Burung hantu piaraan dukun Sugeng lalu berkicau. Ratna Mewangi terkinjat. Burung hantu itu mengangkat kedua sayapnya dan mengguncang badannya, seakan-akan ingin sekali mendekap Ratna Mewangi.
“Itu burung hantu peliharaanku,” kata dukun Sugeng. Si burung hantu itu terus mengguncang-guncangkan badannya dengan bulunya yang berdiri tegak, mengamati Ratna Mewangi dari tempatnya bertengger di sebatang ranting kayu yang melintang di sangkarnya. Dukun Sugeng melanjutkan, “Dia sangat pintar mengetahui sisi buruk seseorang. Dia bergoyang mengangkat sayapnya itu, berarti, kau banyak menyimpan dendam dan hidupmu sangat menderita.” Ratna Mewangi menundukkan kepalanya. Dukun Sugeng menambahkan, “Dan ada perlu apa kau datang kemari mencariku?”
“Apa kau bisa mengembalikan ingatan orang yang telah disantet?”
“Orang siapa yang kau maksudkan itu?” tanyanya.
“Saya, mbah,” jawabnya singkat.
Dukun Sugeng tersenyum miring sembari mengangguk pelan. “Jangankan mengembalikan ingatan, yang hidup pun bisa kubuat menghilang selamanya,” kelakarnya sambil terkekeh dengan asap rokok yang mengepul di bibirnya.
“Saya disantet, mbah. Sampai saya tak bisa lagi mengingat siapa orang-orang yang telah menguburku hidup-hidup di dalam lubang,” ungkapnya mendalam.
“Dikubur hidup-hidup?” Dukun Sugeng tercengang. Ratna Mewangi mengangguk mengiyakan. Lagi kata dukun Sugeng, “Siapa orang yang tega berbuat keji seperti itu padamu ....”
“Itu yang ingin saya ingat kembali, mbah.”
“Lalu bagaimana kau bisa keluar dari lubang itu?”
“Ceritanya panjang, mbah.”
Dukun Sugeng dibuat takjub oleh lakon Ratna Mewangi. “Kau beruntung, hanya anak setan saja yang bisa lolos dari kematian.”
Ratna Mewangi meresponnya dengan tersenyum miring, tapi diusahakannya tak sampai kentara. Dukun Sugeng mengangguk pelan. “Hem, saya bisa mengembalikan ingatanmu, asalkan itu adalah perbuatan orang, bukan disebabkan oleh penyakit atau sebuah kecelakaan.”
Ratna Mewangi kembali menganggukkan kepalanya. “Iya mbah ... ini perbuatan orang, tak ada sangkut pautnya dengan hal-hal lain.”
“Tapi, setiap perbuatan pasti ada harganya.” Lalu ia mengedikkan kepala. “Apa yang kau punya?”
Ratna Mewangi menggelengkan kepala, namun pisau yang diberikan arwah Murni telah ia sembunyikan di belakang pakaiannya. “Maaf mbah, saya tak bawa uang. Yang mbah lihat sekarang, itulah yang saya punya. Saya akan pergi dari untuk mencari upah, bila itu yang harus saya bayarkan pada mbah.”
“Sudah ... tidak apa-apa. Kadang kala aku baik pada orang. Tapi itu hanya pada perempuan saja, tidak untuk laki-laki.” Ia tersenyum melebarkan bibir. “Sekarang, masuklah ke dalam kamar itu.” Ia bertaut ke arah kamar tersebut. Ratna Mewangi memandangnya. “Dan tanggalkan seluruh pakaianmu lalu rebahkan tubuhmu di kasur.”
Ratna Mewangi sesaat terpikir tentang sesuatu yang banyak diinginkan para laki-laki. “Secepat itukah, mbah?”