Wajah-wajah mereka, si gerombolan laki-laki penguntit, timbul dan tenggelam di celah bayang para pembeli yang berkelintaran di situ. Si pedagang kain dibuat jengkel, sebab mereka menghalangi para pembeli hendak membayar barang dagangannya. Tak menunggu pasar sepi kegaduhan pun terjadi.
Gerombolan laki-laki penguntit, beradu mulut dengan si pedagang kain. Orang-orang datang berkerumun. Pasar siang berubah menjadi gelanggang layar tancap. Cantik membuang napas pendek sambil menggelengkan kepala.
“Ribut-ribut apa di sana?” tanya Bi Lastri memandangi kegaduhan itu.
“Tidak usah dipedulikan, Bi. Kita pergi saja,” timpal si Cantik jenuh.
Bi Lastri mengangguk mengiyakan. “Kita belanja sayur.”
“Iya Bi.”
Mereka berdua segera meninggalkan kegaduhan tersebut dan berkeliling mencari sayuran segar. Setelah cukup lama berputar-putar mencari sayur-mayur, Cantik dan Bi Lastri berlabuh pada seorang perempuan tua sedang menjajakan sayuran segar dan baru dipanen dari kebun.
Di sebelah perempuan tua itu, ada seorang lelaki tua lagi seumuran dengan si perempuan tua. Mereka sementara sibuk menaruh beragam jenis sayuran hasil perkebunan. Bi Lastri memilih sayuran apa yang akan dia beli. Di situ tersedia: sayur buncis, wortel, kacang panjang, dan sayuran lainnya. Bi Lastri lalu membeli dua ikat sayur buncis dan seikat kacang panjang.
“Ini uangnya, bu.” Bi Lastri membayarnya dengan uang delapan sen.
“Terima kasih,” ucap perempuan tua dan lelaki tua itu.
Bi Lastri dan Cantik menyungging senyum sebelum beranjak dari dagangan mereka. Dan sewaktu Cantik dan Bi Lastri melintas di tempat penyembelihan daging, seekor ayam kampung berwarna hitam, melintas dengan cepat di depan mereka berdua.
Cantik dan Bi Lastri terkinjat. Si ayam kampung tengah dikejar seorang laki-laki paruh baya, dan ia berlepotan membawa kejengkelannya teramat parah. “Dasar ayam kampung sialan, jangan kabur, kucincang kau!” Ia meneriaki si ayam kampung yang lari.