Pada waktu hari sudah sore, si tua bangka Tobo terpaksa mengeluarkan Sumarni dari rumahnya, sebab ia mendadak berteriak-teriak, katanya, ia melihat kepala setan, muncul dari jendela kamar dan lidahnya panjang menjuntai ke bawah. Semua penduduk desa sudah tahu benar, bila Sumarni berteriak melihat setan, berarti akan terjadi suatu kemalangan di dalam desa. Kejadian itu pernah terjadi setahun lampau, ketika Sumarni berlari mengelilingi seantero desa dan ia berteriak, “Aku diperkosa setan!” hingga membuat heboh satu desa di tengah malam.
Sampai-sampai orang-orang yang terlelap mengalami mimpi buruk. Satu-persatu di tiap rumah mereka mendadak terjaga lalu memekik kuat. Mereka jadi takut sehingga harus keluar rumah untuk mengambil napas. Mereka sempat berkumpul dan bergunjing satu sama lainnya. Dan banyak juga yang bilang, kalau mereka dikunjungi siluman berkepala enam di dalam mimpi.
Tengah malam buta itu, seakan-akan menjadi malapetaka yang ajaib bagi seisi desa. Sehingga keesokan harinya, kondisi desa tampak sunyi dan tak ada satu pun warga yang berani keluar rumah. Dua hari kemudian, para penduduk mendapati Sumarni ingin menggantung diri di pohon kersen dekat telaga si juragan kambing.
Dua hari berikutnya, ia digosipkan sempat hilang. Kata orang, mereka sempat melihat, seorang laki-laki paruh baya membawa Sumarni ke dukun untuk disembuhkan. Ada juga yang bilang ia menceburkan diri ke empang, dan yang lain bilang, ia ditelan buaya. Banyak sekali desas-desus yang tidak jelas tentang Sumarni kala itu.
Di akhir pekan yang kelabu, Sumarni tiba-tiba muncul di tengah hari dan membuat kegemparan yang luar biasa. Ia menggulung seluruh tubuhnya dengan kain kafan dan melompat-lompat di tengah jalan, menyerupai hantu kain kafan. Membuat semua penduduk yang ada di luar, berhamburan masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Kegilaannya itu juga, membuat salah satu pemuka agama yang paling dihormati, pingsan tak sadarkan diri. Dan orang-orang mulai berpikir, kalau Sumarni telah dirasuki oleh siluman berkepala enam yang dulunya mendiami desa ini. Para warga kemudian berbondong-bondong, mengusir dirinya keluar dari desa. Tiga minggu sesudahnya, ia dibawa kembali ke desa ini, oleh si tua bangka Tobo yang memiliki kelainan.
Demikian hari ini, setelah ia diusir keluar oleh si tua bangka Tobo, ia segera beranjak pulang dengan membawa semburat senyum yang menyimpan pilu. Ia lalu mengikuti sebuah lorong sempit di antara pinggiran-pinggiran rumah dari samping rumahnya si tua bangka Tobo. Jalur itu sangatlah ia ingat, sebab ia seringkali melewatinya ketika hendak pulang. Sumarni memang tidak mau kembali lewat di jalan depan, karena ia tahu, si dukun beranak itu pasti akan menyerangnya lagi.