Sepulangnya dari rumah Mbah Le, Ratna Mewangi telah mendapatkan sesajen seperti permintaan dukun Sugeng. “Ini sesuai permintaanmu,” kata Ratna Mewangi meletakkan sesajen itu di atas meja, di depan dukun Sugeng yang bersila.
“Apa Mbah itu menggodamu?” tanya dukun Sugeng.
“Ya. Dia menggodaku,” jawab Ratna Mewangi.
“Dari dulu sifatnya tak berubah sama sekali, selalu menggilai perempuan cantik.”
“Kau sudah tahu, mengapa kau tak bilang padaku?” ujarnya.
“Jika saya bilang, pasti kau tak akan pergi.”
“Setidaknya kau lebih dulu mengatakannya padaku.”
Lalu dukun Sugeng menyuruh Ratna Mewangi untuk duduk. “Apa yang dia minta padamu?” tanya dukun Sugeng.
“Dia memintaku untuk tidur dengannya semalam, tapi langsung saya tolak. Saya sungguh tak ingin tidur dengan laki-laki yang sudah tua. Itu membuat saya muak!” jawab Ratna Mewangi tegas.
“Kau sudah melakukannya dengan benar. Si tua bangka itu memang sangat menggemari perempuan muda dan cantik. Walaupun dia sudah lupa dengan umurnya yang tak panjang lagi,” timpalnya.
“Tua bangka sialan!”
“Pasti tak mudah mendapatkan sesajen yang berisi bunga tujuh rupa ini,” katanya menduga.
Wajah Ratna Mewangi merengut, kala ia mengingat kembali ketika mbah Le seenaknya, meraba-raba setengah bagian dadanya di dalam rumahnya demi mendapatkan sesajen itu. Dukun Sugeng melanjutkan, “Tak perlu bersungut ... hanya sebagian, tak semuanya.”
“Sudahlah, aku tak ingin membahasnya,” sambungnya.