Merasa terganggu dengan para koyok yang tiada henti menggonggongnya, Sumarni lantas mengambil seujung bambu kering yang terjelepak di pinggir jalan, lalu ia menghantamkannya ke arah para koyok itu untuk mengusir mereka. Sebagian para koyok langsung melarikan diri, tapi ada yang masih tetap mencari keributan dengannya.
Sumarni seolah-olah terpandang bagaikan seorang pendekar perempuan, yang sedang bertarung melawan para macan. Tak lewat beberapa menit berlalu, para koyok itu pun menyerah dan lenyap ke semak-semak. Sumarni segera melemparkan seujung bambu kering tersebut ke pinggir jalan. Terlihat dari arah depan sana, beberapa serdadu Belanda yang berpatroli muncul dengan persenjataan lengkap.
Ketidakwarasannya mendadak kambuh. Ia mengomel-omel sendiri entah pada siapa. Sekilap, ia berlari ke arah serdadu-serdadu Belanda yang berpatroli itu, dan menakuti-nakuti mereka. Namun mereka tak menggubrisnya. Mereka hanya lewat saja sembari melemparkan ejekan-ejekan kurang ajar. Sebab mereka sudah tahu ia perempuan gila, hasil perbuatan para pendahulu mereka, sebelum mati di tangan para pemberontak.
Di seberang jalan sana, sepasang suami dan istri yang sedang bersantai di teras itu, tega meludah ke tanah ketika Sumarni melintas di depan rumah mereka. Seakan-akan di mata mereka, Sumarni bagaikan sebuah penyakit di desa ini, sebelum sang suami membanting pintu, dan membuang ludahnya kembali dari dalam jendela rumahnya.
Sumarni yang gila, hanya tahu, kalau sekarang ia sedang menari-nari bahagia, walaupun para orang-orang bebal itu yang tak punya perasaan sementara menginjak-injak harga dirinya. Dan tepat di tengah jalan, Sumarni lalu berpapasan dengan sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya yang hendak melayat ke ladang. “Pak, itu si perempuan gila,” kata si perempuan paruh baya.
Si laki-laki paruh baya memandang Sumarni, kemudian ia membalas pada si perempuan, “Iya Bu, gilanya sudah kambuh,” timpalnya.
“Pak, aku kira si perempuan gila itu sudah mati?” teledornya.
“Sembarangan kau bicara, Bu,” tampiknya.
“Sudah sebulan ‘kan, dia tidak kelihatan?” kata si perempuan paruh baya.
“Iya, masih hidup, Bu,” balas si laki-laki paruh baya.
“Ada baiknya dia tak usah berkeliaran di desa ini, Pak ... cuma bawa sial.”
“Kita berdoa saja, Bu, supaya kampung kita tidak ditimpa sial.”