DIKEJAR DOSA

Donny Sixx
Chapter #25

Dukun Sugeng

Sebelum berlalu dari situ, ia meletakkan kendi berisi abu Murni itu di tanah, sambil ia bersujud di depan rumah tua. Ia menutup mata selama lima menit sembari merapatkan kedua jari tangannya seperti sedang berdoa. Kemudian, barulah ia bangkit dan beranjak meninggalkan tempat itu. Dan selama satu jam lebih, Ratna Mewangi telah menyusuri jalan setapak yang lurus membentang sepanjang jalan.

Angkasa yang biru dengan kepulan-kepulan awan putih, mulai mencengangkan matanya, ditambah dengan cahaya mentari pagi yang semakin berasa menembus kulitnya. Embusan angin sumilir, meniup, membawa kesejukan yang sangat luar biasa bagi jiwanya yang baru saja terselamatkan dari tempat kematian.

Seekor burung liar tiba-tiba terbang melintas di depan matanya. Ia terhenyak, kemudian menghentikan langkahnya sebentar. Ia memandang burung liar yang melangit itu. Timbullah rasa heran di dalam dirinya. Ia lalu menengok ke belakang: pohon-pohon besar yang menjulang tinggi bagaikan raksasa, sudah tak terlihat lagi.

Ia memandang sekeliling: tampak beberapa pohon buah berdaun rimbun, rumput ilalang, serta semak belukar, digoyangkan oleh angin seolah-olah sedang bertandak untuknya. Ia memandang kembali ke depan, dilihatnya: kepulan-kepulan asap sisa pembakaran membubung di atas rumah-rumah. 

Nyatanya sekarang ia berada tak jauh dengan perkampungan terdekat. Sungguh, ia baru menyadari, kalau dirinya telah keluar dari hutan terlarang itu. Ia pun tersenyum bahagia sambil menengadah ke langit, dan menutup matanya sebentar sekaligus menghirup udara segar. 

Sekonyong-konyongnya, terdengar suara samar-samar beberapa orang laki-laki yang mendekat, bersama dengan suara anjing yang menggonggong. Ratna Mewangi lantas melangkah cepat, mengambil jalan pintas untuk menghindari mereka. Dan hampir saja anjing-anjing itu mendapatkan dirinya, bila ia terlambat sedikit saja dalam melakukan pergerakan.

Di kemiringan ngarai yang tidak terlalu tinggi, ia bersembunyi di situ sembari memegang pisau, serta mendekap kendi berisi abu Murni. Ia mengintip dalam semak, seekor anjing sementara mengendus-endus bau tubuhnya dan menggonggongnya. Tapi anjing itu tidak berani menghampirinya sebab ia berada di kemiringan.

Sekali terdengar siulan berbunyi, si anjing itu berlalu kepada tuannya. Ratna Mewangi secepatnya menggelongsor tubuhnya ke bawah sembari menghindar. Belum jauh ia memangkas jarak dengan orang-orang itu, ia telah sampai di tepi sungai yang airnya jernih.

Selama setengah jam lebih ia mandi dan berendam, demi menyingkirkan aroma tak sedap yang masih melekat di seluruh bagian tubuhnya, setelah itu ia menuangkan abu Murni yang berada di dalam kendi. Hulu sungai yang jernih, langsung menghanyutkan abu Murni sampai ke ambang, bersama dengan semua tragedi menyedihkan tentang kisah hidupnya.

Sesudah berpakaian, Ratna Mewangi kemudian mengikuti pinggiran hulu sungai itu untuk mendapatkan desa yang terdekat. Sekilas, tampak sebuah selendang berwarna hitam mengapung di air. Ia mengambilnya dan menggunakannya untuk menutupi wajahnya.

Tak berjarak jauh dari situ, ia sampai di jalan setapak kecil yang bertangga ke atas. Diikutinyalah jalan itu hingga ia tiba di sebuah desa. Suasananya belum ramai sebab hari masihlah belum begitu siang benar. Ratna Mewangi menghampiri seorang laki-laki yang sementara mengelus-elus kerbau miliknya di pinggir jalan. “Permisi Pak,” ucap Ratna Mewangi.

Laki-laki itu memandang Ratna Mewangi. “Ada apa ya, neng?”

“Pak saya mau bertanya, apa di sini ada seorang dukun?”

Lihat selengkapnya