Belum terlalu jauh Ratna Mewangi meninggalkan kedai tersebut, si lelaki menyahut dari belakang, “Tunggu!” Ratna Mewangi menghentikan langkahnya sebentar. Ia menoleh ke belakang. Mereka datang mendekat. Si lelaki melanjutkan, “Tunggu dulu neng. Bisakah kita bicara sebentar?”
“Kau mau bicara apa?” tanya Ratna Mewangi.
“Begini ….” Si lelaki perlahan menghampirinya. “Bagaimana neng bisa tahu, kalau saya pemberontak?” Kawan-kawannya seketika tercengang. “Sedangkan neng baru saja bertemu dengan saya di kedai itu?” Si lelaki menatap curiga pada Ratna Mewangi. Ratna Mewangi mulai waspada. Ia menatap mereka satu-satu, hendak berjaga-jaga, bilamana mereka akan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya. Si lelaki melanjutkan, “Jangan bilang, kalau neng ini adalah mata-matanya para kompeni sialan itu.” Si lelaki dan kawan-kawannya perlahan-lahan, maju makin dekat pada Ratna Mewangi.
Merasa bahwa dirinya akan terancam, ia memanggil arwah Murni dalam hatinya. Murni!Arwah Murni sekelebat muncul di sebelahnya.
“Aku tahu kau pasti akan memanggilku,” kata arwah Murni tersenyum lebar.
“Lindungi aku!” perintah Ratna Mewangi sebatas bibir. Tetapi suaranya sempat didengar si lelaki.
“Apa yang kau bicarakan?” Si lelaki memandangnya aneh, sebab Ratna Mewangi bicara pada arwah Murni yang tidak dapat ia lihat.
Ratna Mewangi tak mau menanggapinya. “Tidak!” lantas ia mengalihkan pembicaraan. “Kalian mau apa?”
“Bicara yang jujur! Apa kau ini mata-mata kompeni?” Si lelaki balik bertanya sekaligus mengancam.
“Jangan takut! Aku ada di sini,” sambung arwah Murni.
Ratna Mewangi kemudian menjawab, “Aku bukan mata-mata kompeni!”
Si lelaki memicingkan matanya. “Kau bohong!”
“Aku tak bohong.”
“Jangan mudah percaya kata-katanya bang, kurasa perempuan ini berusaha menipu kita,” sosor kawannya yang satu. Si lelaki menoleh pada kawannya itu.