Sumarni menggeleng. Dukun Sugeng melanjutkan, “Dengar perempuan sinting ... jangan sekali-kali kamu teriak-teriak di tengah kampung. Kalau sampai kamu teriak, sebentar ta bunuh kamu di rumah! Mau?”
Sumarni kembali menggeleng dengan cepat.
“Sana!” Dukun Sugeng lantas mengusirnya pelan.
Sumarni melarikan diri dengan ketakutan. Dukun Sugeng pun berlalu ke bantaran sungai, untuk membuang dua mayat bujang itu. Sekembalinya dari sungai, ia menyempatkan diri melawat ke kamarnya Ratna Mewangi. Lelapnya, Ratna Mewangi tertidur sambil mengigau. Ditemuinya, menemui burung hantu piaraannya di ruang tengah. Katanya, “Tak lama lagi, kita berdua akan mencari rumah baru.” Dukun Sugeng menyembulkan senyum menakutkan. Si burung hantu berkicau riang sekali, dan berputar-putar di tempatnya bertengger. Dukun Sugeng terkekeh sebentar dan ia segera berlalu ke dalam kamarnya. Adapun mayat kedua bujang sial itu, terhanyut sampai ke muara, dan dikunyah oleh seekor buaya kelaparan.
Ayam jantan telah berkokok. Malam hari kini berganti pagi yang berkabut tipis, menyelinap di antara belukar, dan batang-batang pohon yang menjulang tinggi ke langit. Ratna Mewangi terjaga di pagi-pagi sekali, sebelum ada orang-orang yang berlelah di ladang. Beranjaklah ia dari dalam kamarnya, menuju ke pintu depan untuk menghirup udara pagi yang sejuk. Tak lupa, ia menengok setiap bagian samping rumah, sekadar memeriksa situasi di sekitarnya.
Sekonyong-konyongnya ia mengerutkan dahi, ketika memandang ada dua ekor koyok sementara asyik menjilati sesuatu di tanah. Ia berjalan mendekat menghampiri kedua koyok itu. Pelan-pelan. Namun, kedua koyok tersebut malah menggeram padanya, dan kabur ke tengah-tengah belukar. Begitu takjub dirinya, ternyata yang dijilat kedua koyok itu adalah sisa-sisa gumpalan darah. Dijamah darah itu dengan telunjuknya. Ia mengendusnya. Hem! Ini bukan darah binatang, ini darah orang, curiganya. Ia mendengus.
Di saat yang sama, dukun Sugeng telah keluar dari pintu belakang, untuk memberi makan ayam-ayam piaraannya di kandang. Ratna Mewangi menemui dukun Sugeng.
“Kau sudah bangun,” kata dukun Sugeng membelakangi Ratna Mewangi.
“Dari tadi,” balas Ratna Mewangi singkat.
“Hem,” gumamnya mengangguk pelan.
“Ada yang ingin aku tanyakan padamu.”
“Katakanlah.”
“Darah siapa yang berceceran di tanah itu?” tanya Ratna Mewangi. Dukun Sugeng tergemap. Diam sesaat. Matanya membelalak. Ia teringat kedua si bujang kampung yang dihabisinya tadi malam.