Wah, sial! So, dia adiknya David. Mampus gue kalau begini, umpat Lala dalam hati.
“Kamu ke sini sendirian, Sen?” selidik David.
Pria rese bermata cokelat kekuningan yang dipanggil Arsenio itu membuka suara. “Sama dia, Mas.”
Jantung Lala kembali berdenyut kencang. Gerakan tubuhnya tertahan oleh rasa cemas yang tiba-tiba merayap ke punggung dan kepalanya. Jika pria itu memberitahu David apa yang sudah terjadi di pelataran parkir tadi, David pasti akan memecatnya. Secara, peristiwa tadi adalah murni kesalahannya, pikir Lala.
“Iya, kan, Mbak?” Tepukan pelan Arsenio di belakang pundak Lala membuyarkan lamunannya.
Lala kembali melebarkan matanya. Dengan gerakan super lambat, Lala memutar posisi berdirinya sembilan puluh derajat menghadap ke arah kakak beradik Irawan yang sedang reunian. Ia hanya bisa melengkungkan bibirnya membentuk senyuman kaku untuk menjawab pertanyaan Arsenio.
David mengerutkan dahi dan mulai menginterogasi Arsenio. “Kamu kenal sama Sheila?”
Arsenio mengedikkan bahu, alisnya terangkat, dan kedua ujung bibirnya ia turunkan. Lala yang melihat gejala-gejala Arsenio bakal menceritakan kejadian konyol tadi, memandang pria itu dengan tatapan memelas. Lebih tepatnya tatapan memohon dan minta dikasihani.
“Ya, kenal, dong, Mas. Masa nggak kenal minta numpang gitu aja. Kebetulan tadi, waktu jalan, ban motor Arsen kempis. So, Arsen tinggalin di bengkel. Pas Arsen lagi nunggu taksi, bagai pucuk dicinta ulam tiba, Mbak Sil, eh, Mbak Shel ini muncul. Awalnya, sih, nggak ngeh juga waktu ada hatcback sejuta umat berhenti di depan Arsen. Eh, nggak tahunya Mbak Sisil,” ucap Arsenio sambil sesekali melirik Lala.
“Mbak Sisil?” David kembali mengerutkan dahi.
“Panggilan akrab Arsen sama Mbak Shei-La,” tandas Arsen.
Lala hanya tertegun mendengarkan ucapan Arsenio. Lancar amat, nih, bocah menggelontorkan kata-kata penuh dustanya, pikirnya. Lala hanya bisa nyengir mendengarnya.
“Kenal di mana kamu sama Sheila?” David terus melemparkan pertanyaan.
Arsenio berjalan beberapa langkah ke samping meja kerja David, lalu menempatkan bokong seksinya di atas sofa empuk berwarna pastel untuk menerima tamu dan klien David.
“Arsen temen adeknya Mbak Sheila waktu SMA, Mas. Ah, Mas Dave mana tahu, sih.”
Mata secokelat kopi David menyipit. Kemudian, ia melayangkan pandangannya pada Lala dan bertanya dengan tingkat keheranan yang cukup tinggi. “Bukannya kamu anak bungsu, ya, La?”
Dada Lala bagai dihantam palu Thor, sesak dan hampir meledak, mendengar pertanyaan David. Ia memutar otak dengan cepat untuk mencari alasan.
“Iya. Saya bungsu, Pak. Adiknya Bapak itu teman adik sepupu saya, Denis,” jawab Lala berbohong.
“Mas Dave nanya melulu, ih. Udah kayak polisi aja. Ada adeknya datang bukannya dikasih minum atau apa, kek, ini malah diinterogasi,” pangkas Arsenio.
David mengulum senyum. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu sebulan terakhir ini, Lala melihat senyuman di wajah bosnya itu. Biasanya, David terus menekuk wajah dan memasang air muka sok horor.
David kece banget kalau lagi senyum simpul begitu. Gemes banget gue, kagum Lala di hati.
“La,” panggil David, “Ambilin coke sama air mineral, ya.”
“Oke, siap, Pak.”
Lala meninggalkan ruangan David. Hatinya merasa lega karena sudah melewati “tes berbohong” bersama Arsenio. Meskipun hatinya masih dongkol dengan ledekkan Arsenio tentang mobilnya yang dibilang mobil sejuta umat, tapi ia berterima kasih pada pria bertampang jelmaan dewa itu karena sudah membuatnya menjadi seorang dewi penolong di hadapan David. Keuntungan lainnya, bosnya itu tidak jadi marah.
Lala turun ke pantry untuk mengambil sebotol Pepsi dan air mineral. Ia celingukan mencari nampan untuk mengantarkan pesanan bosnya.
“Cari apa, Bu La?” Diman, office boy senior, mengejutkan Lala.