“Daripada lu ngejar laki orang, mendingan lu jalan sama berondong aja, La,” celetuk Janu yang duduk berseberangan dengan Lala di sebuah kedai kopi asal negeri Paman Sam.
Iris cokelat Lala mulai berapi-api, sumpah, ia ingin sekali mencekik Janu erat-erat hingga oksigen tak bisa lagi melewati tenggorokannya. Lala memang tergila-gila pada David Irawan, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. David adalah pria dengan kriteria sempurna. Ia berpenampilan menarik dan memiliki kehidupan paripurna layaknya sebuah paket komplit. Sayangnya, pria itu sudah beristri dan memiliki seorang anak perempuan berusia empat tahun.
Lala memutar-mutar gelas berisi macchiato yang hampir habis. Selama bertetangga sekaligus menjadi teman baik Janu, Janu memang kerap menggoda Lala dengan pernyataan dan pertanyaan yang bisa membuat emosi Lala melonjak drastis. Anehnya, Janu selalu bisa meredam emosi Lala saat emosi gadis itu meledak-ledak dengan candaan khasnya yang super garing.
“Sialan lu, Jan! Dave makes me crazy. Ya, gue ngaku. Tapi, gue masih mikir dua kali buat jadi BBM-nya,” tutur Lala sebelum meneguk tetesan terakhir macchiatonya.
“BBM apaan, tuh, La?” tanya Janu heran. Kuriositasnya mulai terbangun dengan tiga huruf yang disebutkan Lala barusan.
Lala mengulum senyum, mengibaskan rambut cokelat panjangnya ke belakang pundak, lalu membalas, “Bakal Bini Muda.”
“Gilaaaa! BAKAL BINI MUDA!!!” Ucapan Janu dengan nada tinggi sontak membuat pengunjung kedai kopi itu menoleh pada mereka.
Pipi Lala memerah seperti tomat. Ia segera menunduk dan berdecak kesal. “Mulut lu kalau ngomong dikondisikan, dong. Nanti orang-orang pikir kita beneran kandidat BBM.”
“Sori, La. Gue kelepasan ngomong,” jawab Janu. Nada bicara gadis bertubuh gempal itu terdengar memelas.
Lala kembali melengkungkan bibirnya membentuk senyuman. “Cieee, lu sedih? Udah, ah, jangan dipikirin lagi. Biarin aja mereka menduga-duga.”
“Sialan lu!” Janu melempar Lala dengan selehai tisu yang sudah ia remas-remas membentuk bola. Sesaat kemudian kedua sahabat itu kembali meramaikan kedai kopi dengan tawa mereka yang menggelegar.
♫So look me in the eyes. Tell me what you see ....♫
Alunan tembang merdu dari Imagine Dragon menginterupsi obrolan mereka. Lala merogoh saku blazernya. Ia melirik ke layar ponselnya, lalu segera menggeser tombol terima.
“Iya, Pak.” Lala diam mendengarkan suara si penelepon beberapa saat, lalu berucap, “I’ll be there in fifteen minutes, Sir.”
Janu mengangkat dagunya seraya bertanya, “Ada apa, La?”
“David minta gue balik ke kantor secepatnya, Jan. Lo masih mau di sini atau bareng gue?” Lala berdiri, lalu merapihkan blazer dan roknya.
“Mm, gue di sini dulu, deh. Jam istirahat gue masih lama. Lagian, gue nunggu Edo.”
“Oke, gue duluan, ya.”
Lala mengayunkan langkahnya ke pelataran parkir. Tergesa-gesa, ia mengemudikan mobilnya ke luar dari tempat parkir tersebut. Ia berusaha dengan cepat mencapai jalan utama. Namun, ia tak menyadari jika ia melajukan mobilnya di jalur khusus kendaraan roda dua. Tabrakan kecil dengan kendaraan roda dua bermodel sport dan bermesin empat silinder pun tak terelakan. Bagian depan motor tersebut membentur pintu mobil Lala cukup kencang hingga sedikit penyok. Beruntung, si pengendara masih bisa menahan motor besarnya untuk tetap berdiri. Lalu, membawa motor sport hitamnya ke samping pos satpam dan sambil berkacak pinggang, ia mengamati bagian depan motornya yang mengalami kerusakan