Seekor koyok terdengar menggonggong beberapa kali di sudut rumah tua reyot, yang terbengkalai di dekat rumah mereka. Binatang tersebut memberi tanda kalau kedelapan orang itu sudah mendekati pintu masuk.
“Ke kamar, ambil senjata,” bisiknya pada si perempuan.
Ia lalu melangkah pelan-pelan menuju ke kamar. Tak lama kemudian, ia keluar dengan membawa: tiga buah senapan laras panjang dan sebua pisau. Si perempuan segera mematikan penerangan dan mendekat pada Ibunya Cantik. “Bu, tahu pegang senjata?” tanyanya. Ibunya Cantik mengangguk mengiyakan memasang wajah yang serius. Si perempuan melanjutkan, “Pegang senapan ini. Kuncinya sudah kubuka, tinggal ditarik pelatuknya lalu tembak.” Ibunya Cantik mengangguk cepat.
Mereka berdua segera bersembunyi di balik meja yang telah direbahkan di lantai. Untungnya, kondisi di dalam ruangan agak gelap, sebab hanya bias cahaya api dari dapur saja yang menyeruak bagai bayangan setan, yang mengambang di dinding bambu di ruangan sempit itu. Dan Cantik diberikan pisau untuk jaga diri oleh si perempuan.
Cantik pun merasa bahwa hidup dan mati dirinya serta Ibunya, kini tergantung pada benda yang sekarang ada di tangan mereka. Ruangan yang gelap dan hening menjadi semakin mencekam, ketika si laki-laki dan perempuan itu pelan-pelan mulai mengokang senjata mereka, untuk bersiap-siap menunggu malapetaka datang menyambut mereka dari luar.
“Bu, keluarlah lewat jalan belakang,” perintah si perempuan.
“Kalian berdua bagaimana?” tanya Ibunya Cantik khawatir.
“Tak usah pikirkan kami, Bu. Pergilah, sebelum mereka berhasil menerobos ke dalam sini.”
Sambil beranjak ke pintu belakang, Ibunya Cantik melayangkan terima kasih, kepada si laki-laki dan perempuan itu yang sudah mau menolong mereka. Lalu si laki-laki dan perempuan itu mengedikkan kepala mereka, sambil tersenyum pada Cantik dan Ibunya sebagai balasan untuk sebuah perpisahan yang manis.
Sebelum lenyap di balik pintu, tak lupa Cantik menutup matanya dan membungkuk sebagai ungkapan rasa hormatnya. Dan belum terlalu jauh Cantik bersama Ibunya berjalan keluar dari situ, maka pecahlah suara teriakan dan tembakan bertubi-tubi, membahana di bawah sinar rembulan malam yang sekarat. Mereka berdua berhenti sejenak memandang ke belakang. Tak mau terlalu dalam meratapi nasib kedua orang itu, Cantik dan Ibunya kembali memacu langkah mereka menjauhi sang malapetaka.
Setelah tiba di jembatan kayu tepatnya di penghujung kampung, betapa sialnya mereka berdua dikejutkan dengan cahaya lampu kendaraan besar, yang melebar sepanjang jalur jembatan itu. Mereka berdua telah berpapasan dengan kendaraan yang membawa Kyai Tedjo untuk dieksekusi. Lampu kendaraan itu, tampak menyuluhi seluruh tubuh Cantik dan Ibunya yang tengah bermandikan keringat.
Mendadak, Kaki mereka berdua jadi kaku seakan tak bisa digerakkan lagi karena dilumpuhkan oleh cahaya lampu mobil yang membuat mereka berdua putus asa. Serasa dicengkeram ratusan tangan setan yang keluar dari dalam tanah. Mereka berdua panik, entah harus bagaimana supaya dapat melarikan diri. Cantik dengan kuat menggenggam tangan Ibunya, dan meremas kuat-kuat pisau yang ia pegang.