DIKEJAR DOSA

Donny Sixx
Chapter #20

Bapak yang sejati

“Saatnya bagiku menuntaskan tugasku,” kata Jenderal Johans sembari menarik hammer pistolnya. “Ucapkanlah kata-kata terakhir sebelum kau menyusul si Kyai suci itu.”

Bapaknya Cantik tersenyum memandangi wajah Jenderal Johans. “Tak ada yang ingin kusampaikan lagi. Orang-orangku sudah tiada, mereka sudah pergi lebih dulu membawa panji kemenangan. Dan sekaranglah giliranku. Selesaikanlah, jangan menunggu sampai fajar menyingsing.”

Bi Lastri lantas menutup matanya dan berdoa dalam hatinya untuk kesekian kali. Mendadak, si Surti menyahut pada Jenderal Johans, “Tuan! Biarkan saya yang membunuh si pemberontak ini.”

“Ada dendam apa kau padanya?”

“Laki-laki inilah, yang menyebabkan semua keluargaku terbunuh di suatu malam.”

“Oh, oh, pantas, aku lihat kau sepertinya sangat benci pada orang verdomme ini.”

“Iya tuan. Dari dulu aku selalu berharap, bisa membunuh laki-laki sialan ini dengan tanganku sendiri.” 

Jenderal Johans tersenyum sinis dan berkata, “Ambilah senjata di tanganku ini.”

Wajah Surti langsung berkilau cemerlang. Ia berjalan mendekat, bagaikan algojo pengeksekusi hukuman mati. Ia mengambil pistol tersebut sambil menyeringai.

“Aku sangat berterima kasih padamu tuan.”

“Anggap saja ini balas budi dari saya, karena kau sudah membantu kami menangkapnya. Tuntaskan, apa yang kau pendam sekian lama.”

Jenderal Johans berpaling ke belakang. Surti menatap Bapaknya Cantik, dan mengarahkan ujung pistol, tepat di dahinya. Bapaknya Cantik, hanya memasang senyum perpisahan yang manis untuk Surti. Bi Lastri menangis tersedu-sedu menatap Bapaknya Cantik yang berjarak satu meter di sampingnya. Ia sedih, sebab itu terakhir kalinya ia melihat wajah Bapaknya Cantik sebelum mati.

Raut muka Surti tampak memperlihatkan keganasan dari kenangan masa lalunya yang pahit. Matanya timbul, memancarkan kebencian yang terpendam lama, dan gemeretak gigi-giginya yang gaduh, seolah terdengar ingin secepatnya menyudahi petualangan salah satu sang pemimpin pemberontak yang hebat itu.

“Aku senang bisa melihat wajahmu, seperti kau melihat diriku yang berdiri di depanmu waktu itu. Sekarang, aku sudah bertelut di depanmu. Akan kuselesaikan saat ini juga dendamku yang belum tuntas.”

“Lakukanlah,” ujarnya pasrah.

Lihat selengkapnya