“Saya tak menyangka kau adalah seorang Dokter,” kata Ratna Mewangi.
“Lupakan ... itu diriku yang dulu, sekarang tidak lagi.” Dukun Sugeng kemudian menyalakan cerutunya yang baru. Setelah asapnya mengepul di mulutnya, ia melanjutkan, “Saya masih penasaran padamu ... apakah kau ini masih manusia ataukah titisan jin? Sebab, bagaimana bisa kau tak mati, padahal kau sudah dikubur hidup-hidup di dalam lubang.”
Ratna Mewangi lalu menjawab, “Saya mengidap sebuah penyakit tak biasa, mbah.”
Dukun Sugeng mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Ratna Mewangi mengungkapkan penyakit itu yang membelenggu dirinya selama hidup, sampai ia masih bernapas hingga saat ini. “Saya mengidap penyakit susah mati.”
Dukun Sugeng dibuat terkejut mendengar itu. “Susah mati?”
Ratna Mewangi mengangguk mengiyakan. “Ya.”
Dukun Sugeng lekas-lekas mengisap sekali cerutunya dalam-dalam dan beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri sebuah kain yang digantung di atas bajan serta menyerahkannya pada Ratna Mewangi. “Keringkan tubuhmu dan keluarlah dari situ.” Ratna Mewangi mengambilnya dan mengelap seluruh tubuhnya. Ia segera beranjak dari dalam bajan. “Tunggulah di ruang makan, saya ingin menyiapkan makanan.”
Ratna Mewangi sempat memikirkan sesuatu terhadap dukun Sugeng. Tapi seketika itu lenyap, sebagaimana ia tahu, kalau dukun Sugeng adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai untuk saat ini.
Tak lama berselang, dukun Sugeng datang membawa dua buah piring dan makanan berupa: umbi, ikan bakar, dan sayuran rebus yang sudah matang dalam nampan. Ia melayankannya di atas meja. “Makanlah,” kata dukun Sugeng.
Sepintas Ratna Mewangi tampak memandang ragu-ragu pada makanan itu. Dukun Sugeng yang menatapnya tersenyum kecil. “Saya tak menaruh racun di dalam makanan,” celetuknya, “toh, saya sendiri juga yang rugi kalau saya mati.”
“Saya tidak bermaksud seperti itu, mbah,” tukasnya agak kikuk.
“Makanlah yang banyak, kau butuh tenaga,” timpalnya sembari asyik mengunyah makanan.
Tak mau menyiksa perutnya, Ratna Mewangi dengan cepat memenuhi piringnya dengan hidangan itu, dan makan bersama dukun Sugeng. Mereka berdua terlihat bagaikan pasangan yang berbeda usia. Mereka berdua makan, sampai langit benar-benar gelap dan mulai berangin kencang. Menjelang petang, Ratna Mewangi terlihat berbaring di atas kursi panjang, sementara dukun Sugeng memberi makan burung hantu piaraannya. Ratna Mewangi memulai angkat bicara, “Mbah, apa penyakitku ini bisa disembuhkan?”