“Kau akan menyesali kata-katamu itu.”
“Sekalipun aku harus mati, aku tak akan menyesal, karena aku tak pernah mengkhianati bangsaku ini.” Ia lalu berkata-kata dengan suara lantang, “Kita harus bebas dari penindasan penjajah, kita harus bangkit bersatu, kita usir para penjajah, kita usir mereka keluar dari tanah air kita! Usir mereka! Usir mereka!” Bapaknya Cantik mencoba membakar semangat para penduduk yang mulai pudar, dengan darah yang menggelantung di bawah bibirnya.
Mendengar Bapaknya Cantik dengan lantang mengucapkan kata-kata tersebut, semangat juang para penduduk yang merosot, menggelegak lagi. Jenderal Johans tercengang sesaat. Jiwa ksatria para penduduk bangkit menyala-nyala, bagai api unggun di tengah badai petir yang mengamuk. Tampaknya mereka bisa memahami dengan baik, penderitaan Bapaknya Cantik yang tinggal menunggu ajalnya tiba.
Mereka lalu memaksa Jenderal Johans untuk melepaskan Bapaknya Cantik dan Bi Lastri, supaya tidak terjadi pertumpahan darah malam itu. Banyak para penduduk, sudah berkumpul di pelataran itu (hampir seluruh penduduk kampung). “Kau sudah lihat ‘kan Jenderal sialan. Kau tak akan bisa melenyapkan semangat mereka yang berkobar-kobar.” Bapaknya Cantik menyeringai pendek pada Jenderal Johans.
Jenderal Johans tersenyum miring, seraya menarik pistol yang ditancapkannya pada dahinya, dan melangkah kepada mengarah pada kerumunan penduduk yang hampir memenuhi pelataran rumah. Ia lalu berhenti di depan mereka yang terlihat bersiaga untuk memulai serangan.
Tampak Kyai Tedjo yang paling mencolok di depan, dengan pakaian serba putih sambil tangan kiri memegang tasbih dan tangan kanan memegang sebuah parang. Demikian Kyai Tedjo terpandang sebagai malaikat putih pemimpin perang melawan penindasan.
“Aku tahu, kau pemimpinnya, Kyai,” kata Jenderal Johans.
“Baguslah kalau kau sudah tahu. Kami minta padamu, cepat lepaskan Bapak dan perempuan itu sekarang! Kalau tidak ….” Kyai Tedjo memotong sejenak kata-katanya bermaksud mengancam.
“Kalau tidak … apa?” Jenderal Johans menarik hammer pistolnya.
“Kami akan memaksa!” tegas Kyai Tedjo.
“Tempatmu itu bukan di sini, kau itu hanya mendoakan orang, bukan ikut jadi pemberontak seperti verdomme-verdomme (orang sial). Kuminta kau cepat pergi dari sini sekarang dan doakanlah orang-orang di sekelilingmu itu, supaya jiwa mereka akan masuk surga malam ini.”
“Kau tak perlu menceramahiku penjajah biadab!” hardiknya.