu. Ini aneh, Cer."
Aku mengangkat sebelah alis. Lalu, "Memangnya kamu mau jantungmu berdebar buat siapa?"
Dia melebarkan mata dan menggeleng mantap. "Nggak buat siapa-siapa! Kamu sudah cukup. Nggak mau yang lain lagi."
Aku memutar bola mataku. "Geli, mau tenggelam di rawa-rawa aja."
Dikara terkekeh dan mengecup keningku singkat. "Ini aku tulus, lho."
"Tulus lagi nyanyi, nggak ada di sini."
"Jangan tenggelam di rawa-rawa, ya."
Aku mengulum bibir untuk menahan tawa. Lalu, aku menyandarkan kepala di bahu Dikara yang bidang. Kami berdua menatap lurus ke depan, menikmati warna-warna cantik dari matahati terbenam hari ini. Perpaduan warna oranye dan merah mudanya sangat kental. Aku suka sekali.
"Mau ngomongin masa lalu, hm?" tanya dia, tiba-tiba. Dikara melirikku dengan ekor mata, lalu dia tersenyum tipis.