“Cantik ….” Suaranya rawan hati serupa bulan kesiangan dengan rona senderut di wajah keriputnya.
“Kenapa, Bi?” tanya Cantik.
“Seandainya Bibi punya anak gadis, pasti sudah seumuran kamu. Sayangnya, sebelum dia melihat dunia yang kejam ini, dia sudah menyusul Bapaknya, menghadap sang Ilahi.”
Mata Cantik mulai berkaca-kaca begitu pula dengan Bi Lastri. “Pasti dia sudah besar seperti kamu, Nak,” lanjut Bi Lastri.
Bi Lastri meneteskan air mata. Dan tak tahan melihat Bi Lastri menangis, Cantik langsung memeluk Bi Lastri. “Bi, Paling tidak, biarkanlah aku merasakan kesedihan air mata Bibi yang tersisa.”
Keduanya lalu bersedih, di tengah kesedihan penuh nostalgia lama dari orang tercinta yang telah tiada. Bi Lastri kini telah melepaskan jejak-jejak air matanya yang tertahan selama lima tahun.
“Cantik tak boleh menangis,” katanya mengusap air mata.
“Bibi juga menangis.”
“Bibi tidak menangis (padahal ia menangis).”
“Bibi menangis.” Cantik telah terbawa suasana kenangan Bi Lastri yang sudah lalu.
Tak ingin terlalu larut dalam kesedihannya, Bi Lastri kemudian mengelap air mata Cantik.
“Sudah, nanti Bapak dan Ibumu lihat. Berhenti menangis. Kamu sudah besar, tak boleh cengeng,” ujar Bi Lastri.
Cantik lalu menyeka air matanya. Bi Lastri lanjut berkata, “Kamu, sudah Bibi anggap sebagai putri kandung Bibi sendiri.” Cantik mengangguk. “Bibi doakan supaya kamu diberikan umur panjang dan jodoh yang baik, taat pada agama.”
Cantik mengangguk kembali. “Terima kasih, Bi,” ucapnya mengembangkan bibir.
Seketika pandangan Bi Lastri tertuju ke langit. Ia melihat, kepulan awan gelap mulai menyebar menutupi petang hari yang kelabu.