Sekitar jam sembilan pagi, Ratna Mewangi bersiap meninggalkan rumah dukun Sugeng. Ia kembali mengenakan pakaian Murni seperti pertama kali, ia datang ke rumah dukun Sugeng. Namun ia tak memakai lagi selendang hitam yang ia temukan di sungai waktu itu. Ia menggantinya dengan kudung berwarna merah pemberian dukun Sugeng.
“Ini pisau yang kau bawa. Sudah kubersihkan,” kata dukun Sugeng. Ratna Mewangi mengambilnya.
“Terima kasih mbah,” ucap Ratna Mewangi
“Ingatlah, selesaikan syaratmu tepat di malam purnama ketujuh, di bulan berikutnya. Bila kau terlambat, maka semua nyawa yang kau ambil akan jadi sia-sia. Jangan lupakan itu,” ujarnya.
“Iya mbah.”
Sebelum pergi, Ratna Mewangi bertanya kembali pada dukun Sugeng, “Apa kita bisa bertemu lagi?”
Dukun Sugeng menjawab, “Datanglah kemari, bila semua syaratmu sudah kau penuhi.”
“Baik.”
“Kau bisa pergi sekarang,” kata dukun Sugeng.
“Saya permisi mbah.” Ratna Mewangi berkhidmat.
Baru saja Ratna Mewangi mau keluar dari pintu masuk, tahu-tahu, segerombolan penduduk desa melintas di depan jalan membuat kegaduhan dengan berteriak, ”orang hilang”. Mereka menyerupai para pendekar yang menuju ke medan pertarungan. Mereka lengkap membawa: pentungan kayu, sabit, dan parang. Ratna Mewangi yang melihatnya dibuat penasaran. Dan bagi dukun Sugeng, ia sudah curiga, kalau yang mereka cari adalah kedua bujang kampung yang ia bunuh tadi malam. Ia lekas-lekas menyuruh Ratna Mewangi untuk meninggalkan rumahnya, “Pergilah, jangan menunggu siang.” Ratna Mewangi menundukkan kepala melangkah keluar, meninggalkan rumah dukun Sugeng. Penasaran dengan kegaduhan mereka yang belum ia ketahui pasti, ia menyambangi orang-orang itu dari belakang, “Tunggu Pak!” ucap Ratna Mewangi.