Sejenak, ia tercenung oleh bekas luka itu. Tetapi ada satu hal yang lebih penting, yang menyuruhnya untuk cepat kembali ke dalam kamar. Ia lalu membungkus kain merah yang berisi jantung lelaki dengan plastik hitam supaya tidak bocor. Dan kelima jantung kelihatan masih kelihatan segar, tidak terlalu berbau busuk karena belum mencapai sehari penuh. Aku harus segera mencari tempat yang aman untuk menyimpan jantung-jantung ini, batinnya. Kokok si ayam-ayam jantan berbunyi lagi. Ratna Mewangi mendekat ke jendela kamar dan membukanya sedikit. Langit masih terpandang gelap. Kira-kira waktu itu menjelang pukul empat subuh. Belum ada setitik cahaya yang tampak di angkasa. Hanya terdengar suara-suara ayam jantan memecah kesunyian. Masih gelap. Ia menutup kembali jendela kamar tersebut dan duduk di pinggir kasur. Sekonyong, tanpa dipanggil arwah Murni muncul di belakangnya.
“Ratna ....” kata arwah Murni. Ratna Mewangi sedikit tergemap. Ia menoleh ke belakang. Sontak, Ratna Mewangi berulang dibuat kaget seperti pertemuan mereka yang pertama. Ternyata ada sesuatu yang janggal dilihat Ratna Mewangi pada si arwah Murni. Kuku arwah Murni memanjang sampai di bawah lutut. Wajahnya juga berubah mengerikan. Tak biasanya ini terjadi setelah mereka berdua berdampingan.
“Apa yang terjadi padamu?” Ratna Mewangi heran, “kenapa kau tiba-tiba ....”
“Sut!” Suara Ratna Mewangi agak kuat, untung si perempuan tua bungkuk tidak terjaga. Arwah Murni kemudian melayang ke depan Ratna Mewangi. “Jangan takut, aku masih tetap sama. Ini karena dendamku pada seseorang yang sudah lama kuhabisi,” ungkap arwah Murni.
“Siapa?” Ratna Mewangi menurunkan nada suaranya.
“Tak usah kau tanya lagi. Kau sudah melihatnya sendiri.”
“Surti ....”
Arwah Murni mengangguk mengiyakan. “Apa kau melihat sesuatu di bagian belakang lehernya?”
“Bekas luka?”
Arwah Murni kembali mengangguk. “Aku sudah membunuh si ular itu.”
“Kau belum menceritakannya padaku.”