Pohon tersebut bergoyang ricuh. Ia berteriak, “Keluar! Jangan menertawakan aku! Aku bukan seorang bocah kecil yang ingin kau takut-takuti. Tunjukkan saja dirimu.” Ia mengomel seolah ingin menutupi dirinya sebagai seorang pengecut, bila bersua dengan si hantu perempuan. Pohon rimbun yang berjarak lima meter di sampingnya, sekilap gaduh.
Memaksa sekelompok burung-burung siang yang sedang hinggap dan tidur lelap di situ, berhamburan keluar mencari sarang baru. Mereka (si burung-burung siang) merasa seperti ditendang keluar secara paksa. Suara si burung-burung siang itu terdengar kacau, mengisyaratkan bahwa mereka tidak senang dengan perlakuan si makhluk halus yang sempat-sempatnya, singgah di sarang mereka dan membuat keributan.
Lalu Ratna Mewangi melangkah ke pohon rimbun itu. Ia memandangi sekeliling dengan matanya yang terang. Dan seperti embusan angin sumilir, sentuhan halus itu lewat begitu kencang, dan dirinya bergeming seketika. Matanya membelalak serta mulutnya menganga. Lambat-lambat kepalanya bergerak ke belakang, mengikuti kibasan angin halus nan sepoy-sepoy itu.
Degup jantungnya menggenjot membuat tarikan napasnya kian jadi memendek. Dari jarak empat meter di belakangnya, tampak, si hantu perempuan itu telah berdiri membelakanginya. Rambutnya terurai panjang dan mengenakan pakaian kebaya. Tapi Ratna Mewangi belum menyadarinya. Ia memegang leher bagian belakangnya yang terasa mengencang. Rasanya dingin. Bulu kuduknya kembali berdiri tegap.
Kepalanya serasa membesar. Ia menengok ke belakang dengan cepat. Ternyata tidak ada apa-apa. Dan ketika ia membalikkan badan, ia kaget setengah mati dan ia langsung terpental ke tanah. Beruntung, ia dapat menahan jiwanya yang ingin segera melarikan diri. Rupa-rupanya, si hantu perempuan itu berdiri tepat di depan matanya dan tersenyum tajam, menyerupai senyum seorang badut saat memberikan sebuah permen kepada seorang bocah kecil.
Ini merupakan kali kedua pertemuan tak menyenangkan ini terjadi, atau mungkin sudah ketiga kalinya. Ia dan si hantu perempuan, saling memandang layaknya sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Mereka berdua memasang mata, disinari cahaya rembulan kelabu.
Wajah si hantu perempuan sangat pucat. Ia bermata Panda serta rambutnya tebal dan berponi rata. Poninya menggantung di atas kening, lurus, agak semrawut, dan krol-krol ciri khas rambut zaman kolonial Belanda. Kebaya yang dipakainya berbalut budaya nusantara bergambar batik bunga ornamen.
Ratna Mewangi terus memandanginya (si hantu perempuan). Ia tak ingin si hantu perempuan itu sampai luput dari pandangan matanya. Sebab, ia ingin melawan rasa takutnya pada si hantu perempuan. Ia berupaya berdiri tapi sebagian tubuhnya menolak.