Si hantu perempuan kemudian membawa Ratna Mewangi melihat betapa kelabunya mendung di sore hari serta berawan gelap itu. Si Cantik bersama Bi Lastri terpandang, tengah menyiram bunga di halaman rumah yang ditanami berbagai macam bunga-bunga indah mengindahkan mata.
Halamannya sangat bersih. Di situ terdapat bunga berdaun lebar seperti: bunga kuping gajah yang dipercaya akan memberikan banyak rezeki, ada juga bunga kertas (Bougainvillea) berkhasiat untuk kebahagiaan, ada bunga anggrek, melambangkan kesuburan, ada bunga mawar, mendatangkan kesuksesan dan bunga melati, sebagai pengharum halaman, adapun bunga-bunga lainnya yang bisa mendatangkan keberuntungan bagi pemiliknya.
Dari seberang jalan, datanglah lima orang berpakaian eksentrik dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Mereka mendekat menghampiri Bi Lastri dan Cantik di halaman itu. Cantik dan Bi Lastri jadi bingung dengan kedatangan mereka, sebab keluarga Cantik tak mengadakan acara.
Mereka berlima di antaranya: dua perempuan dan tiga lelaki. Tampang kedua perempuan itu masih baik-baik saja, namun untuk si tiga lelaki tampang mereka seperti binatang buas. Lalu mendekatlah si perempuan yang berwajah pribumi menyambangi Cantik.
“Permisi,” ucap perempuan berwajah pribumi itu.
“Iya,” balas Cantik menatapnya canggung.
“Apa Bapak ada?” Pertanyaan itu secepatnya menimbulkan tanda tanya pada Cantik.
Ia mengerutkan dahinya.
Sebab, ia sama sekali tidak mengenal mereka. Semakin ia mencoba mengamati satu-persatu wajah mereka, matanya semakin menolak. Lantaran, mereka bukanlah sekawanan tikus yang datang bertamu tanpa diberi undangan. Melainkan mereka adalah lima orang para begundal perang anak buah Bapaknya Cantik.
“Maaf, tapi kalian ini siapa? Dan ada perlu apa kalian pada Bapak saya?” tanya Cantik memastikan.
Bi Lastri kemudian menyambung, “Iya, ada urusan apa kalian-kalian ini mencari majikan saya?”
Kalimat Bi Lastri seolah membuat kusut wajah mereka (kelima begundal perang). Perempuan berwajah pribumi lantas menoleh ke belakang, memandang keempat kawannya itu sekaligus membuang wajah kesal. Si perempuan berwajah pribumi mengembalikan pandangannya, dan mencoba menjawab santun serasa memaksanya untuk memasang senyum palsu.
“Kami datang ke sini untuk menyampaikan sesuatu yang penting pada Bapak. Apa Bapak ada di dalam?”
“Iya Bapak saya ada di dalam,” jawabnya singkat seraya menjutekkan wajahnya. Kelima begundal itu pun memaksa tersenyum. “Tapi katakan dulu siapa kalian baru kuizinkan masuk,” lanjutnya.
Wajah mereka berlima kembali mengusut. Mereka memandangi Cantik seakan ingin sekali menyumpal mulutnya hingga ia tak bisa bicara lagi. Mereka pikir Cantik hanya bermain-main saja, tak disangka ia sudah serius. Tapi seperti itulah cara berpikir anak gadis yang menginjak kedewasaan: terlalu berhati-hati, apalagi kalau hal tersebut menyangkut keluarganya.