DIKEJAR DOSA

Donny Sixx
Chapter #11

Tiga orang berpakaian hitam

Penglihatan berikutnya, beralih ke sebuah rumah klasik besar dan sederhana. Waktu itu, di malam hari yang sangat dingin dan berkabut tipis, Bapak dan Ibunya Cantik berbincang-bincang di teras depan rumah. Ia diam-diam menguping pembicaraan mereka di balik tirai jendela dekat pintu masuk.

“Pak, apa tidak bahaya kita terus-terusan melakukan bisnis jual beli tanah dengan pemerintah Belanda? Aku takut, nanti para warga curiga kalau kita bersekongkol dengan mereka,” kata Ibunya Cantik sedikit khawatir. Ia tampak berpakaian kebaya serta menampakkan wajahnya yang anggun.

“Tenang saja, Bu, Bapak sudah mengaturnya. Itu hanya sebatas pengalihan saja, supaya Belanda tidak terlalu curiga pada kita,” balas Bapaknya Cantik yang memiliki perawakan meyakinkan, sembari ia menyeruput secangkir kopi. Bapak dan Ibunya Cantik, duduk terpisah di antara meja kecil bertaplak putih dengan hiasan bunga melati.

“Pak,” serunya pelan tampak masih ragu.

“Apa lagi, Bu?”

“Apa yang Bapak katakan itu, bisa aku percaya?” 

“Bu, percaya sama Bapak. Buat apa Bapak menempatkan diri dalam bahaya, kalau tidak lain hanya untuk menutupi, kalau Bapak ini bagian dari para pemimpin pemberontak. Jika Bapak tidak melakukan ini, mungkin keluarga kita sudah lama dibantai habis oleh mereka.”

Ibunya Cantik menunduk sebentar lalu ia diam sejenak. Bapaknya Cantik melanjutkan, “Kamu masih ingat ‘kan, apa kata Bapakmu sebelum beliau meninggal?” Ibunya Cantik menganggukkan kepala. “Dia ingin sekali menendang para penjajah itu keluar dari bangsa kita. Bapakmu juga yang menjadikanku seorang pemberontak. Kalau bukan keinginan Bapakmu, kita pasti sudah menetap di Batavia sekarang dan Bapak sudah menjadi seorang guru di sana.”

Ibunya Cantik merenung sesaat kemudian ia bertanya demikian, “Pak, bagaimana bila ada mata-mata di antara para warga di sini?”

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Bapaknya Cantik meneguk sisa kopinya di gelas. “Tidak usah kamu khawatirkan. Bapak sudah menempatkan orang-orang suruhan untuk mengawasi para warga di sini yang kelihatan mencurigakan.”

Ibunya Cantik pun mengangguk mengiyakan. Namun senyuman itu mungkin belum sepenuhnya serasi dengan wajah dan perasaannya. Senyuman palsu tersebut seolah berhasil menutupi bentuk wajahnya yang asli. Dan ternyata Cantik telah menguping pembicaraan kedua orang tuanya dari balik pintu.

“Bu, besok, kamu masak yang lebih,” katanya.

“Kenapa harus masak lebih, Pak?” 

Bapaknya Cantik lalu berbisik, “Mereka akan datang kemari besok sore.”

Ibunya Cantik mengerutkan dahi. “Siapa?” 

Lihat selengkapnya