DIKEJAR DOSA

Donny Sixx
Chapter #17

Sang malaikat kematian

Kyai Tedjo itu bukan lagi hanya seorang pemuka agama yang sering berceramah di Masjid. Tapi sekarang, ia telah menjelma sebagai seorang ksatria yang terhormat tanpa kenal takut. Ketiga penjahat telah bersiap bertempur dengan senapan yang mereka bawa. Surti berkata kepada si pemimpin serdadu, “Habisi saja mereka tuan, kalau mereka tak mau mendengar.”

Pemimpin serdadu membalas, “Aku tidak bisa seenaknya menghabisi orang. Itu bisa menghancurkan jabatanku, jalang! Kami penjajah, tapi kami tak sembarang membunuh orang sebelum nyawa kami terancam.”

Surti terdiam. Bapaknya Cantik lalu berkata, “Kalian para kompeni dan pengkhianat ... sudah lihat ‘kan? Ini hanya sebagian, bagaimana bila kami bersatu? Kalian semua pasti habis.”

“Masih banyak mulut kau rupanya. Tuan lebih baik kita bunuh si pemberontak ini dan si tua bangka itu.”

“Apa kau buta? Coba kau lihat mata-mata mereka? Jika kutembak kepala mereka berdua sekarang, para penduduk itu, pasti akan melawan kita. Itu bukan caraku untuk berperang dengan orang yang tidak menggunakan senjata.”

Surti kembali tutup mulut. Togar menunduk, melihat para penduduk menyerupai kawanan harimau yang akan menerkam mereka. Pemimpin serdadu berkata pada Surti, “Orang yang bisa memutuskan si pemberontak dan pembantunya itu hidup atau mati, hanyalah Jenderal. Kita tunggu saja, dia tidak lama lagi tiba di sini. Aku akan mengulur waktu sampai dia datang.”

Di saat jiwa juang para penduduk sedang berkobar-kobar, mendadak, deru suara mesin kendaraan besar dan ban-ban bergigi monster, menghancurkan kerikil di jalanan berlubang dan becek. Kendaraan besar tersebut, muncul dari jalan penghujung penghujung kampung. Cahaya lampu mobil itu secepat menembus kegelapan yang disisir gerimis lebat, mengundang si burung hantu bernyanyi merdu menjelang tengah malam.

Cahaya lampu besar, seketika memancar terang melebar sampai ke ujung jalan, lalu padam, bersamaan dengan suaran mesin mobil dimatikan. Kendaraan besar itu terhitung ada empat. Tiap kendaraan mengangkut dua puluh lima orang. Jadi ada sekitaran seratus orang serdadu Belanda yang datang. Di depan empat kendaraan besar itu, sang Jenderal tertinggi mengendarai mobil Jeep yang membawa tiga seorang pengawal pribadinya.

Tampangnya biasa-biasa saja, tidak terlalu galak. Tapi ia dijuluki si dewa kematian. Sebab ia tanpa ampun memotong leher orang, bila dianggapnya sebagai “ancaman”. Dan yang paling ia benci adalah para pemberontak. Dia tidak akan tanggung-tanggung menghabisi mereka. Ia adalah Jenderal Johans Van Desseu, sang pemimpin dari ribuan hingga ratusan ribu serdadu Belanda kala itu.

Ia turun dari mobil jeep khusus miliknya dengan senyum miring khasnya. Para serdadu Belanda yang berjumlah ratusan itu, mengawalnya dari belakang. Dan sepuluh serdadu pilihan, menjaganya di samping kiri dan kanan. Ia berjalan dengan tangan di belakang menuju ke dalam pelataran rumah. Para penduduk sangat dramatis, memandang dirinya berjalan mendekat kepada mereka yang dianggapnya sebagai semut-semut kecil. 

Hentak langkah kaki dari ratusan sepatu boots perang para serdadu Belanda, sekejap membunuh semangat juang para penduduk yang tengah membara. Jenderal Johan bersama para anak buahnya, mulai memasuki pelataran rumah yang porak-poranda, akibat baku tembak antara pemberontak dan kompeni. “Jenderal kita sudah datang!” teriak si pemimpin serdadu.

Lihat selengkapnya