Penglihatan si hantu perempuan, pada Ratna Mewangi lalu terhenti sementara. Tubuhnya terlempar ke tanah. Ia kejang-kejang seperti sekor ayam yang dipukul dengan sebatang kayu. Si hantu perempuan itu ternyata masih menyimpan satu lagi penglihatan terakhir, ketika ia harus menerima takdir yang kejam, bila jiwanya tidak bisa meninggalkan hutan itu sampai ia menemukan tubuh yang baru.
Penglihatan Ratna Mewangi kemudian berpindah ke suatu malam biadab yang sangat biadab. Malam di mana keluarga Cantik dihabisi para komunis Belanda. Malam itu, di bukit kecil tak jauh dari rumahnya, Cantik bersama Ibunya bersembunyi dalam gelap di belakang kayu besar. Mereka berdua bertelungkup sambil merinding ketakutan.
Cantik menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Ibunya. Dari situ, ia dan Ibunya menyaksikan pembantaian besar yang terjadi di pelataran rumahnya. Rumahnya itu tampak menyala-nyala, kala dilahap si jago merah. Bapaknya Cantik kelihatan tertunduk tak berdaya.
Ia bagai tenggelam di lubang kesengsaraan, seolah-olah ia akan segera ditendang sang malaikat maut ke dalam jurang kematian. Kepulan asap-asap hitam melayang ke atas, di antara butir-butir gerimis yang berjatuhan dari langit. Asap-asap hitam tersebut menyebar luas di langit hingga menambah kelam suasana.
Seorang serdadu Belanda lalu mendekat dan menodongkan ujung senjata laras panjangnya, di dahi sebelah kanan Bapaknya Cantik. Ujung senjata laras panjang itu terasa panas. Seperti baru saja mengeluarkan beberapa butir peluru. Dan senjata laras panjang itu tampak begitu menakutkan. Wajahnya tegang, pucat, sambil berkeringat dingin mengucur di leher.
Ia membisu. Hanya napasnya yang memburu hebat melalui lubang hidungnya. Begitulah kira-kira tubuhnya menggigil karena ketakutan. Serdadu Belanda itu tersenyum miring dengan kebanggaan yang tak bermanusiawi. Sementara mayat-mayat beberapa pemberontak tergeletak di tanah dengan bersimbah darah. Wajah Bapaknya Cantik penuh memar dan sebagiannya sudah hancur. Tak terlihat lagi seperti wajahnya sendiri.
Semua penduduk yang melihat kejadian malam itu hanya bisa meratapinya. Ketika sang jagoan telah tersungkur di tanah basah sembari dihujani gerimis lebat. Di situ juga, berdiri seorang Kyai yang paling dihormati di kampung mereka. Ia adalah Kyai Tedjo. Tapi, meskipun ada si Kyai Tedjo, tampaknya ia tidak bisa menyelamatkan nyawa Bapaknya Cantik. Sebab Kyai Tedjo bukanlah Tuhan yang bisa membinasakan manusia hanya dengan satu kibasan tanganNya.
Ia cuma manusia biasa yang sehari-harinya berceramah di rumah ibadah, dan mendoakan orang-orang supaya tidak binasa. Bapaknya Cantik, mungkin sudah tak bisa lari lagi dari jalan kematiannya. Tubuhnya sudah lemah dan tak ada kekuatan untuk menopang tubuhnya dari tanah. Merangkak pun tak bisa apalagi untuk lari, itu sudah tak mungkin terjadi. Tubuhnya mati rasa. Tinggallah kini rasa bersalah lampau yang amat disesalinya.