Sepuluh tahun kemudian, Ratna Mewangi terbangun di tengah hutan, kala angin ribut sedang mengamuk sebelum menandakan datangnya badai celaka. Cahaya petir itu menjalar di langit dan menderu sangat kuat, serasa hari kiamat telah dekat.
Malam itu Ratna Mewangi terjaga di bawah pohon beringin besar, di dalam lubang sedalam tiga meter lebih. Ia terkurung di dalam sebuah peti mati yang terbuat dari kayu besi. Panjangnya dua meter dan lebar lima puluh sentimeter. Hanya seukuran badan orang dewasa.
Terlalu sempit dan tidak bisa leluasa untuk bergerak. Peti mati tersebut, tertutup rapat dengan banyaknya paku lima inci menancap di pinggiran. Sampai-sampai seekor cacing, lipan, ulat, semut atau binatang tanah lainnya tak dapat masuk untuk memakan jasadnya.
Peti matinya lebih kecil daripada yang dipakai orang pada umumnya. Menyerupai peti mati seorang penyihir jahat, di dalam kisah takhayul. Tapi, para setan juga tahu, itu bukanlah sekadar cerita belaka, melainkan sebuah kisah menakutkan dari negeri asing di seberang lautan.
Demikianlah si pembawa kiamat semakin ganas menikam di jantung hutan. Sang dewa petir membara menguasai langit. Para dedemit pun tak berani muncul ke permukaan. Hanya seekor burung hantu saja, berani terbang mengitari di atas makam Ratna Mewangi, sambil bersiul-siul manggil dirinya untuk segera bangkit dari dalam sana.
Bau kencingnya mulai menguar dan menelusup ke rongga hidung. Ia lalu panik melihat kondisi gelap gulita tanpa adanya setitik cahaya. Ia tak tahu dirinya entah berada di mana. Namun yang ia rasa, tubuhnya saat ini, mungkin sedang ditimbun di dalam tanah.
Ia menggeliat seperti cacing, dan menggedor-gedorkan kepalanya ke dinding peti. Tak peduli sesakit apapun itu, setidaknya ia bisa keluar dari situ. Namun sial, tangan dan kakinya diikat dan mulutnya dibungkam dengan kain.
Itu membuat dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, untuk berjuang meloloskan dirinya dari liang jahanam, yang sekarang mengepung jasadnya. Tubuhnya telentang, bagai mayat tanpa kain kafan.
Napasnya timbul tenggelam dan hidungnya mengendus-endus, mencari sedikit udara yang bisa masuk, demi menyelamatkan nyawanya. Ia berpikir bahwa ia sudah hidup kembali, dan tak ingin mati lagi sebelum ajalnya tiba.
Ia berontak sekuat tenaga, berupaya untuk secepatnya melepaskan diri dari kematian, namun itu sangat mustahil sebab ia hanyalah seorang perempuan biasa, bukan seorang pendekar sakti, sebagaimana ia bisa meloloskan dirinya dengan mudah.